Gus Sholah dan Kerukunan Indonesia...
Kepergian KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah memberikan banyak kenangan. Gus Sholah, cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, memberikan teladan kerukunan bagi warga bangsa, termasuk persatuan dan keberagaman.
Kepergian KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah menghadap Sang Khalik, Minggu (2/2/2020), menyisakan duka mendalam bagi banyak pihak. Kiprahnya sepanjang 77 tahun usianya menggambarkan kepeduliannya bagi bangsa.
Hingga Senin (3/2/2020) pagi, pelayat terus berdatangan ke rumahnya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Beberapa tokoh yang hadir ialah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Bahkan, Wapres memimpin langsung shalat jenazah Gus Sholah sebelum diberangkatkan ke Jombang, Jawa Timur, dengan pesawat dari Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin.
Tokoh lain yang hadir ialah Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto.
Putri Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, yang juga melayat, menyampaikan kesan baiknya mengenai Gus Sholah. Sebagai generasi muda Nahdlatul Ulama, dia banyak belajar dari Gus Sholah. Januari lalu, mereka bertemu dalam seminar kebangsaan di salah satu kampus di Depok, Jawa Barat. ”Gus Sholah merupakan tokoh NU yang mewakili pandangan keluarga yang nasionalis sekaligus agamais. Dia mengajak generasi muda untuk menghayati kedua nilai itu,” katanya.
Gus Sholah merupakan tokoh NU yang mewakili pandangan keluarga yang nasionalis sekaligus agamais. Dia mengajak generasi muda untuk menghayati kedua nilai itu.
Jenazah Gus Sholah telah dibawa ke bandara pukul 09.00. Gus Sholah akan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Tebuireng, Jombang, berdampingan dengan makam kakaknya, yang juga Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid.
Baca Juga: Tokoh Nasional Lepas Kepergian Gus Sholah lewat Media Sosial
Sepanjang hidupnya, Gus Sholah banyak berkiprah dalam memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan dan terlibat dalam urusan kenegaraan. Publik antara lain mengetahui perannya sebagai Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tahun 2002, yang juga pernah memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998, dan juga Ketua Tim Penyelidik Ad Hoc Pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998.
Pada Pemilu 2004, Gus Sholah menjadi calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Pada 2006, Gus Sholah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Pada 2010 dan 2015, Gus Sholah mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Pada 2018, ia terpilih sebagai anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, alasan kesehatan mengakibatkannya mengundurkan diri dari posisi anggota Dewan Etik MK.
Sikapnya yang mengutamakan karakter negarawan terlihat saat menjadi anggota Dewan Etik MK yang menjatuhkan sanksi kepada Ketua MK Arief Hidayat, ketika itu, yang dinilai melanggar etik karena bertemu dengan anggota DPR.
Gus Sholah menilai pertemuan dengan anggota DPR yang terkait dengan rangkaian pemilihan hakim MK dari DPR kurang etis karena hal itu dikhawatirkan menimbulkan pertanyaan dari publik. Di sisi lain, menurut Gus Sholah, dalam menegakkan etika sebagai negarawan, Ketua MK harus memberikan contoh.
Utamakan persatuan
Sikap negarawan itu kembali ditunjukkannya di tengah-tengah kontestasi politik yang ketat dalam Pilpres 2019. Narasi ” pembelahan” yang menajam dalam kontestasi pilpres, bahkan mengikutsertakan ulama di tingkat akar rumput, membuat Gus Sholah prihatin.
Ulama sebagai tokoh masyarakat semestinya memainkan peran sebagai agen pemersatu, bukannya turut dalam pertentangan politik yang membelah masyarakat. Ketika itu terjadi pembelahan yang berat di masyarakat antara pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.
Narasi ’pembelahan’ yang menajam dalam kontestasi Pilpres 2019, bahkan mengikutsertakan ulama di tingkat akar rumput, membuat Gus Sholah prihatin.
” Pendirian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran umat dan tokoh Islam. Oleh karena itu, bersatunya Indonesia juga mensyaratkan persatuan antarumat Islam. Seharusnya sekarang tidak perlu ada lagi 01 (pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf) dan 02 (pendukung Prabowo-Sandiaga), tetapi sekarang 0 semua,” kata Gus Sholah.
Siapa pun yang terpilih memimpin Indonesia, menurut Gus Sholah, telah tercantum di dalam Lauhul Mahfudz, atau catatan Tuhan, sehingga pertentangan yang berlebihan dan terlalu sengit menjadi tidak relevan lagi. Artinya, siapa pun yang memimpin negeri ini telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, setiap orang tentu harus menerima takdir itu dan tidak merasa kecewa apalagi bermusuh-musuhan karena perbedaan pilihan politik.
Perbedaan politik, menurut Gus Sholah, adalah hal yang lumrah. Namun, janganlah hal itu memicu perpecahan bangsa. Hal itu diungkapkan Gus Sholah saat mengumpulkan ulama dari sejumlah daerah di Ponpes Tebuireng, Jombang, Minggu (7/4/2019). Ia menggagas Halaqoh Kebangsaan dengan tema ”Peran Ulama, Habaib, Kiai, dan Cendekiawan dalam Meneguhkan Ikatan Kebangsaan Menuju Indonesia Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur”.
Dalam acara itu, pengasuh Gus Sholah menuturkan, perbedaan pilihan politik di masyarakat, termasuk juga yang terjadi di kalangan ulama, tidak seharusnya diperuncing hingga melukai persaudaraan, persahabatan, apalagi mengorbankan kepentingan bangsa (Kompas, 8 April 2019).
”Dalam sejarah bangsa Indonesia, tokoh Islam banyak melakukan tindakan yang berhasil menjaga persatuan Indonesia. Karena itu, dengan pertemuan ini marilah kita mulai saling mendekat untuk memperbaiki keadaan,” ajak Gus Sholah.
Sejumlah ulama dan cendekiawan yang hadir dalam pertemuan itu, antara lain KH Mahfudz Syaubari dari Mojokerto, KH Lutfi Abdul Hadi dari Malang, dan Imam Suprayogo, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim dari Malang.
Kompas berkesempatan mengikuti jalannya halaqoh tersebut dan menyaksikan seruan kerukunan Gus Sholah dikumandangkan di aula Ponpres Tebuireng. Hal itu menjadi catatan sejarah tersendiri sekaligus meneguhkan keyakinan masih adanya ulama yang juga negarawan di republik ini. Sikap yang demikian itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Gus Sholah dari kalangan NU yang mengajarkan perbedaan sebagai suatu fitrah yang harus disyukuri, dan diolah, tetapi tidak untuk memecah-belah bangsa.
Di lingkungan Ponpes Tebuireng, misalnya, Gus Sholah selaku pengasuh memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menentukan pilihan. Tidak terkecuali di lingkungan keluarga para kiai dan pengasuh pondok, yang bebas saja menyuarakan dukungan dan pilihan politik. Perbedaan semacam itu tidak membuat hubungan antarkeluarga renggang karena pilihan politik tidak lebih tinggi dari persaudaraan dan kemanusiaan.
Sepupu Gus Sholah, KH Agus Zaki Hadzik, menuturkan, perbedaan adalah ”sego jangan” atau makanan sehari-hari di lingkungan pesantren. Dalam khazanah pemikiran NU, berbeda pendapat adalah lumrah dan semua memiliki landasan atau alasan masing- masing.
”Kalau misalnya santri berbeda pendapat dengan kiai atau ulamanya, saya katakan, dia sebaiknya diam saja. Jangan dibantah atau marah-marah. Karena keberkahan dari seorang guru atau kiai itu tiada duanya. Kalau soal pilihan politik, silakan saja. Namun, soal menghormati kiai dan ulama, yakni dengan sikap tawadhu, itu harus dilakukan seorang santri,” kata Gus Zaki.
Kalau soal pilihan politik, silakan saja. Namun, soal menghormati kiai dan ulama, yakni dengan sikap tawadhu, itu harus dilakukan seorang santri.
Bekal keilmuan dan budaya ”santri” yang kental itu, menurut Gus Zaki, yang melatarbelakangi sikap toleran warga dan ulama NU, termasuk Gus Sholah. Pendirian serupa juga diserukan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang menegaskan tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Lebih jauh itu, Gus Dur dan Gus Sholah sama-sama sepakat perbedaan politik tidak seharusnya mengorbankan kepentingan bangsa dan negara, serta persatuan umat Islam ataupun warga bangsa secara umum.
Kehilangan ”obor”
Pemikiran Gus Sholah juga diwujudkan dalam bentuk tulisan atau artikel di sejumlah media. Gus Sholah yang lahir di Jombang, 11 September 1942, kerap menulis di harian Kompas. Bahkan, sepekan sebelum berpulang, tulisan Gus Sholah yang berjudul ”Refleksi 94 Tahun NU” diterbitkan. Gus Sholah antara lain menyerukan perlunya NU memegang teguh khitah. Ia mengingatkan PBNU yang kini memberikan perhatian besar pada politik dan kurang memberi perhatian pada amal usaha lain, seperti pendidikan, sosial, kesehatan, dan ekonomi.
” NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia,” tulis Gus Sholah.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan, sosial, kesehatan dan ekonomi) terabaikan.
”Pendapat dan sikap PBNU bahwa NU adalah ashabul qoror (pemangku kebijakan), bukan ashabul haq (pemangku kebenaran), dan harus dibahas dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa depan Indonesia,” katanya.
Baca Juga: Selamat Jalan Gus Sholah
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyimak tulisan Gus Sholah tersebut. Ia menilai itu adalah pesan pamungkas Gus Sholah kepada NU dan bangsa yang dicintainya. Keinginan untuk menjadikan NU sebagai ashabul haq adalah dambaan semua warga NU. Pesan tersebut juga akan menjadi salah satu hal penting yang akan dibahas di dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung.
Bagi PBNU, Gus Sholah adalah obor, baik bagi organisasi maupun jemaah secara umum. ”Beliau adalah salah satu tokoh yang merupakan obor persatuan. Ketika obor padam, sulit sekali dicari penggantinya. Ini kehilangan yang besar. Beliau selama hidupnya banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk dengan umat beragama lain. PBNU sangat berduka,” kata Helmy.
Gus Sholah meninggalkan banyak pesan dan teladan, tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai negarawan. Contoh itu akan menjadi memori kolektif bangsa, yang semoga akan terus menjadi ”obor” bagi terangnya persatuan dan kerukunan di negeri ini.