KPK mulai menindaklanjuti laporan masyarakat sipil terkait dugaan penghalangan penyidikan terkait kasus lenyapnya Harun Masiku, politisi PDI-P, yang diduga menyuap bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaporan dugaan perintangan penyidikan terhadap sejumlah nama yang diduga melindungi Harun Masiku, termasuk di antaranya Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, masuk tahap analisis lanjutan. Tindak lanjut terhadap dugaan tersebut dapat menjadi jalan masuk untuk menemukan yang dicari mengingat persoalan pencarian Harun ini bukan terkendala mekanisme pencariannya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri di Jakarta, Jumat (31/1/2020), menyampaikan, laporan yang masuk terkait dugaan merintangi penyidikan dalam kasus suap anggota KPU, Wahyu Setiawan, yang terkait dengan Harun, sudah dikaji dan masuk proses analisis lanjutan dari Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.
”Tahapan awal, kan, pelaporan ke (bagian) pengaduan masyarakat, lalu dikaji dan itu sudah dilakukan. Informasi terakhir dari pengaduan masyarakat sedang dilakukan analisis lanjutan terkait laporan-laporan yang masuk itu,” kata Ali.
Laporan yang masuk terkait dugaan merintangi penyidikan dalam kasus suap anggota KPU, Wahyu Setiawan, yang terkait dengan Harun, sudah dikaji dan masuk ke proses analisis lanjutan dari Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.
Salah satu laporan yang dianalisis adalah laporan terhadap Yasonna yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW), pekan lalu. Menurut Kurnia Ramadhana, yang saat itu melaporkan, Yasonna dinilai sebagai pihak yang patut bertanggung jawab terhadap simpang siur informasi keberadaan Harun yang berdampak pada penanganan perkara dan tak kunjung ditemukannya Harun.
Kamis (30/1/2020), KPK meminta keterangan Inspektur Wilayah III Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Ahmad Rifai. Belum jelas terkait apa Rifai dimintai keterangan. Sebelumnya, diberitakan juga bahwa Inspektorat Jenderal Kemenkumham membentuk tim untuk menelusuri distorsi informasi yang terjadi di Ditjen Imigrasi terkait keberadaan Harun.
Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menyampaikan, mekanisme pencarian orang di setiap lembaga penegak hukum mengacu pada undang-undang. Dengan demikian, KPK tinggal mengikuti aturan yang sudah ada seperti memasukkan yang bersangkutan ke dalam DPO, bisa juga dengan segera mencabut paspor, hingga meminta bantuan polisi dan interpol.
Namun, persoalan yang dihadapi saat ini terkait Harun, lanjut Busyro, bukan persoalan mekanisme. ”Ini bukan soal mekanisme pencarian. Itu sudah ada standarnya dan tinggal dijalankan saja. Persoalannya ada pada faktor lain yang membuat langkah-langkah untuk segera melacak dan menemukan terlaksana dan efektif,” kata Busyro.
Pertama, kode etik pimpinan dan pegawai KPK ketat ditegakkan. Kedua, terukurnya sikap loyalitas dan komitmen tunggal pimpinan pada KPK. Dengan demikian, tidak ada lubang untuk sikap loyalitas ganda sehingga tidak ada konflik kepentingan politik dan bisnis apapun. Ketiga, soliditas dan komitmen menjaga nilai independen dan profesional, baik pada pimpinan maupun jajaran penindakan.
Selain itu, kepercayaan antara pimpinan KPK dengan pimpinan Polri dan instansi lain juga menjadi kunci.
Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang menambahkan, unsur kecepatan memang penting dalam penanganan perkara. Namun, yang utama, penegakan hukum tetap harus mengikuti kaidah hukum dan sistem yang ada. ”Kecepatan dan transparansi menjadi bagian yang tidak terpisahkan sesuai tahapan penyidikan yang sedang berjalan,” kata Saut.
Sudah tiga pekan berlalu sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2020, Harun belum juga tertangkap. Dampak dari distorsi informasi keberadaan Harun membuat Ronny Sompie dimutasi dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada 28 Januari 2020 dan digantikan oleh Pelaksana Harian Inspektur Jenderal Kemenkumham Jhoni Ginting.
Berkaca pada sejumlah kasus lain yang ditangani KPK dan harus berhadapan dengan tersangka yang hilang, lamanya waktu pencarian dan s penangkapan umumnya terkendala karena oknum berada di luar negeri. Sebut saja Nunun Nurbaeti, Muhammad Nazaruddin, hingga Anggoro Widjojo.