Pengusulan Angket Jiwasraya antara Koalisi Besar Jokowi dan Minimnya Oposisi
Dua fraksi partai politik non-pendukung pemerintah di DPR mengajukan pembentukan pansus hak angket Jiwasraya. Namun, melihat peta kekuatan di parlemen saat ini, tampaknya usulan itu bisa kandas sebelum bergulir.
Oleh
Agnes Theodora
·6 menit baca
Bola panas kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang diduga merugikan negara sebesar Rp 27 triliun menggelinding ke arah Senayan dan menjadi dinamika politik tersendiri di Dewan Perwakilan Rakyat. Jiwasraya pun menjadi uji coba pertama konstelasi politik DPR periode ini, di mana koalisi partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang mendominasi ruang pengambilan keputusan berhadapan dengan faksi partai politik non-pemerintah.
Kubu partai di luar pemerintah saat ini sedang menggulirkan usulan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Usulan pansus hak angket diwakili Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, yang resmi mengajukan usulan tersebut kepada pimpinan DPR pada Selasa (4/2/2020) kemarin.
Usulan itu tidak mendapat dukungan dari fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah yang lebih memilih kasus Jiwasraya ditangani panitia kerja (panja) di tiap komisi yang berkaitan, seperti Komisi III (penegakan hukum), Komisi VI (badan usaha milik negara), dan Komisi XI (asuransi dan keuangan). Saat ini, ketiga panja itu sudah dibentuk dan mulai mengadakan rapat untuk menyusun rencana kerja.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, pemerintah sudah punya rencana penyelamatan Jiwasraya tanpa perlu diiringi kegaduhan politik di DPR. Caranya, membentuk perusahaan induk (holding) yang akan mendapatkan suntikan dana Rp 1,5 triliun sampai Rp 2 triliun untuk memastikan aliran dana bergulir ke nasabah. Kedua, dengan menawarkan saham Jiwasraya kepada publik atau go public.
”Pemerintah sudah bertekad ingin menyelesaikan, walau bertahap, jadi mari diberi kesempatan dulu. Kalau di DPR ribut dan politis, pasti gagal corporate action seperti upaya go public itu, atau setidaknya jadi tidak menarik di tengah gaduh-gaduh politik. Makanya, pansus untuk sekarang belum dibutuhkan,” kata Arsul.
Namun, fraksi partai non-pemerintah, seperti Demokrat dan PKS, berpendapat, panja saja tidak cukup untuk menyelidiki kasus Jiwasraya sampai tuntas. Apalagi, di tengah adanya dugaan aliran dana untuk kepentingan politik.
Kewenangan pansus angket dan panja memang berbeda. Mengacu pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, pansus angket yang bersifat lintas komisi berwenang melakukan penyelidikan dan berhak meminta pejabat negara memberi keterangan. Dengan hak angket, DPR juga dapat memanggil paksa pihak yang hendak dimintai keterangan dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara, panja yang sifatnya berada di bawah komisi tidak memiliki kewenangan semengikat pansus. Panja melaksanakan tugas pengawasan dengan mengadakan rapat dengar pendapat atau rapat dengar pendapat umum. Panja bertanggung jawab pada alat kelengkapan Dewan yang membentuknya, sementara pansus bertanggung jawab pada paripurna DPR.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, kasus Jiwasraya bukan kasus kriminal biasa. Ada nuansa politik di balik kasus korupsi yang membelit badan usaha milik negara itu. Oleh karena itu, pembentukan pansus hak angket dibutuhkan untuk mengusut kasus korupsi di perusahaan itu secara tuntas, termasuk pihak-pihak yang terlibat.
Demokrat menilai kasus korupsi Jiwasraya dilakukan dengan modus terorganisasi untuk mengalihkan aliran uang dalam jumlah besar dengan maksud tertentu, seperti untuk biaya Pemilihan Umum 2019. Hal ini juga sempat diungkit Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, lewat akun resmi Facebook miliknya, 27 Januari 2020.
”Kami tidak hanya mempersoalkan berapa dana yang telah dimanipulasi di kasus ini, tetapi kami juga ingin menggali dana ini sebetulnya dulu dipakai untuk apa saja. Bahwa nanti ada kaitannya dengan Istana atau tidak, nanti saat penyelidikan, kami akan gali itu lebih dalam,” kata Benny seusai menyerahkan berkas usulan.
Sebelum itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, Presiden Joko Widodo ingin Jiwasraya diusut tuntas. ”Presiden meminta diteruskan ke pengadilan. Siapa pun yang terlibat gebuk saja,” kata Mahfud (Kompas, 16/1/2020).
Bertarung sejak Bamus
Setelah berkas usulan pembentukan Pansus Hak Angket Jiwasraya yang ditandatangani 104 anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat dan PKS diserahkan kepada pimpinan DPR, tahap selanjutnya adalah membahas usulan itu dalam forum rapat Badan Musyawarah (Bamus). Bamus adalah forum pengambilan keputusan yang melibatkan pimpinan DPR dan seluruh pemimpin fraksi di DPR.
Ketua DPR dari Fraksi PDI-P Puan Maharani mengatakan, usulan pansus akan tetap ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang ada. Namun, ia menilai panja dan pansus tidak bisa berjalan beriringan sehingga sebaiknya tiga panja yang sudah berjalan di masing-masing komisi dibiarkan tetap berjalan tanpa perlu pansus.
”Sekarang, panja di tiga komisi sudah berjalan, kita tunggu saja proses di tiga komisi itu,” katanya.
Bamus berwenang menetapkan agenda DPR, termasuk mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan hak angket. Mengacu pada tata tertib DPR, pengambilan keputusan di Bamus berdasarkan pengambilan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan berdasarkan voting tidak terpenuhi, dengan mengesampingkan pemungutan suara ulang, pimpinan Bamus (pimpinan DPR) bisa memberikan keputusan akhir.
Usulan hak angket Jiwasraya harus terlebih dahulu diteruskan ke rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Pada saat Bamus, pengusul hak angket akan diberi kesempatan memberikan penjelasan secara ringkas mengenai usulannya, kemudian Bamus memutuskan apakah agenda usulan hak angket itu akan dilanjutkan ke rapat paripurna atau tidak.
Di rapat paripurna, usulan hak angket perlu disetujui terlebih dahulu lebih dari separuh jumlah anggota DPR yang hadir untuk kemudian ditindaklanjuti ke tahap selanjutnya, yakni pembentukan pansus hak angket.
Adapun komposisi kursi di DPR antara fraksi pendukung pemerintah dan non-pemerintah saat ini tidak seimbang. Enam partai di fraksi pendukung pemerintah menguasai ruang pengambilan keputusan hingga 74,3 persen dengan 427 kursi dari total keseluruhan 575 anggota DPR. Kontras dengan faksi non-pemerintah yang total kursinya hanya 25,7 persen dengan 148 kursi.
Mengingat mekanisme persetujuan hak angket yang bertolak dari suara terbanyak, di atas kertas, komposisi itu tidak akan menguntungkan fraksi non-pemerintah pengusul hak angket Jiwasraya. Apalagi, manuver angket juga belum mendapatkan dukungan PAN, yang sedang fokus mempersiapkan kongres, suksesi ketua umum, dan arah politik partai ke depan, sehingga belum menentukan sikap terkait Jiwasraya.
Terkait itu, anggota Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam, sebagai salah satu pengusul angket mengatakan, pihaknya akan terus melobi fraksi lain untuk ikut mendukung pembentukan Pansus Angket Jiwasraya. Selain PAN, ada pula Nasdem yang sebelumnya getol ingin membentuk pansus, tetapi belakangan berubah pikiran.
Para pengusul masih yakin akan mendapatkan dukungan politik yang dibutuhkan fraksi lain sehingga pembentukan Pansus Angket Jiwasraya tidak akan kandas di tengah jalan.
”Kami mengetuk fraksi lain untuk bersama-sama membentuk pansus demi mengungkap kasus Jiwasraya secara terang benderang. Ada masalah besar di negeri ini, mau tidak mereka mengungkap ini seterang-terangnya lewat rapat-rapat pansus yang terbuka?” katanya.
Nasib pembentukan Pansus Angket Jiwasraya pun kini akan sangat bergantung pada PAN dan kemungkinan adanya kejutan fraksi partai pendukung pemerintah yang ”membelot” dan mendukung hak angket.
Kecuali PAN saat kongres memutuskan menjadi partai ”oposisi” mutlak dan mendukung Pansus Angket Jiwasraya, serta Nasdem memutuskan berbalik arah, tampaknya penyelidikan politis terhadap kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya akan kandas sebelum bergulir.
Ini salah satu dampak kekuatan politik di parlemen yang tidak seimbang antara kuatnya barisan partai pendukung pemerintah dan kecilnya suara oposisi.