Untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020, Bawaslu menjajaki kerja sama dengan OJK. Kerjasama itu diharapkan dapat mengungkap transaksi kecurangan dana kampanye.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020, Badan Pengawas Pemilu menjajaki kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan. Peran OJK dinilai penting untuk mendapatkan bukti-bukti transaksi mencurigakan terkait dana kampanye atau kepentingan pemilihan lainnya.
Kerja sama dengan OJK diharapkan bisa memperkuat kerja sama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang sudah lebih dulu terjalin.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, Rabu (5/2/2020), di Jakarta, mengatakan, kerja sama dengan OJK sedang disiapkan. Hal ini dilakukan setelah Bawaslu mengevaluasi hasil kerja samanya dengan PPATK terkait penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
"Informasi aliran dana memang ada di PPATK, tetapi bukti transfer dan setoran dimiliki bank yang berada di bawah pengawasan OJK"
Ada kesulitan memperoleh bukti terkait informasi awal yang sebenarnya bisa ditelusuri. Informasi aliran dana memang ada di PPATK, tetapi bukti transfer dan setoran dimiliki bank yang berada di bawah pengawasan OJK.
Fritz menambahkan, tanpa bukti transfer itu, dugaan terjadinya aliran dana mencurigakan tidak bisa dibawa ke kepolisian ataupun pengadilan.
Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan selama kedua proses pemilihan itu, pasangan calon sering kali tidak menggunakan rekening khusus untuk menampung dana kampanye. Terkait hal ini, Fritz berharap aliran dana dari rekening lain dapat dilacak, termasuk di dalamnya kemungkinan pemberian mahar politik yang memang dilarang.
Hingga saat ini, Bawaslu masih menunggu konfirmasi dari OJK terkait dengan rencana kerja sama tersebut. Terkait kerja sama dengan PPATK, pihaknya akan meninjau kembali apakah perlu penandatanganan naskah kerja sama baru atau cukup dengan nota kesepahaman yang telah ditandatangani pada 2018.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, menambahkan, selain pengawasan aliran dana, kerja sama dengan PPATK juga mencakup upaya pencegahan berupa sosialisasi aturan dana kampanye dan membentuk satuan tugas antipolitik uang. Dana kampanye, tambahnya, sangat berkorelasi dengan politik uang yang biasanya juga marak saat masa kampanye. Patroli pengawasan menjelang hari pemungutan suara juga akan dilakukan.
Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan siap melanjutkan kerja sama dengan Bawaslu. Apabila nota kesepahaman yang ditandatangani pada 2018 masih ada dan berlaku, kerja sama tinggal dilanjutkan. Dari hasil kerja sama pemantauan, ia menyoroti mengenai peserta Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang tidak memasukkan aliran dana kampanye dalam rekening khusus dana kampanye.
Lebih terbuka
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mempertanyakan belum adanya informasi hasil pengawasan aliran dana kampanye mencurigakan dari Bawaslu dan PPATK. Belum juga ada pemetaan di daerah mana hal-hal mencurigakan tersebut terjadi dan pihak mana saja yang terlibat. Begitu pun dengan kepastian informasi mengenai dugaan adanya aliran dana asing yang sempat mencuat pada Pemilu 2019.
”Bawaslu juga harus memastikan bahwa MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman) berkualitas,” katanya.
”Bawaslu juga harus memastikan bahwa MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman) berkualitas”
Dalam catatan JPPR, ada sejumlah daerah yang dinilai rawan penyalahgunaan aliran dana kampanye. Penangkapan calon kepala daerah petahana yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi indikasi kerawanan di daerah terkait. Alwan mencontohkan, penangkapan Bupati Cianjur, Jawa Barat, Irvan Rivano pada 2018. Pada pilkada serentak 2020, Kabupaten Cianjur juga akan melangsungkan pilkada.
Selain itu, tambah Alwan, daerah lain, seperti Papua dan Sulawesi Selatan, juga mesti diwaspadai. Bawaslu mesti mengarahkan fokus ke daerah-daerah tersebut sehingga hasil nota kesepahaman dengan PPATK terlihat.
Menurut dia, ada sejumlah hal yang bisa ditelusuri dari laporan awal dana kampanye yang disampaikan calon. Ia mencontohkan, pada ajang Pemilihan Presiden 2019, JPPR menemukan 143 item laporan dana kampanye yang mencurigakan. Sebagian di antaranya berhubungan dengan identitas penyumbang dan alamat kelompok penyumbang yang dinilai tidak jelas.