KPK akhirnya mengakui bahwa buronan mereka Harun Masiku berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, saat hendak ditangkap. Banyak kejutan di sekitar kasus ini.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
Tiga pekan ini, hingga Jumat (31/1/2020), keberadaan Harun Masiku, tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024, masih menjadi teka-teki bagi publik. Tak hanya menjadi teka-teki, informasi keberadaannya sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 9 Januari juga menuai ”kejutan”.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan, pada 16 Januari, Harun, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, belum berada di Indonesia. Hingga 19 Januari, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM juga menyatakan Harun tidak berada di Indonesia.
Direktur Jenderal Imigrasi yang saat itu dijabat Ronny F Sompie mengatakan, pihaknya berkoordinasi dengan negara yang menjadi dugaan lokasi keberadaan Harun dan terus memantau keberadaan Harun.
Namun, istri Harun, Hildawati Jamrin, justru mengatakan Harun sudah berada di Jakarta sejak 7 Januari. Meski tak bertemu langsung, Hildawati mengaku Harun mengabarinya sudah di Jakarta pada pukul 12.00 malam.
Pada 22 Januari, kejutan lain hadir setelah Ditjen Imigrasi mengubah informasi dengan membenarkan bahwa Harun sudah kembali ke Indonesia sejak 7 Januari. Kesalahan informasi dikatakan karena komputer imigrasi masih dalam mode latihan sehingga data pelintasan tidak terkirim ke server imigrasi.
Artinya, meski data kepulangan Harun terekam dalam komputer, tetapi tidak terkirim ke server pusat. Ronny pun mengakui, ada keterlambatan mengganti lock dari mode latihan ke mode produksi.
Atas kejadian ini, Ronny difungsionalkan menjadi analis imigrasi oleh Yasonna. Alasannya karena Ronny akan dimasukkan dalam tim independen bentukan Kemenkumham untuk mencari fakta-fakta keterlambatan informasi kepulangan Harun.
Tak hanya Ronny, Yasonna juga memberhentikan Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian (Sisdik) Alif Suaidi yang dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas keterlambatan sistem informasi imigrasi.
Kejutan terbaru mengenai Harun disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Ali Fikri. KPK akhirnya mengakui bahwa Harun berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, saat tim dari lembaga antirasuah tersebut melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Pada saat jumpa pers KPK, OTT disebut dilakukan pada 8-9 Januari.
”Memang (Harun) ada di sekitar Kebayoran Lama, kemudian tempat tinggal juga di Kebayoran Lama, PTIK juga di Kebayoran Lama. Teman-teman (tim penyidik KPK) kemudian ke sana melakukan serangkaian kegiatan, bagian dari penangkapan OTT yang mengamankan delapan orang. Namun, tidak berhasil menangkap saat itu karena kehilangan yang bersangkutan (Harun),” kata Ali.
Memang (Harun) ada di sekitar Kebayoran Lama, kemudian tempat tinggal juga di Kebayoran Lama, PTIK juga di Kebayoran Lama. Teman-teman (tim penyidik KPK) kemudian ke sana melakukan serangkaian kegiatan bagian dari penangkapan OTT yang mengamankan delapan orang.
Artinya, KPK sesungguhnya mengetahui bahwa Harun sebenarnya sudah kembali ke Tanah Air. Anehnya, pada 21 Januari, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan Harun berada di luar negeri.
Ujian berat
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan, menilai, kasus Harun menjadi ujian berat bagi Pimpinan KPK Jilid V dan Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 untuk membuktikan pemberantasan korupsi tidak melemah. Pasalnya, mencari dan menangkap Harun semestinya tidak sulit bagi KPK dengan sepak terjang baik selama ini.
”Kejadian-kejadian ini menunjukkan kasus Harun tidaklah sederhana. Harun dalam kasus ini bukanlah sebagai individu, tetapi menyangkut partai yang kini berkuasa, yakni PDI-P, sehingga ada tembok politik dalam membongkar kasus ini,” kata Adnan.
Harun, kata Adnan, meski tidak memiliki posisi penting dalam partai dan bukan elite politik yang berpengaruh, Harun adalah pelaku kunci dalam kasus dugaan penyuapan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Keterangan Harun akan menimbulkan gejolak karena dapat membongkar siapa saja yang terlibat.
Dalam kasus ini, Harun, yang merupakan caleg PDI-P dari dapil Sumatera Selatan I, diduga diupayakan untuk menjadi pengganti caleg terpilih, Nazarudin Kiemas, yang meninggal. Padahal, dalam rapat pleno KPU, seharusnya Riezky Aprilia yang menggantikan karena memperoleh 44.402 suara, jauh di atas Harun yang hanya mendapat 5.878 suara.
PDI-P diduga mengajukan permohonan fatwa MA dan kemudian mengirimkan surat berisi penetapan caleg kepada KPU. Meminta agar Harun yang menduduki jabatan sebagai anggota DPR pergantian antarwaktu.
Otoritas tidak sadar bahwa kejutan-kejutan tersebut mendegradasi kepercayaan publik, baik pada KPK, Kemenkumham, maupun negara. Presiden Joko Widodo yang berulang kali menyampaikan janjinya memberantas korupsi, tidak pandang bulu pada siapa pun yang terlibat korupsi, juga bisa ikut terdampak.