Rabu, 22 Januari 2020, politikus senior datang ke kantor. Kami berbincang ngalor-ngidul. Mulai kondisi politik terkini, resesi ekonomi global, sampai meredupnya kekuatan tengah.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Rabu, 22 Januari 2020, politikus senior datang ke kantor. Kami berbincang ngalor-ngidul. Mulai kondisi politik terkini, resesi ekonomi global, sampai meredupnya kekuatan tengah. Politikus itu menyebut ada gap antara realitas sosial dan praktik politik. Dia menganalogikan gaya kepemimpinan sekarang seperti demikian; ”Kalau saya mau begini, kamu mau apa.”
Dunia politik dan hukum, serta ekonomi yang tampak tenang, sebenarnya ada riak yang bisa bergejolak. Tenangnya suasana kebatinan, seperti istilah dalam bahasa Jawa; kesirep. Suasana batin seperti tidak sadar terbawa, terpesona, atau ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau, suasana kesirep terjadi lebih karena pertautan kepentingan.
Adanya pertalian kepentingan elite politik mungkin penjelasan paling rasional. Dalam politik tidak pernah ada lawan dan kawan abadi, selain kepentingan itu sendiri. Sejauh kepentingan terakomodasi, lawan bisa jadi kawan. Sebaliknya, ketika kepentingan elite tidak merata, kawan bisa berubah jadi lawan. Hampir tidak ada kesetiaan dan keutamaan dalam politik selain setia pada kepentingan itu sendiri. Politik hanyalah jual-beli kepentingan.
Mungkin perasaan seperti itulah yang dirasakan publik selama ini. Periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang kini berpasangan dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, terasa berbeda. Keberhasilan Presiden Jokowi mengendalikan sejumlah unjuk rasa— menolak hasil pemilu, menolak revisi UU KPK, menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana—seperti menambah kepercayaan politik Presiden. Langkah Presiden Jokowi dengan menarik Prabowo Subianto, rivalnya dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, sebagai Menteri Pertahanan membuat kekuatan politik terkonsolidasi. Dengan menguasai 427 dari 575 kursi DPR, secara teoretis, Presiden Jokowi bisa mewujudkan idenya.
Seratus hari periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi yang oleh sebagian orang disebut pemimpin bermazhab new-developmentalis, ditandai langkah pembongkaran atau dalam bahasa politik sebagai dekonstruksi. Wacana dekonstruksi mewujud saat Presiden Jokowi menunjuk Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nadiem tampil dengan gagasan segar (tetapi juga dipertanyakan) di dunia pendidikan. Ujian Nasional diganti. Merdeka belajar. Banyak ide Nadiem yang membongkar pakem dunia pendidikan.
Langkah politik berbeda pun diambil Presiden dengan menarik staf khusus milenial. Mereka bekerja paruh waktu, bergaji sekitar Rp 50 juta, dan jadi teman diskusi Presiden. Biasanya, staf khusus ialah birokrat senior atau pensiunan militer, kini digantikan milenial.
Pembongkaran birokrasi dilakukan. Eselon III dan IV dihapus dan diganti artificial intelligence. UU Sapu Jagat dibuat untuk mengatasi obesitas regulasi. Presiden Jokowi mengeluh banyaknya aturan membuat investasi tidak masuk. Maka, diadopsilah konsep hukum Anglo Saxon;, omnibus law. Para ahli pun sahut- menyahut soal omnibus law meskipun dalam pemahaman tidak seragam. Omnibus law menjadi magnet baru. Harapan baru. Dan mungkin juga yang membuat orang kesirep. Jika ada masalah; omnibus law jawabannya.
Omnibus law sama dengan proses pembuatan undang-undang; apakah undang-undang baru atau revisi undang-undang yang melibatkan DPR. Mahkamah Konstitusi bisa menguji konstitusionalitas undang-undang itu.
Jakarta sebagai Ibu Kota juga ”dibongkar”. Presiden berencana memindahkan ibu kota ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemerintahan mengusung konsep Nawacita dengan retorika nasionalistik seperti berdikari, tetapi mengundang tokoh internasional sebagai Dewan Pengarah. Ada Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris). Ada Masayoshi Son (CEO Softbank). Ada Sheikh Mohammed Bin Zayed, putra Mahkota Abu Dhabi, UEA. Upaya mewujudkan gagasan pemindahan ibu kota yang memakan biaya sekitar Rp 460 triliun terus dilakukan meski dasar hukumnya belum ada.
Catatan Djohermansyah Djohan di Harian Kompas, 28 Januari 2020, menarik. Skenario paling cepat pemindahan ibu kota baru bisa terlaksana 15 tahun ke depan, yakni tahun 2034. ”Rasanya riskan jika pemindahan ibu kota negara dipaksakan tahun 2024. Pengalaman kita memindahkan ibu kota provinsi perlu waktu 20 tahun untuk kasus Kalsel dan Maluku Utara,” tulis Djohermansyah Djohan.
Dekonstruksi bisa saja dirasionalisasi sebagai jawaban menanggapi fenomena VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Namun, tetap harus diingat, pembongkaran membutuhkan pembangunan kembali dan itu membutuhkan peta jalan. Jangan sampai ketika semua dibongkar, dan belum sempat dibangun, membuat fondasi bangsa menjadi ”ambyar” dan waktu telah habis.
Masa jabatan Presiden hanya lima tahun, sedangkan rekonstruksi membutuhkan waktu jauh lebih lama. Sebenarnya tak perlu menciptakan terlalu banyak front baru, tetapi fokuslah pada perintah konstitusional: menyejahterakan rakyat, menghadirkan keadilan sosial, dan memberantas korupsi! Itu adalah warisan berharga untuk bangsa ini.