Pemerintah berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui KKR. Pembentukan KKR dipastikan tidak akan mengabaikan pendekatan hukum melalui proses pengadilan. Di samping itu, KKR juga membuka pintu
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Belajar dari pengalaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR di banyak negara lain, proses yudisial tidak berarti hilang kendati ada komisi tersebut. Bahkan pada beberapa negara, pelaku pelanggaran HAM berat tetap dihukum karena dinilai pernyataannya tidak jujur atau tidak menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pengalaman Afrika Selatan dalam membentuk KKR adalah contoh yang banyak dirujuk oleh dunia. Dalam pengalamannya, Afsel terkenal karena menggunakan pendekatan nonyudisial, yakni berupa pemberian amnesti setelah ada pengakuan dari pelaku kejahatan HAM dan permintaan maaf dari negara. Namun, selain proses nonyudisial, pada praktiknya Afsel juga menerapkan ancaman hukuman kepada pelaku yang tidak mau mengungkapkan kebenaran atau pun tidak mengutarakan hal itu dengan jujur. Artinya, mekanisme KKR yang baik tidak menghilangkan pintu penuntutan hukum bagi pelaku kejahatan HAM.
“Afsel memang salah satu yang berhasil dalam menerapkan KKR. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan Afsel kerap disalahpahami, karena seolah hanya melakukan pendekatan nonyudisial. Akibatnya yang dominan dalam narasi tentang KKR adalah pengampunan, amensti, dan kompensasi,” kata Usman, Jumat (31/1/2020) di Jakarta.
Salah satu hal yang kerap dilupakan orang ketika merujuk pada praktik baik Afsel ialah, peranan kejaksaan agung di negara itu yang menggunakan hukum untuk mengancam para pelaku kejahatan yang tidak mau memberi pengakuan jujur di komisi kebenaran.
“Jadi, para para pelaku dilibatkan untuk berpartisipasi di dalam KKR guna mengungkapkan kebenaran versi mereka. Ada yang menceritakan secara detil bagaimana dia menculik korban, menyiksanya, dan menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Beberapa di antara mereka yang dipandang jujur dan tulus menyesal akhirnya diberikan pemaafan. Ada juga yang memberikan keterangan di dalam KKR, namun tidak diberi pengampunan, dan malah diberi rekomendasi untuk dilanjutkan dalam penuntutan pidana,” kata Usman.
Mereka tidak diberi amnesti karena dinilai tidak mengungkapkan kebenaran dengan jujur dan tulus. Pertimbangan lain yang menentukan apakah seseorang akan diberi ampunan ataukah tidak ialah beban pertanggungjawabannya. Beban itu tentu berbeda antara bawahan dan atasan yang bertanggung jawab atas segala perbuatan mereka. Untuk kejahatan serius seperti penculikan, perkosaan, dan penyiksaan, kedudukan sebagai atasan tidak bisa mengurangi porsi kesalahannya dan keharusannya bertanggung jawab.
Dengan melihat contoh dari Afsel, menurut Usman, pemerintah dengan pembentukan KKR tidak dapat menutup pintu bagi penegakan hukum melalui jalur pengadilan. Kejagung di Afsel mengambil peran penting memastikan seseorang untuk mengakui perbuatannya dan mengemukakan kejujuran dengan sebenarnya. Bila menolak memberikan keterangan di dalam KKR, seseorang diancam dengan penuntutan pidana di pengadilan.
Usman mengatakan, proses KKR di dunia bukan seperti pemberian ampunan kepada pengemudi motor di jalanan yang tidak menaati aturan. Proses KKR melibatkan berbagai pihak, terutama pelaku dan korban. Pengungkapan fakta pun dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti sejarah, psikologi, dan hukum.
“Tetapi apakah akan berujung kepada pemaafan atau rekonsiliasi, ataukah direkomendasikan ke pengadilan, itu semua bergantung kepada pertimbangan komisi amnestinya. Biasanya hal itu diukur dengan melihat kejujuran dan ketulusan pelaku,” katanya.
Di negara lain pun, penanganan kasus pelanggaran HAM ada juga yang sepenuhnya melalui jalur hukum. Salah satu contohnya ialah Argentina. Di negara Amerika Latin ini, sampai dengan tahun 2018, ada 240 kasus pelanggaran HAM berat yang masuk ke pengadilan HAM berat masa lalu. Separuh dari yang disidangkan itu telah divonis bersalah.
“Hukumannya beragam. Ada pelaku yang sudah tua, sehingga ia dikenai penahanan kota. Pertimbangan pada usia lanjut dan kemanusiaan membuat vonis tahanan kota itu dinilai cukup memadai untuk mengganjar hukuman si pelaku di usia senjanya. Dengan demikian, penjatuhan hukuman tetap tidak semena-mena atau tendensius,” katanya.
Di Dalam buku “Truth and Reconciliation, Obstacles and Opportunities for Human Rights” (1995) disebutkan ada beberapa negara yang menerapkan KKR. Salah satunya ialah Chili. Di negara tersebut, komisi kebenaran melampirkan nama-nama pelaku secara tertutup yang disampaikan kepada pengadilan agar ditindaklanjuti. Sekalipun negara akhirnya mengampuni para pelaku kejahatan HAM itu, tetapi mekanisme pengungkapan kebenaran tetap dijalankan melalui pengadilan.
Hukum pelaku utama
Anggota Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan, sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM, kewenangan Komnas HAM berada di ranah pro yustisia. Oleh karena itu, Komnas HAM menempuh jalur hukum dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Posisi Komnas HAM ialah menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan mengirimkan hasilnya kepada Kejagung untuk ditindaklanjuti dalam penyidikan. Saat ini, ada 12 kasus pelanggaran HAM yang hasil laporannya telah diserahkan kepada Kejagung. Namun, sampai saat ini belum ada kelanjutan atas perkara tersebut.
Terkait dengan rencana pembentuk KKR, UU Pengadilan HAM juga telah mengatur hal itu di dalam Pasal 47. Pasal tersebut berbunyi, (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
Merujuk pada ketentuan tersebut, menurut Anam, harus ada UU terlebih dulu sebelum dibentuk KKR. Selain itu, substansi isi UU KKR harus pula dibicarakan dengan keluarga korban, sebab tidak mungkin ada pengungkapan kebenaran tanpa pelibatan korban dan keluarnya sejak awal.
“Kedua, yang tidak kalah penting ialah meletakkan pro yustisia atau penegakan hukum dan nonyudisial di dalam prinsip-prinsip HAM. KKR tidak boleh menafikan proses hukum yang sedang berjalan, melainkan saling melengkapi,” katanya.
Menurut Anam, untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pelaku utama atau otak yang bertanggung jawab atas kejadian itu semestinya tidak sekadar dimaafkan. Pada banyak praktik KKR di dunia, pelaku utama tetap diadili.
“Pelaku-pelaku lapangan bisa dimaafkan, tetapi untuk pelaku-pelaku yang paling bertanggungjawab itu tidak bisa dimaafkan. Kalau dimaafkan itu namanya impunitas,” ujarnya.
Prinsip penting lainnya ialah pengungkapan kebenaran. Tujuannya agar kejadian semacam ini tidak terulang kembali. Setelah itu, negara wajib memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.
Tidak lindungi pelaku
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus-kasus itu pun sudah terlalu lama tidak dituntaskan, sehingga membuat penyelesaiannya menjadi rumit. Di samping itu, pada beberapa kasus, mulai sulit ditemukan pelakunya maupun korban, karena banyak yang telah meninggal. Pemerintah berinisiatif untuk membentuk KKR sebagai mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Mahfud menampik anggapan pembentukan KKR itu bertujuan untuk melindungi atau mengampuni jenderal tertentu dari pertanggungjawaban atas kasus pelanggaran HAM. “Saya tidak peduli jenderal siapa pun. Pokoknya kasus-kasus ini diselesaikan,” katanya.
Menurut Mahfud, mekanisme yang menjembatani perbedaan antara pendekatan yudisial dan nonyudisial harus tetap dibuat untuk memastikan penyelesaian kasus-kasus HAM berat itu bisa dilakukan secepatnya. Sebab, kalau tidak ada mekanisme lain, perdebatan tentang apakah mekanisme yudisial ataukah nonyudisial yang digunakan untuk menuntaskan kasus itu akan terus berlanjut. Komnas HAM merujuk kepada aturan di dalam UU Pengadilan HAM, sementara Kejagung merujuk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang hukum acaranya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Dengan KKR untuk mengungkapkan kebenaran, saya ingin mencari jembatan dan mempertemukan cara bagaimana kedua proses ini bisa dilakukan. Ada proses yudisial dan nonyudisial,” katanya.
Ia menegaskan, pengungkapan kebenaran di dalam KKR itu dilakukan dengan dua cara, yakni yudisial dan nonyudisial.
“KKR itu yang paling pokok ialah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Cara penyelesaiannya mengutamakan pengungkapan kebenaran dulu. Kebenaran itu bisa diajukan melalui pengadilan atau menggunakan prinsip yudisial. Kalau ternyata tidak bisa maka penyelesaiannya dengan pendekatan nonyudisial,” kata Mahfud, Kamis kemarin.