Salah Info Perlintasan Harun Masiku, Yasonna Menolak Bertanggung Jawab
Menkumham Yasonna Laoly mengklaim telah mengingatkan bawahannya untuk segera memperbaiki kerusakan pada sistem imigrasi. Jadi, ketika perbaikan tak dilakukan, tanggung jawab kesalahan ada pada bawahannya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu dan I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menolak bertanggung jawab atas kesalahan informasi perlintasan Harun Masiku, tersangka suap terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Ia menuding bawahannya tak patuh perintah. Sebab, kerusakan sistem sudah lama diketahui dan sudah diinstruksikan untuk diperbaiki.
”Tanggung jawabnya siapa yang paling apa (bertanggung jawab) di situ. Sistemnya, saya sudah beberapa bulan yang lalu bilang, perbaiki sistem itu,” kata Yasonna seusai pertemuan dengan Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Pernyataan tersebut terkait dengan pemberhentian Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ronny F Sompie serta Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian (Sisdik) Direktorat Jenderal Imigrasi Alif Suaidi. Yasonna mencopot kedua pejabat itu dari jabatannya pada Selasa (28/1/2020) karena kesalahan informasi perlintasan Harun Masiku, calon anggota legislatif PDI-P di Pemilu 2019.
Yasonna juga enggan bicara banyak mengenai tuntutan masyarakat sipil yang memintanya untuk bertanggung jawab atas kesalahan informasi tersebut. Sebelumnya, sekelompok masyarakat membuat petisi di laman Change.org menggalang dukungan agar Yasonna diberhentikan sebagai menteri karena dinilai membohongi publik terkait Harun Masiku.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun melaporkan Yasonna ke Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan menghalangi penyidikan karena informasi tidak valid mengenai kepulangan Harun Masiku ke dari Singapura ke Indonesia.
”Itu hak dia (ICW) bicara. Urusan dia itu. Tetapi kan lihat dulu, ada enggak faktor-faktor mens rea (niat jahat)-nya,” kata Yasonna.
Polemik kekeliruan informasi ini bermula dari keterangan jajaran Ditjen Imigrasi mengenai keberadaan Harun. Pada 13 Januari 2020, Ditjen Imigrasi mengumumkan, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pergi dari Jakarta menuju Singapura pada 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, dalam jumpa pers pembentukan tim hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P di Jakarta, 16 Januari 2020, Yasonna yang juga fungsionaris PDI-P mengungkapkan bahwa Harun telah meninggalkan Indonesia sejak 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Tanah Air. Keterangan serupa juga disampaikan Ronny F Sompie pada 18 Januari 2020. Begitu pula yang disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri pada 20 Januari 2020.
Namun, pada 22 Januari 2020, Ronny membuat pernyataan yang dilanjutkan dengan jumpa pers. Disampaikan bahwa Harun sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020. Informasi perlintasan itu terlambat diketahui jajaran Ditjen Imigrasi karena ada kesalahan sistem.
Atas kesalahan tersebut, Kemenkumham berencana membentuk tim gabungan beberapa institusi yang akan bekerja secara independen mengusut penyebab keterlambatan informasi perlintasan. Tim itu terdiri dari Inspektorat Jenderal Kemenkumham, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, dan Ombudsman.
Namun, sebelum tim tersebut bekerja, Yasonna memberhentikan Ronny dan Alif. Pemberhentian itu diklaim untuk mengeliminasi konflik kepentingan dalam kerja tim gabungan.
Terkait pembentukan tim gabungan, komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala dan Ninik Rahayu, menyatakan keengganan untuk ambil bagian. Keikutsertaan Ombudsman dalam tim dinilai tak tepat karena semestinya Ombudsman berperan mengawasi kerja Kemenkumham, bukan bekerja dalam satu tim.
Menanggapi hal itu, Yasonna mengembalikannya kepada Ombudsman. Oleh karena itu, ia belum tahu soal keanggotaan tim ke depan. ”Urusan dia. Pokoknya itu urusan dia, bukan urusan saya,” ujar Yasonna.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Hillary Brigitta Lasut, menilai, pemberhentian pejabat imigrasi, khususnya Ronny, perlu didalami. ”Jangan sampai Dirjen Imigrasi ini hanya jadi korban kepentingan orang lain,” kata Hillary.
Ia mendorong pengusutan kasus secara transparan agar masyarakat bisa mengetahui setiap perkembangannya. Ia pun berharap kasus ini tidak berkepanjangan dan bisa menghasilkan kepastian hukum tanpa mengorbankan pihak yang belum terbukti keterlibatannya.
Hal serupa didorong oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman. Dia bahkan telah menugaskan anggota Fraksi PKS di Komisi III DPR untuk mendalami pemberhentian Ronny.
”Penegakan pemerintahan yang baik juga tentu tidak boleh melanggar sesuatu yang menjadi hak dari seseorang. Jadi, kami percayakan pada proses di Komisi III untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi,” ujarnya.