Mengumpulkan informasi pribadi seseorang untuk dipergunakan menyerang orang tersebut bukanlah praktik baru. Namun, dunia maya membuat lapangan pertempuran menjadi kian luas dan dalam.
Oleh
Ingki Rinaldi
·6 menit baca
Tokoh publik, seperti politikus, pejabat publik, dan pesohor, menjadi korban. Namun, tidak hanya mereka, kelompok-kelompok rentan, seperti jurnalis, aktivis, dan kaum minoritas, juga cenderung menjadi sasaran. Tidak berhenti sampai di situ, warga biasa juga dapat menjadi korban. Pendeknya, semua pihak rentan menjadi korban karena sebagian data pribadi yang telah diunggah atau terunggah di ranah virtual.
Fenomena ini dinamai doxing. Mengutip pendapat PW Singer & Allan Friedman (2014), doxing didefinisikan sebagai tindakan mengungkap dokumen pribadi di depan umum yang menjadi bagian aksi protes, lelucon, atau tindakan main hakim sendiri. Dalam pendapat yang ditulis dalam buku Cybersecurity And Cyberwar: What Everyone Needs To Know, Singer dan Friedman menambahkan, sering kali doxing membutuhkan penetrasi minimal ke dalam jaringan. Upaya ini lebih mengandalkan riset yang cermat untuk menghubungkan data pribadi yang tersembunyi atau memalukan dengan korban.
Penyebutan internet sebagai bagian tidak terpisahkan dari doxing dapat dilihat pada The SAGE Encyclopedia of The Internet (2018). Doxing disebutkan sering kali mengacu pada tindakan ilegal yang menggunakan alat dan sumber daya di internet untuk meriset dan mendapatkan informasi yang dapat diidentifikasi tentang sebuah entitas, agensi pemerintah, selebritas, eksekutif perusahaan, pegawai pemerintah, atau bahkan orang biasa.
Bagi korban, terutama pada masa-masa awal mengalami doxing, ada semacam beban untuk mengungkapkan apa yang dialami. Karena pengungkapan, yang lantas dipublikasi, bisa menjadikannya korban dua kali. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Seorang korban yang dihubungi Kompas pada Selasa (4/2/2020) menyebut apa yang dialaminya sebagai upaya ”kill the messenger”. Tujuannya untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu hal yang tengah menjadi sorotan.
Ia menolak pengutipan namanya. Begitu pun peristiwa spesifik yang dialaminya karena itu sama artinya dengan menyebar dan mengulang kembali serangan kepadanya. Namun, ia mempersilakan untuk menuliskan argumentasi yang disampaikannya sebagai ilustrasi.
Upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari hal-hal yang menjadi kepentingan masyarakat itu dilakukan dengan menghancurkan karakter seseorang yang tengah menyoroti kepentingan publik tersebut. Seolah-olah kehidupan pribadi seseorang jauh lebih penting daripada persoalan publik yang tengah disoroti masyarakat.
Menurut dia, apa yang dialaminya itu bahkan cenderung sangat terencana. Sebab, tidak hanya data pribadi milliknya, tetapi juga data ihwal nomor kontak pribadi anggota keluarganya.
Padahal, imbuhnya, sejumlah informasi yang dibeberkan juga terjadi di ruang publik. Pembingkaian dengan narasi tertentu sajalah yang, menurut dia, menjadikan hal itu jadi ramai dan seolah-olah benar.
Masalah lainnya adalah, menurut penuturannya, jika aksi-aksi itu dibalas, hal itu dikhawatirkan bisa menarik perhatian orang-orang lebih jauh lagi. Karena itulah, ia lebih memilih untuk mendiamkan saja serta tidak memedulikannya.
Butuh momentum
Narasi dan momentum. Dua hal yang jika bertemu dengan polarisasi politik di tengah masyarakat dan konten ”tepat,” tidak melulu rahasia, dapat pula menjadi doxing.
Awal Januari lalu ramai pembicaraan di dunia maya tentang berita dalam sejumlah media daring mengenai seorang gubernur yang tengah kerja bakti. Sebagian orang yang tidak puas lantas menghubung-hubungkan berita itu dengan salah seorang editornya.
Foto sang editor yang pada resepsi pernikahannya mengundang gubernur tersebut dan berfoto bersama lantas menjadi bahan untuk doxing. Berbagai narasi yang menuduh bahkan menyerang ditambahkan. Padahal, semua tuduhan dan serangan itu tidak berdasar sama sekali. Alih-alih memiliki fakta, sifatnya hanya sekadar mencocok-cocokkan sekenanya saja.
Pengembang game independen Zoë Quinn asal Amerika Serikat dalam buku Crash Override (2017) menulis tentang hal serupa yang dialaminya. Kisahnya berawal dari perpisahan dengan kekasihnya. Sang mantan kekasih lalu memublikasikan sebuah manifesto yang terdiri atas 10.000 kata ke sejumlah laman daring. Isinya menjelek-jelekan Quinn. Tuduhan itu menyebar dengan cepat dan segera saja ribuan orang yang sebelumnya tak pernah kenal dengan Quinn. Alamat rumah dan nomor teleponnya disebar. Orang asing menelepon dan mengatakan secara rinci bagaimana mereka akan berencana memerkosa Quinn. Orang-orang itu juga membual mengenai tindakan meninggalkan bangkai hewan di kotak surat Quinn.
Persoalan besar
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ibnu Nadzir Daraini, mengatakan, ada persoalan besar di Indonesia terkait dengan pembedaan hak publik dan hak privat. Data pribadi sangat mudah menyebar ke ranah publik. Termasuk KTP, kartu keluarga, dan sebagainya yang relatif mudah ditemukan lewat mesin pencari.
Selain itu, doxing juga bisa berarti pembungkaman kebebasan bersuara jika itu dialami kelompok-kelompok tertentu, seperti kalangan jurnalis. Jika dialami warga biasa, doxing adalah cara melakukan perundungan.
Namun, menurut Ibnu, ada kondisi paradoks di mana doxing dipergunakan masyarakat atau sebagian pengguna internet di Indonesia menyusul adanya semacam kondisi ketidakpuasan penegakan hukum. Ini, misalnya, terjadi dalam kasus yang terjadi pada salah satu BUMN penerbangan dengan adanya semacam persepsi yang berkembang bahwa pihak-pihak yang menyalahgunakan jabatan cenderung tidak beroleh sanksi maksimal.
”Nah, dalam konteks ini kemudian doxing menjadi semacam perlawanan bagi kelompok lemah, tetapi juga tidak bisa dianggap baik karena ini menunjukkan pelaksanaan hukum punya persoalan sangat serius,” kata Ibnu.
Sebagian orang, dalam hal ini, menganggap pelaku doxing sebagai semi-hero menyusul ada kemacetan dalam kebebasan berpendapat dan penegakan hukum. Di dalamnya termasuk peran sebagian institusi media, yang mestinya berfungsi sebagai watchdog, tetapi saat ini tengah beroleh tantangannya sendiri.
Akan tetapi, ia belum melakukan pengamatan tentang apakah ada akun-akun media sosial tertentu yang hidup dari aktivitas membuka rahasia atau aib seperti itu. Namun, ia menyebutkan bahwa sejumlah asal informasi yang dibeberkan di ranah maya dalam platform media sosial cenderung diduga dekat dengan lingkaran kekuasaan. Hal inilah yang cenderung menyulitkan penegakan hukum terkait dengan kasus-kasus serupa.
”Yang menarik diamati sekarang, paling kencang terjadi doxing di Twitter,” kata Ibnu.
Twitter yang melekat pada kelompok usia terttentu cenderung tidak diminati generasi lebih muda yang relatif lebih akrab dengan platform media sosial lainnya, seperti Instagram.
Negara lain
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto saat dihubungi pada hari yang sama menambahkan, di negara lain, seperti Filipina, Singapura, dan sejumlah negara lain di Amerika Latin, ada pola doxing yang menyasar kelompok-kelompok tertentu, di antaranya jurnalis, aktivis, dan kelompok minoritas, seperti LGBT.
Ia menyebut tingkatannya sudah berada pada taraf mengkhawatirkan. Bahkan, menurut dia, akhir tahun lalu sudah masuk usulan dari beberapa negara kepada PBB untuk menetapkan doxing sebagai tindakan kriminal alih-alih selama ini yang baru dikategorisasi sebagai tindakan jahat.
Peningkatan status, yang jika diputuskan pada 2020 ini, dinilai akan membawa dampak signifikan, terutama bagi para pelakunya yang dikategorisasi menjadi pelaku non-state dan state. Damar mengatakan, pemahaman ihwal doxing mesti diperluas tentang bagaimana itu bisa digunakan oleh negara untuk melakukan represi politik. Hal itu selain tindakan doxing yang merupakan kejahatan siber.
”Yang jadi represi politik ini perlu jadi perhatian. Kalau itu dilakukan state (negara) dengan sebuah tindakan sistematis, sebetulnya ini bukan main-main. Ini represi serius terhadap keamanan diri seseorang secara digital,” ujar Damar.
Damar menyebutkan, selama ini ada kecenderungan pelaku doxing tidak bisa disentuh hukum. Hal ini, menurut dia, mencemaskan karena kepastian hukum menjadi tidak ada terhadap mereka yang mestinya dipidana.
Akan tetapi, sebuah titik terang kini muncul dalam draf RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Doxing,imbuh Damar, dimasukkan ke dalam pengaturan di Pasal 51 Ayat (2). Bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.
Ancaman pidana sebagaimana diatur pada Pasal 61 Ayat (2) draft RUU adalah pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp 20 miliar. Sekalipun masih ada catatan tentang minimnya ancaman hukuman, setidaknya kini praktik doxing diatur dalam RUU PDP.