Komisi Pemilihan Umum diharapkan dapat membangun sebuah sistem kerja yang meningkatkan kualitas data pemilih yang bersifat tunggal. Artinya, satu orang terdaftar sekali sebagai pemilih dengan data lengkap dan valid.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum diharapkan dapat membangun sebuah sistem kerja yang meningkatkan kualitas data pemilih yang bersifat tunggal. Artinya, satu orang terdaftar sekali sebagai pemilih dengan data yang lengkap dan valid. Oleh karena itu, KPU dapat memberikan layanan hak konstitusional kepada warga negara untuk memutakhirkan data pemilih secara berkesinambungan.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ida Budhiati, mengatakan, sistem kerja KPU mesti dipastikan terlepas dari data kependudukan menyusul perbedaan karakteristik data kependudukan dengan data pemilih. Kualitas data pemilih tidak bisa dikaitkan dengan kualitas data kependudukan.
”Sebab, ini dua karakteristik data yang beda. Jadi, kalau ada problem dengan data pemilih, (dan ada pertanyaan) lembaga mana yang bertanggung jawab, (lembaga) itu adalah KPU,” ujar Ida, Rabu (29/1/2020), di Jakarta.
Menurut Ida, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 pernah ada kasus terkait dengan data pemilih. Hal itu terjadi ketika penyelenggara pemilu di salah satu daerah di Papua tidak mengonsolidasikan data daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) dengan daftar pemilih tetap (DPT) terakhir. Padahal, mestinya DP4 menjadi bahan untuk melakukan pencocokan dan penelitian data pemilih dalam pilkada tersebut.
”Sebab, ini dua karakteristik data yang beda. Jadi, kalau ada problem dengan data pemilih, (dan ada pertanyaan) lembaga mana yang bertanggung jawab, (lembaga) itu adalah KPU”
Terkait data kependudukan dan DPT, Ida mengakui selalu terjadi kerumitan. Apalagi di daerah seperti Papua dengan kondisi praktik tertib administrasi yang menjadi tantangan tersendiri, baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya akan melakukan sinkronisasi DP4 yang sudah diserahkan pemerintah pada pekan lalu dengan data Pemilu 2019. Namun, karena data yang dimaksud akan digunakan untuk Pilkada 2020, maka jumlah pemilihnya bisa ditambah. Sebaliknya, jumlah tempat pemungutan suara (TPS) justru akan berkurang. Hal ini menyusul jumlah pemilih dalam satu kota yang sebelumnya maksimal 300 orang per TPS, sekarang dapat ditambah hingga misalnya sampai 600 pemilih.
Coba diintegrasikan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengatakan, sumber data yang berasal dari basis pencatatan kependudukan dapat dipergunakan sebagai dasar. Hal ini menyusul sejumlah persoalan terkait DPT yang selama ini terjadi dikarenakan adanya dua sumber data yang coba untuk diintegrasikan.
Dua sumber data selama ini adalah DP4 dari Kementerian Dalam Negeri dan DPT dari proses pemilihan terakhir. Firman menilai hal itu justru bersifat tidak praktis. Pada sisi lain, ia juga menilai verifikasinya tidak dilakukan secara tuntas. Akibatnya, muncul masalah pada data finalnya.
Sejauh ini, berdasarkan catatan Kompas, DPT pada pemilu serentak 2019 beberapa kali mengalami perubahan. Hal itu menyusul adanya temuan data baru berupa data yang luput dimasukkan KPU di tingkat kabupaten/ kota.
”Nah, memang akan lebih baik kalau datanya itu satu saja sehingga proses transfernya itu tidak menimbulkan satu rantai masalah lagi. Tinggal disempurnakan dan diperbaiki, tetapi betul-betul fokus di situ saja (data kependudukan),” kata Firman.
”Nah, memang akan lebih baik kalau datanya itu satu saja sehingga proses transfernya itu tidak menimbulkan satu rantai masalah lagi. Tinggal disempurnakan dan diperbaiki, tetapi betul-betul fokus di situ saja (data kependudukan)”
Namun, Firman mengakui masih terdapat sejumlah masalah mengenai data kependudukan yang masih harus diperbarui. Akan tetapi, karena wadah dan sistem sudah ada, yang kini perlu dilakukan tinggal memperbaiki sejumlah masalah yang tidak terlalu prinsip agar data kependudukan tetap bisa langsung digunakan.
Ditanya soal kerap digunakannya isu DPT dalam ajang pilkada terkait dinamika politik lokal untuk keuntungan calon tertentu, Firman menyebut bahwa persoalan itu akan terus terjadi. Namun, tidak akan ada yang memedulikannya. Masalahnya, tak adanya kemampuan merasakan adanya ketidaksempurnaan praktik pemilu.
”Suatu hal yang di negara maju dipertanyakan, justru di sini tidak. Masalahnya, sense-nya belum dapat dirasakan di Indonesia. Jadi, akhirnya hal-hal seperti inilah yang selalu menjadi isu,” ujar Firman.