Banyak pemda yang belum memaksimalkan perannya dalam mengatasi intoleransi yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut perlu menjadi perhatian.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus intoleransi yang terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air menodai semangat otonomi. Selain perbaikan regulasi di tingkat pusat, penguatan peran pemerintah daerah dalam mengatasi intoleransi, terutama menyangkut pendirian rumah ibadah, menjadi salah satu solusi untuk memutus rantai kekerasan.
Di beberapa tempat, peran pemda dirasakan masih kurang untuk menyelesaikan atau menengahi persoalan intoleransi. Di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah sebenarnya telah diatur kewenangan pemda memfasilitasi rumah ibadah sementara bagi umat beragama yang belum bisa memenuhi syarat pendirian rumah ibadah. Dalam pengurusan izin, pemda juga berkewajiban memastikan perizinan rumah ibadah itu lancar sehingga umat beragama dapat menjalankan ibadahnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, korupsi dan intoleransi merupakan dua catatan buruk dalam otonomi daerah (otoda). Dua persoalan itu sama-sama mencederai semangat otonomi yang selama ini berusaha dibangun.
”Di beberapa tempat, jangankan melakukan resolusi konflik terkait dengan praktik intoleransi, pemda atau kepala daerah justru melembagakan diskriminasi oleh negara. Salah satu bentuknya ialah sikap abai dalam memfasilitasi pendirian rumah ibadah. Sikap favoritisme terhadap mayoritas dan diskriminasi terhadap minoritas di daerah mana pun berpotensi tumbuh apabila tidak ada kesadaran kebangsaan yang kuat di kalangan kepala daerah,” kata Robert, Selasa (4/2/2020) di Jakarta.
Respons kurang
Agama pun sebenarnya merupakan bagian dari urusan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus ikut turun tangan mengatasi persoalan intoleransi ini melalui regulasi ataupun program yang terarah. Robert menilai, respons pemerintah pusat selama ini cenderung lemah dalam mengatasi problem intoleransi di daerah.
Perusakan Mushala Al-Hidayah yang berada di Perumahan Griya Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Rabu pekan lalu, kembali menjadi catatan buruk dalam kebebasan beragama di Tanah air. Wahid Foundation mencatat, perusakan, penyegelan, dan penutupan tempat ibadah adalah bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terus muncul setiap tahunnya. Mushala Al-Hidayah itu sendiri masih dalam proses perizinan.
Sebelumnya, persoalan izin terkait dengan rumah ibadah juga ditemui dalam pendirian GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi.
Merujuk catatan Wahid Foundation, jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama terus meningkat dari tahun ke tahun. Temuan pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia meningkat dari tahun 2017 ke 2018. Dalam kurun waktu 2018 terjadi 276 tidakan pelanggaran. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2017 yang 265 pelanggaran.
Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Djafar, mengatakan, banyak pemda yang belum memahami perannya dalam menjaga harmonisasi dan toleransi antarumat beragama. Sekalipun hal itu telah diatur pula di dalam PBM, implementasinya belum optimal dilakukan.
Waspadai ujaran kebencian
Di sisi lain, pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah juga kerap terkait dengan isu-isu politik. Ia mencatat, pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah dalam bentuk nonkekerasan fisik, misalnya ujaran kebencian berbasis agama, terlihat masif dan mengkhawatirkan, terutama apabila dikaitkan dengan isu politik. Ketika momen kontestasi politik di tingkat pusat dan daerah berakhir, ujaran kebencian itu pun mulai reda.
Hal-hal semacam itu memerlukan peran aktif para elite dan tokoh agama sehingga tidak mempertajam kekerasan verbal yang berpotensi menyulut kekerasan fisik.
”Fenomena kekerasan verbal ini memang tidak mudah diatasi seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial (medsos) dan keberadaan orang-orang yang secara sengaja memanfaatkan hal itu demi meraih kekuasaan,” kata Alamsyah.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumadi Ahmad mengatakan, penciptaan hubungan sosial yang sehat dan saling percaya menjadi kunci bagi tumbuhnya sikap toleran. ”Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang ada di setiap daerah bisa dimanfaatkan menjadi forum perjumpaan dan saling mengenal satu sama lain. Kegiatan yang dilakukan pun tidak sekadar membicarakan soal keyakinan, tetapi bisa bekerja sama dalam program lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, atau tanggap bencana dan lingkungan hidup,” ujarnya.