Pola Unjuk Rasa Berubah, Pendekatan Penanganan Aksi Massa Harus Dievaluasi
Polri harus mampu mengantisipasi perubahan pola aksi massa belakangan ini. Evaluasi terhadap pola pengamanan harus dilakukan agar tidak ada tindakan menyimpang dari personel kepolisian yang berujung pada kekerasan.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara RI diharapkan mengevaluasi pola pendekatan dalam penanganan aksi massa. Tekad Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis untuk menghadirkan personel kepolisian yang humanis harus diwujudkan dalam bukti nyata di lapangan, terutama saat personel kepolisian berhadapan dengan masyarakat.
Selama 2019, Polri disorot karena diduga melakukan kekerasan dalam penanganan sejumlah aksi massa, seperti penggusuran lahan di Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Desember; aksi menolak revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Kendari, Sulawesi Tenggara, akhir September; hingga dugaan kekerasan kepada tersangka aksi unjuk rasa di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, September, yaitu Lutfi Afiandi.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Amiruddin Al Rahab, Minggu (2/2/2020) di Jakarta, Polri harus mampu mengantisipasi perubahan pola aksi massa. Ia menjelaskan, umumnya, unjuk rasa dimulai dengan aksi damai hingga berubah menjadi tindakan yang anarkistis, seperti dua aksi unjuk rasa di Badan Pengawas Pemilu untuk menolak hasil Pemilu Presiden 2019 dan Kompleks Parlemen menolak UU KPK.
Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi tindakan yang menyimpang dari personel kepolisian yang mengamankan aksi massa itu, apalagi sampai ada korban jiwa dari masyarakat sipil.
”Pimpinan Polri harus memberi perhatian serius terhadap masih kerap terlibatnya beberapa anggota kepolisian dalam tindak kekerasan ketika mengamankan aksi massa,” ujar Amiruddin, Minggu (2/2/2020), di Jakarta.
Lebih lanjut, Amiruddin menambahkan, Polri juga perlu mengusut secara tuntas dan terbuka sejumlah dugaan kekerasan yang dilakukan personel Polri. Salah satunya dalam proses pemeriksaan Lutfi yang telah diungkapkan dalam proses persidangan. Ia menekankan, keterangan di bawah sumpah dan di hadapan majelis hakim tidak bisa diabaikan sehingga penyelidikan perlu dilakukan Polri.
”Pemeriksaan secara menyeluruh dalam dugaan itu perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kesaksian itu terbukti atau tidak,” kata Amiruddin.
Secara terpisah, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis mengatakan, sikap humanis seluruh personel kepolisian merupakan keharusan. Dia tidak menginginkan adanya kehadiran oknum Polri yang melakukan tindakan arogan serta menjurus pada kekerasan.
Oleh karena itu, Idham menekankan, dirinya tidak akan menolerir tindakan kekerasan yang dilakukan personel kepolisian ketika bertugas. Ia mengungkapkan, peristiwa tewasnya dua mahasiswa di Kendari telah diungkap kepada publik dengan menetapkan satu anggota kepolisian, AM, sebagai tersangka.
Untuk dugaan kekerasan yang menimpa Lutfi, lanjut Idham, proses penyelidikan internal tengah dilakukan. Sebanyak 16 saksi telah diperiksa. Mereka adalah penyelidik kepolisian yang menangani kasus Lutfi, teman Lutfi yang juga menjalani proses hukum, serta kuasa hukum Lutfi.
Sementara itu, untuk peristiwa Tamansari, Polri telah memberi hukuman kode etik kepada dua personel Kepolisian Resor Kota Besar Bandung, yaitu MTH dan DSP. Mereka dihukum penundaan kenaikan pangkat satu tahun dan penempatan di tempat khusus selama 21 hari.
”Saya akan mengeluarkan TR (telegram rahasia) untuk memastikan perilaku humanis itu. Sebab, (pelaku kekerasan) itu adalah oknum yang akan kita tindak tegas apabila terbukti melanggar,” kata Idham.
Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional Bekto Suprapto menegaskan, semua anggota Polri tidak ada yang kebal hukum dan semua tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Atas segala perbuatannya, kata Bekto, setiap personel Polri terikat dengan kode etik profesi dan pidana.
”Apabila ada perbuatan pidana, anggota Polri harus diproses pidana karena, sesuai dengan UU, Polri tunduk pada peradilan umum. Alhasil, tidak pada tempatnya kalau pelanggaran pidana hanya diproses dengan sidang kode etik profesi Polri atau diproses dengan hukuman disiplin,” ucap Bekto.