Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, pencarian terhadap Harun terus dilakukan. Bagi masyarakat yang memiliki informasi, kata dia, KPK terbuka menerima masukan agar yang bersangkutan segera ditemukan.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Pencarian Harun Masiku, tersangka kasus suap terkait dengan pergantian antarwaktu anggota DPR, mesti menjadi prioritas.
Pada saat bersamaan, penyebab keterlambatan informasi perlintasan Harun ke luar negeri juga harus diungkap tuntas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 9 Januari 2020 menetapkan Harun, bekas caleg DPR RI dari PDI Perjuangan, sebagai tersangka penyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Hingga Rabu (29/1/2020), keberadaan Harun masih belum diketahui.
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Idham Azis di Jakarta mengatakan, tim khusus Polri yang dipimpin Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih menyelidiki keberadaan Harun. Dia memastikan, Polri berkomitmen penuh membantu KPK menemukan Harun.
”Pastinya kami telah menerima surat (permohonan pencarian) dari KPK dan kami akan bantu penuh KPK,” katanya. Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, pencarian terhadap Harun terus dilakukan. Bagi masyarakat yang memiliki informasi, kata dia, KPK terbuka menerima masukan agar yang bersangkutan segera ditemukan.
Sementara itu, politisi Partai Demokrat, Andi Arief, meminta penegak hukum segera mengklarifikasi informasi dari media bahwa Harun pernah berada di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta. ”Apabila setelah satu pekan belum ada jawaban, kami sebagai warga negara akan mewakili hak rakyat untuk mengetahui keberadaan Harun dari otoritas PTIK,” ujar Andi.
Penyelidikan
Harun disebut Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bertolak ke Singapura, 6 Januari, dan belum kembali ke Tanah Air. Data itu kemudian dikoreksi Ditjen Imigrasi, 22 Januari, dengan menyampaikan Harun kembali ke Indonesia 7 Januari. Simpang siur informasi itu disebut akibat keterlambatan sistem informasi imigrasi.
Kriminolog Universitas Indonesia, Thomas Sunaryo, menilai, pelacakan terhadap Harun semestinya tak terlalu sulit bagi penegak hukum. Terlebih, Harun disebutkan berada di Indonesia. Dia membandingkan pencarian Harun dengan penangkapan M Nazaruddin beberapa tahun silam. Nazaruddin yang saat itu memiliki jabatan strategis di Partai Demokrat yang saat itu berkuasa dapat segera ditangkap, padahal posisinya berada di Kolombia.
Menurut dia, alasan keterlambatan informasi imigrasi terkait perlintasan Harun tidak masuk akal sehingga harus diusut tuntas. Terkait dengan hal itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Selasa, mencopot Dirjen Imigrasi Ronny Sompie. Alasannya, agar tidak terjadi konflik kepentingan saat penyelidikan keterlambatan sistem informasi imigrasi terkait Harun. Ronny belum bersedia berkomentar soal hal itu. Saat dihubungi, ia hanya menyatakan dipindahkan dari jabatan struktural ke jabatan fungsional.
Sementara itu, sejumlah pegawai Imigrasi sempat mengganti profil aplikasi pesan instannya dengan lambang Ditjen Imigrasi yang kelabu. Terkait dengan simpang siur informasi Harun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menyampaikan, Yasonna juga perlu bertanggung jawab. Yasonna juga beberapa kali menyebut Harun tidak berada di Indonesia.
Dia juga mengatakan, kehadiran Yasonna sebagai Kepala Bidang Hukum dan Perundang-undangan DPP PDI-P saat pengumuman pembentukan tim hukum terkait dengan kasus yang melibatkan Harun dan Wahyu membuat pernyataan Yasonna menjadi ambigu; antara pejabat publik dan petugas partai.
Yasonna menyatakan menolak bertanggung jawab atas kesalahan informasi perlintasan Harun. Ia menuding bawahannya tak patuh perintah. ”Tanggung jawabnya siapa yang paling apa (bertanggung jawab) di situ. Sistemnya, saya sudah beberapa bulan yang lalu bilang, perbaiki sistem itu,” katanya.