Pemerintah ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. KKR mencakup dua mekanisme penanganan pelanggaran HAM, baik yudisial maupun nonyudisial.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana pemerintah menghidupkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Pada prinsipnya, pengungkapan kebenaran itu dilakukan dengan dua cara, yakni melalui yudisial dan non-yudisial.
Menteri Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah bertekad menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR).
“Cara penyelesaiannya mengutamakan pengungkapan kebenaran dulu, melalui pengadilan atau menggunakan prinsip yudisial. Kalau ternyata tidak bisa, maka penyelesaiannya dengan pendekatan nonyudisial,” kata Mahfud, Kamis (30/1/2020), saat berkunjung ke kantor Harian Kompas, Jakarta.
UU KKR nantinya mengatur mekanisme yudisial dan nonyudisial yang akan dilakukan, meliputi syarat-syarat, rincian kewajiban negara, hingga hak-hak korban atau masyarakat.
Menurut Mahfud, Presiden Joko Widodo menaruh perhatian pada penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, selama ini ada kendala terkait belum adanya kesepahaman mekanisme penyelesaian. Komisi Nasional HAM berpegang pada UU Pengadilan HAM yang menyatakan kedudukan Komnas sebagai penyelidik pelanggaran HAM berat.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung berpegang pada ketentuan hukum acara pidana. Dengan merujuk pada KUHAP, hasil penyelidikan Komnas HAM tidak dapat ditindaklanjuti oleh kejaksaan karena tidak sempurna serta belum ada hukum acara yang mengatur hal itu.
“Saya ingin mencari jembatan dan mempertemukan bagaimana kedua proses ini bisa dilakukan. Ada proses yudisial dan nonyudisial,” kata Mahfud yang menyebutkan penuntasan pelanggaran HAM relatif rumit, antara lain karena kasus sudah terlalu lama, dan pada beberapa kasus, korban dan pelakunya banyak yang sudah meninggal.
Libatkan korban
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah perlu memaksimalkan partisipasi korban dan keluarganya, serta aktivis dan ahli HAM dalam pembentukan UU KKR.
“Sebenarnya sudah ada TAP MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat) tentang persatuan dan kesatuan nasional. Di sana ditegaskan tentang prinsip-prinsip komisi kebenaran yang memang ditempatkan sebagai pelengkap dari mekansime penyelesaian secara yudisial. Dengan demikian, pemerintah harus hati-hati. Jangan sampai ada kesan komisi ini pengganti mekanisme yudisial,” katanya.
Merujuk pada putusan MK yang membatalkan seluruh UU No 27/2004 tentang KKR, tahun 2006, menurut Usman, ada tiga opsi yang bisa ditempuh oleh pemerintah, yakni merevisi, membuat UU KKR baru, dan menerbitkan kebijakan pemerintah. Bila pemerintah memilih untuk membuat kembali UU KKR, prinsip universal harus diterapkan, yakni pengungkapan kebenaran, keadilan, dan pemulihan hak korban.
Anggota Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, seusai dengan UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas berada pada ranah pro yustisia atau penegakan hukum. Oleh karena itu, jalur yudisial menjadi jalan yang ditempuh Komnas.. Namun, di dalam Pasal 47 UU Pengadilan HAM juga disebutkan kemungkinan dibentuknya KKR.
“Merujuk pada Pasal 47, penyelesaian pelanggaran HAM memang dapat dilakukan melalui KKR. Namun, menurut kami, 12 perkara HAM berat masa lalu yang telah melalui proses yudisial, tidak bisa dialihkan kepada mekanisme nonyudisial karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal itu,” katanya.
Anam menegaskan, penyelesaian nonyudisial terhadap pelanggaran HAM tidak boleh menafikkan mekanisme yudisial. “Keduanya saling melengkapi,” katanya.