Pemerintah Kaji WNI Mantan Anggota NIIS Dipulangkan atau Tidak
Pemerintah kini mengkaji opsi memulangkan atau tidak memulangkan WNI mantan anggota NIIS di Afghanistan, Suriah, dan Turki. Keputusan akhir akan diambil pada Mei atau Juni 2020.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka kemungkinan untuk memulangkan warga negara Indonesia mantan anggota kelompok garis keras Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Namun, kepulangan mereka dikhawatirkan menimbulkan dampak buruk.
Saat ini opsi pemulangan masih terus dikaji. Keputusan akhir akan diambil pemerintah pada Mei atau Juni 2020.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Selasa (4/2/2020), menyampaikan, sejauh ini ada dua opsi yang akan diambil bagi warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota NIIS. Opsi pertama, mereka akan dipulangkan. Opsi kedua, tidak akan dipulangkan.
Mahfud menyebutkan, ada sekitar 660 WNI mantan anggota NIIS yang masih tersebar di Afghanistan, Suriah, dan Turki.
Pertimbangan untuk memulangkan didasari atas hak mereka sebagai WNI. Adapun opsi untuk tidak memulangkan muncul setelah mereka dinilai melanggar hukum karena pergi ke luar negeri secara ilegal. Dengan demikian, hak mereka sebagai warga negara bisa dicabut.
”Oleh sebab itu, sekarang sedang dibentuk satu tim yang dipimpin Bapak Suhardi Alius (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang tugasnya membuat dua draf keputusan,” ujar Mahfud di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta.
Setiap opsi memiliki pertimbangan masing-masing. Opsi tidak memulangkan akan mempertimbangkan risiko potensi mereka menyebarkan paham radikal di Indonesia. Selain itu, ada pertimbangan Pemerintah Indonesia wajib menjaga hubungan dengan negara tempat WNI tersebut berada.
Menurut informasi, Pemerintah Indonesia telah berkomunikasi dengan Damaskus atau Pemerintah Suriah. Pemerintah Suriah berencana memberikan hukuman bagi mantan anggota NIIS, termasuk para WNI.
Adapun opsi untuk memulangkan WNI itu membawa konsekuensi. Pemerintah mesti memikirkan secara matang proses deradikalisasi untuk mereka.
Pengalaman Indonesia
Menurut Mahfud, pemerintah pernah mempunyai pengalaman dalam memulangkan anak berusia 13 tahun yang pernah terafiliasi dengan NIIS. Setelah dipulangkan, anak tersebut diam-diam pergi ke Filipina dan melakukan aksi bom bunuh diri. Pemerintah tidak ingin gegabah mengambil keputusan.
Dua opsi tersebut dirumuskan ke dalam dua draf keputusan. Mahfud menjelaskan, kedua draf keputusan itu akan dibahas di Kantor Wakil Presiden pada April 2020. Setelah dibahas dan mendapat masukan dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin, draf akan dikirim ke Presiden Joko Widodo untuk didiskusikan lagi secara lebih mendalam dan diambil keputusan akhir.
”Kira-kira Mei atau Juni 2020 sudah akan diputuskan. Cuma sampai hari ini masih dalam proses pembahasan di internal pemerintah. Sebab, negara-negara lain pun belum ada yang ingin memulangkan,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, alasan negara-negara lain belum berniat memulangkan warganya adalah karena keberadaan mereka dinilai bisa memberi ancaman keamanan. Ia menegaskan, keputusan Pemerintah Indonesia terhadap kedua opsi itu belum final.
Bisa kacau
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, berpendapat, jika pemerintah hendak memulangkan mereka, proposal penanganannya harus dirumuskan secara jelas. Sebab, ketidakjelasan penanganan setelah dipulangkan akan menimbulkan kekacauan.
Mardani mengatakan, penanganan isu pemulangan WNI ini harus multidisiplin. Program deradikalisasi harus dijalankan dengan pendekatan moderasi keagamaan. Pihak-pihak yang terlibat di antaranya Majelis Ulama Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
”Karena ini bukan urusan agama. Ada masalah ekonomi, ideologi, dan politik. WNI sebanyak 660 orang itu harus benar-benar dijaga,” ujar Mardani.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra menyampaikan, jika opsi pemulangan menjadi pilihan, ke-660 WNI tersebut wajib menjalani proses verifikasi dan profiling.
Sembari melakukan verifikasi dan profiling, Pemerintah Indonesia melihat bagaimana sikap pemerintah negara tempat para WNI itu sebelumnya tinggal.
”Profiling dan verifikasi ini penting untuk memastikan lagi apakah mantan anggota NIIS itu benar-benar merupakan WNI,” kata Asep.