Pembahasan ”Omnibus Law” Dituding Cacat Prosedur karena Tertutup dari Publik
Penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dinilai cacat prosedur karena berlangsung eksklusif dan tertutup dari publik. Ada kemungkinan UU Omnibus Law jika disahkan bakal langsung digugat ke MK.
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja berlangsung eksklusif dan tertutup dari publik. Rancangan RUU omnibus law yang ditujukan untuk mendorong laju investasi itu ditengarai cacat prosedur karena dirumuskan tanpa melibatkan partisipasi publik yang terdampak.
Para legislator perlu belajar dari pengalaman pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memancing gelombang unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia pada akhir periode 2014-2019 lalu.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur adanya asas keterbukaan dalam proses legislasi. Artinya, sejak awal perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan harus bersifat terbuka.
Pasal 96 undang-undang yang sama berikutnya mengatur, masyarakat yang berkepentingan berhak memberi masukan secara lisan dan tertulis dalam proses pembahasan RUU.
Baca juga : Ribuan Buruh Turun ke Jalan Tolak Omnibus Law
Namun, pada kenyataannya, menurut komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, di Kantor Ombudsman RI, Rabu (5/2/2020), proses penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja yang saat ini bergulir di pemerintah berlangsung tertutup dari publik, termasuk dari lembaga negara lainnya seperti Ombudsman.
Ombudsman RI sempat menyurati Kementerian Koordinator Perekonomian untuk meminta mereka memaparkan substansi RUU Cipta Lapangan Kerja dan mendiskusikannya. Langkah itu dilakukan karena salah satu tugas Ombudsman adalah memberi masukan atas rancangan peraturan yang berpotensi malaadministrasi.
Namun, permintaan Ombudsman itu ditolak Kemenko Perekonomian dengan alasan belum ada arahan dari menko dan draf RUU itu belum dibahas dengan Presiden. ”Sementara tujuan kami cuma ingin berdiskusi sekaligus memaparkan data laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman agar substansi RUU itu benar-benar menjawab kenyataan masalah di lapangan,” ujarnya.
Proses penyusunan pun dinilai berlangsung tertutup dan dirahasiakan dari publik. Satuan tugas berisi 127 orang yang dibentuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto untuk menginventarisasi masalah dan memberi masukan penyusunan draf RUU diharuskan menandatangani surat perjanjian untuk merahasiakan draf RUU Omnibus Law dari publik.
Tim satgas ini didominasi pengusaha serta melibatkan akademisi dan pihak pemerintah. Satgas dipimpin oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, dengan Airlangga menjadi pengarah.
Informasi itu didapat Alamsyah karena salah seorang anggota satgas mendatangi Ombudsman untuk berkonsultasi mengenai prosedur pembahasan rancangan undang-undang yang seharusnya.
”Dia datang berkonsultasi dan bertanya, kira-kira salah tidak kalau begini (menandatangani disclaimer kerahasiaan). Dia merasa tidak bebas dan takut berspekulasi akibat yang harus dihadapi jika membicarakan RUU itu ke publik,” kata Alamsyah.
Selain dibahas secara tertutup, pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja juga dinilai berlangsung eksklusif tanpa melibatkan semua pihak yang terdampak, salah satunya kelompok pekerja.
Baca juga : Soal Omnibus Law Ketenagakerjaan, Pemerintah Akomodir Semua Pihak
Setelah kelompok buruh memprotes RUU Cipta Lapangan Kerja lewat aksi unjuk rasa pertama, 13 Januari 2020, pemerintah mulai gencar mengundang berbagai kelompok buruh untuk menyosialisasikan RUU tersebut. Setidaknya ada tiga kali pertemuan pemerintah dengan perwakilan konfederasi dan serikat pekerja.
Pertama, pertemuan pada 13 Januari 2020 di Kantor Kemenko Perekonomian. Berikutnya, pertemuan sebelum 20 Januari 2020, yang diadakan di Kantor Staf Presiden. Undangan terakhir dari Kemenko Perekonomian yang diadakan di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, 29 Januari 2020, dan dihadiri sekitar 50 organisasi pekerja. Dua pertemuan pertama diadakan tertutup, sementara pertemuan terakhir diadakan terbuka.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Ilhamsyah mengatakan, semua pertemuan itu sifatnya hanya berupa sosialisasi satu arah dari pemerintah. Sifat pertemuan bukan diskusi dua arah untuk menampung masukan secara dialogis serta tidak ada pemaparan pasal atau substansi RUU.
Baca juga : Keyakinan Soal UU Sapu Jagat Terendah
”Logika RUU Cipta Lapangan Kerja dalam kerangka investasi sebanyak-banyaknya, untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha, bukan dalam rangka memberi perlindungan dan kesejahteraan buruh. Itulah mengapa kami menolak. Apalagi, buruh sama sekali tidak dilibatkan dalam proses penyusunan draf RUU,” kata Ilhamsyah.
DPR janji terbuka
Kesulitan mengakses naskah akademik dan draf RUU Cipta Lapangan Kerja juga dihadapi para legislator di DPR. Meskipun sudah tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, naskah akademik dan draf RUU Cipta Lapangan Kerja juga belum diserahkan ke DPR.
Sejauh ini, DPR baru menerima surat presiden yang memerintahkan menteri terkait untuk membahas RUU omnibus law bersama DPR, tetapi belum ada naskah akademik dan draf RUU yang diterima DPR.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas dan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar saat dikonfirmasi mengatakan belum ada naskah akademik dan draf RUU omnibus law yang masuk ke DPR.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyertaan dokumen naskah akademik dan draf RUU adalah syarat sebelum memutuskan suatu RUU masuk dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Obon Tabroni, salah satu anggota DPR yang kerap berkomunikasi dengan kelompok buruh, mengatakan, sampai saat ini anggota DPR pun belum mengetahui substansi RUU Cipta Lapangan Kerja atau yang kerap dipelesetkan dengan istilah RUU Cilaka.
”Semua masih asumsi, hanya menyimpulkan dari statement menteri. Wujudnya sendiri belum kelihatan. Saya akhirnya juga masih tebak-tebak. Presiden bilang akan disampaikan drafnya Senin (3/2/2020) kemarin, tetapi ternyata belum juga,” kata Obon.
Ia menambahkan, untuk mendapat dukungan dari publik, termasuk kelompok buruh, pemerintah seharusnya tidak perlu menutup-nutupi pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Kelompok pekerja perlu dilibatkan dalam penyusunan draf sejak awal, karena ketika pembahasan sudah berlangsung di DPR, prosesnya akan lebih rumit dan politis.
”Seharusnya dari awal sudah dilibatkan di level pemerintah. Jadi teman-teman (buruh) paham. Kalau begini, begitu muncul drafnya, asumsi akan muncul, akan ribut. Kalau isinya dari awal bagus dan terbuka, pasti lancar pembahasannya,” ujar Obon.
Meski demikian, ia menjamin proses pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja di DPR nanti akan berlangsung terbuka, tidak seperti pembahasan beberapa RUU yang bermasalah sebelum ini, seperti pada akhir periode 2014-2019 lalu.
Cacat prosedur
Proses pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja yang tertutup ini serupa dengan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan legislasi lain yang pada akhir periode 2014-2019 memancing kontroversi luas.
Pada awal September, revisi UU KPK diam-diam muncul dalam rapat tertutup Badan Legislasi DPR. RUU yang substansinya melemahkan pemberantasan korupsi itu disahkan hanya setelah dua kali rapat pembahasan tertutup antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah.
Revisi UU KPK dirampungkan tanpa membuka ruang audiensi dengan masyarakat, akademisi, kelompok masyarakat sipil, serta KPK yang sejak awal menolak undang-undang itu direvisi. Revisi itu memancing gerakan unjuk rasa bertajuk #reformasidikorupsi di berbagai kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.
Alamsyah mengatakan, revisi UU KPK yang saat ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi akan menentukan preseden ke depan. Jika MK memutuskan bisa mengadili mekanisme prosedur pembahasan RUU yang inkonstitusional dalam gugatan revisi UU KPK, ada kemungkinan RUU Cipta Lapangan Kerja ke depan bisa digugat akibat cacat prosedur saat proses penyusunan.
”Pemerintah tidak kompeten menjalankan perintah undang-undang untuk membahas rancangan legislasi dengan prinsip keterbukaan. Ini bisa cacat prosedur dan kalau Mahkamah Konstitusi punya preseden mengadili prosedur yang inkonstitusional, undang-undang ini bisa dibatalkan,” katanya.