Aliansi Masyarakat Sipil Minta Presiden Copot Menteri Yasonna
Karena otoritas tertinggi ada di tangan Menteri Hukum dan HAM, seharusnya yang bersangkutan juga bertanggung jawab. Dua pilihannya. Dia mengundurkan diri atau Presiden mencopotnya.
Oleh
Insan alfajri
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Masyarakat Sipil meminta Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly atas kekeliruan penyampaian informasi keberadaan Harun Masiku. Mereka juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera menindaklanjuti laporan terhadap Yasonna yang diduga merintangi proses penyidikan.
Permintaan itu diminta oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Imparsial, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam konferensi pers, Kamis (30/1/2020), di Jakarta. Ketiga lembaga itu tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, kesalahan informasi yang disampaikan Yasonna adalah bentuk pembohongan publik. Yasonna sebetulnya bisa memeriksa kebenaran laporan dari sebuah media yang menyatakan Harun sudah kembali ke Tanah Air pada 7 Januari 2020.
Namun saat itu, Yasonna tetap menyatakan Harun masih di luar negeri. Semua pihak yang mengonfirmasi Harun Masiku berada di luar negeri seharusnya juga dikenai sanksi yang sama seperti Ronny F Sompie.
”Karena otoritas tertinggi ada di tangan Menteri Hukum dan HAM, seharusnya yang bersangkutan juga bertanggung jawab. Dua pilihannya. Dia mengundurkan diri atau Presiden mencopot Yasonna,” katanya.
Karena otoritas tertinggi ada di tangan Menteri Hukum dan HAM, seharusnya yang bersangkutan juga bertanggung jawab. Dua pilihannya. Dia mengundurkan diri atau Presiden mencopot Yasonna.
Ronny F Sompie dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada 28 Januari 2020. Yasonna memberhentikan Ronny dengan alasan agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam tim independen.
Hal itu terkait dengan penyampaian informasi yang keliru tentang keberadaan Harun Masiku, tersangka kasus dugaan suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Pada 13 Januari 2020, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi mengumumkan, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pergi dari Jakarta menuju Singapura pada 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, Yasonna yang juga fungsionaris Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) mengungkapkan, Harun telah meninggalkan Indonesia sejak 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Tanah Air. Itu disampaikan dalam konferensi pers pembentukan tim hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P di Jakarta pada 16 Januari 2020.
Keterangan serupa juga disampaikan Ronny F Sompie pada 18 Januari 2020. Ketua KPK Firli Bahuri juga menyampaikan informasi senada pada 20 Januari 2020.
Namun, pada 22 Januari 2020, Ronny menyampaikan pernyataan bahwa Harun sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020. Informasi perlintasan keberangkatan dan kedatangan Harum yang terekam kamera Bandara Soekarno-Hatta itu terlambat diketahui jajaran Ditjen Imigrasi karena ada kesalahan sistem.
Atas kesalahan itu, Kemenkumham membentuk tim gabungan beberapa institusi yang akan bekerja secara independen mengusut penyebab keterlambatan informasi perlintasan. Tim itu terdiri dari Inspektorat Jenderal Kemenkumham, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara, serta Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI.
Sebelum tim tersebut bekerja, Yasonna memberhentikan Ronny dan Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian Ditjen Imigrasi Alif Suadi. Pemberhentian itu diklaim untuk mengeliminasi konflik kepentingan dalam kerja tim gabungan.
Manajer Departemen Riset Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko menilai, semestinya tim independen itu ditujukan untuk memeriksa Yasonna karena dirinya turut menyebabkan simpang siurnya informasi. Selain itu, kuat sekali dugaan adanya konflik kepentingan dalam kasus ini.
”Hal itu ditandai dengan kehadiran Yasonna dalam jumpa pers pembentukan tim hukum DPP PDI-P di Jakarta pada 16 Januari 2020 lalu,” ujar Wawan.
Menurut Wawan, kasus ini menjadi bukti serius atau tidaknya pemerintah dalam memberantas korupsi. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi harus bersikap.
”Kita butuh figur presiden yang tegas. Komitmen itu ditunjukkan dengan mencopot Yasonna,” katanya.
Kasus ini menjadi bukti serius atau tidaknya pemerintah dalam memberantas korupsi. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi harus bersikap.
Di sisi lain, lanjut Wawan, belum tertangkapnya Harus Masiku hingga hari ini semakin memperkuat dugaan publik bahwa KPK tak lagi bertaji. Berbagai kebijakan politik, mulai dari revisi undang-undang hingga pembentukan Dewan Pengawas KPK, nyatanya tak memperkuat lembaga antirasuah itu.
”Kasus ini menjadi momentum bagi KPK untuk membuktikan bahwa KPK bukan macan ompong,” ujarnya.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengingatkan lagi ihwal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam aturan itu, menteri merupakan penyelenggara negara yang wajib melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab.
Regulasi itu juga menyebutkan menteri sebagai penyelenggara negara tidak boleh melakukan perbuatan tercela dan bekerja tanpa pamrih bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok.
”Mestinya ia bicara apa adanya, bicara jujur mengenai apa yang terjadi,” katanya.
Arif juga menyatakan perlunya membaca kembali Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam aturan itu, setiap pejabat dan elite politik harus bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, dan rendah hati.
Aturan itu juga menyebutkan, mereka harus siap mundur apabila melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Selain menuntut mundur dari jabatannya, aliansi masyarakat sipil juga sudah melaporkan Yasonna ke KPK. Yasonna dilaporkan terkait dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan kasus sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, KPK akan memverifikasi dan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat. ”Saat ini, laporan tersebut (Yasonna) sedang dianalisis,” katanya.
KPK akan memverifikasi dan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat. Saat ini, laporan tersebut (Yasonna) sedang dianalisis.
Sebelumnya, Yasonna menolak untuk bertanggung jawab atas kesalahan informasi perlintasan Harun Masiku. Yasonna juga enggan bicara banyak mengenai tuntutan masyarakat sipil yang memintanya untuk bertanggung jawab atas kesalahan informasi tersebut.
”Itu hak dia (ICW) bicara. Urusan dia itu. Tetapi kan lihat dulu, ada enggak faktor-faktor mens rea (niat jahat)-nya,” kata Yasonna (Kompas, 29 Januari 2020).