Belantika perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini semakin riuh, dengan hadirnya ”keraton atau kerajaan” tiban; jatuh dari langit, seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung serta lainnya.
Oleh
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
·4 menit baca
Belantika perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini semakin riuh, disemarakkan dengan kehadiran ”keraton atau kerajaan” tiban; jatuh dari langit, seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung. Selain itu, muncul juga simtom sejenis, yaitu Kesultanan Selaco (Jawa Barat), Kerajaan Ubur-Ubur (Banten), Negara Rakyat Nusantara, dan yang mutakhir adalah King of The King (Raja Diraja) di Kota Tangerang yang disebut akan melantik raja dan presiden seluruh dunia. (Kompas.com, 27/1/2020).
Tidak mustahil masih akan menyusul keraton-keraton dadakan lagi. Publik semakin gempita karena salah satu televisi swasta mengupas kerajaan dadakan tersebut berjam-jam.
Banyak perspektif memahami gejala tersebut, antara lain kerinduan publik terhadap kejayaan Indonesia atau tepatnya Nusantara masa lalu. Sudut pandang ini cukup valid, terutama jika dikaitkan dengan politik kekinian yang agresif melantangkan demokrasi, tetapi justru memproduksi raja-raja kecil hasil pemilu dan pilkada, pada khususnya. Para elite politik membangun imperium kekuasaan dengan memuliakan prosedur dan seremoni demokrasi. Puncak ibadat politik adalah pemilu dengan korban kedaulatan rakyat di altar kepentingan kekuasaan.
"Para elite politik membangun imperium kekuasaan dengan memuliakan prosedur dan seremoni demokrasi. Puncak ibadat politik adalah pemilu dengan korban kedaulatan rakyat di altar kepentingan kekuasaan"
Kehadiran para raja baru tidak hanya alegori politik, tetapi sekaligus satire dan parodi politik yang mengingatkan serta sindiran tajam atau ”nglulu” (bahasa Jawa) kepada para elite politik agar tidak tanggung-tanggung memonopoli kekuasaan. Praktik politik dewasa ini dirasakan tidak kalah feodalnya dengan penguasa zaman kuno. Bahkan, patronase politik tidak hanya terjadi di lingkungan birokrat dan lembaga politik, tetapi juga sudah merambah sampai tataran akar rumput. Akibatnya, pengejawantahan nilai-nilai demokrasi tidak menghadirkan roh kedaulatan rakyat, tetapi demokrasi patronase yang melumpuhkan nilai-nilai demokrasi (Edward Aspinal dan Ward Berenschot, Democracy for Sale, 2019).
Kapital menjadi modal vital membangun imperium kekuasaan. Menguras kekayaan negara atas nama dan demi perjuangan serta kejayaan politik adalah perbuatan yang dianggap wajar. Meludeskan aset bangsa dan negara telah menjadi kebiasaan dan masuk ke dalam bawah sadar mereka sehingga menjadi kebutuhan psikis dan naluri yang melekat pada hakikat yang sesat.
Sindrom kleptomania melalap kekayaan negara berkedok demokrasi mengakibatkan perpolitikan Indonesia dalam keadaan darurat permanen. Kepercayaan terhadap demokrasi, negara, dan pemerintahan semakin merosot. Demokrasi justru membuat relasi antara rakyat dan negara semakin renggang. Cinta Tanah Air menjadi slogan kosong.
Perspektif lain, kerinduan datangnya Ratu Adil yang konon sumber kekuasaannya berasal dari wangsit (bisikan) sehingga penerima ilham menjadi makhluk ”super human”, yang mampu menyulap rakyat yang hidup didera penderitaan lahir batin menjadi negara yang adil, makmur, sejahtera, hidup bahagia, serta mati masuk surga. Mereka bahkan bercita-cita mengembalikan kejayaan Nusantara untuk menjadi penguasa dunia.
Meskipun tidak menyampaikan secara eksplisit, para penguasa keraton tiban ini, khususnya Keraton Agung Sejagat dan King of The King di Tangerang, merasa mempunyai sumber kekuasaan karena menerima ilham dari awang- awang. Motivasi mendirikan ”keraton ajaib” karena mereka menganggap paham sejarah, kebudayaan, serta nilai-nilai adiluhung warisan dari nenek moyang.
"Motivasi mendirikan ”keraton ajaib” karena mereka menganggap paham sejarah, kebudayaan, serta nilai-nilai adiluhung warisan dari nenek moyang"
Namun, jika ujung-ujungnya adalah dugaan tindak kriminal dan ingin melenyapkan Indonesia dari peta bumi, atau menjadikan Indonesia bagian dari tatanan kekuasaan mondial, fenomena ini perlu dicermati karena bukan lelucon. Pasalnya, gagasan tersebut hampir mirip dengan ide konservatisme teologis yang ingin membangun tatanan dunia baru yang meniadakan kedaulatan negara. Modus ini juga dapat menodai budaya dan adat istiadat serta kearifan lokal yang sekarang ini sangat dibutuhkan untuk menangkal agresivitas budaya lapuk yang tidak hanya merusak negara, tetapi juga dapat mengobrak-abrik relasi sosial yang harmonis.
Sebangun dengan perspektif sindrom kleptomania yang menguras aset negara, sudut pandang sindrom kleptomania teologia juga mempunyai daya rusak mengacak-acak budaya tradisi yang selama ini menjadi roh kehidupan bersama yang saling menghargai serta menghormati satu sama lain. Kedua perspektif itu saling menguatkan serta sangat destruktif. Kultur dan kearifan lokal ”diperkosa” oleh budaya utopia yang mengabaikan akal sehat. Kewaspadaan tersebut sangat mendesak karena, menurut sinyalemen Radhar Panca Dahana, seni budaya telah menghadapi sakratul maut (Kompas, 21/1/2020).
Kecanggihan modus operasi para pengidap kedua sindrom itu adalah kemampuan bermimikri; mengubah bentuk sesuai lingkungan sekitar, dengan sangat cepat dan sulit dikenali, tanpa mengikuti histori rekam jejak mereka. Orang-orang yang semula baik, kalau harus hidup dalam tatanan yang rusak, pasti akan ikut rusak. Ini karena mereka hanya dapat bertahan kalau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang penuh manusia pengidap sindrom tersebut.
Oleh karena itu, sangat diharapkan agar negara dan masyarakat merawat budaya dan adat istiadat tradisional di tingkat lokal. Ini karena kultur adalah benteng kokoh untuk menangkal dan menundukkan para pengidap sindrom kleptomania budaya.