Partai politik belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Pembenahan partai politik penting untuk meningkatkan mutu demokrasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pembenahan partai politik mendesak untuk segera dilakukan guna meningkatkan mutu demokrasi. Sebab, kecenderungan yang terjadi selama ini partai politik tidak optimal menjalankan fungsinya. Akibatnya, lahir pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki kapasitas dan integritas.
Demikian salah satu yang mengemuka saat diskusi bertajuk ”Demokrasi” di Gedung F Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (12/2/2020).
Dalam diskusi yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) UI itu, hadir sebagai pemateri Guru Besar Fisip UI Valina Singka Subekti serta Panji Anugrah dan Aditya Perdana yang menjabat dosen Ilmu Politik UI. Materi mereka dibahas oleh peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Moch Nurhasim, Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Wariki Sutikno, dan editor Harian Kompas Antony Lee.
Valina Singka Subekti mengatakan, sejak Pemilu 2004, sistem demokrasi di Indonesia menghadapi satu realitas multipartai yang tidak ideal. Peningkatan ambang batas parlemen di setiap pemilu nyatanya tidak berdampak pada penyederhanaan jumlah partai.
Hasil Pemilu 2019, misalnya, jumlah partai yang lolos ambang batas parlemen sebanyak sembilan partai. Hal ini sekalipun ambang batas yang berlaku sebesar 4 persen, atau naik dari sebelumnya 3,5 persen.
Ironisnya, demi mencapai ambang batas itu, partai terkesan menghalalkan segala cara. Sebagai contoh, partai merekrut calon anggota legislatif yang bermodal kapital dan sosial yang kuat sekalipun calon itu tidak memiliki kapasitas. Akibatnya, lahir pemimpin yang tidak berkapasitas dan berintegritas. ”Karena itu, diperlukan perbaikan-perbaikan yang bersifat sistemik dan kelembagaan terhadap partai politik,” katanya.
Salah satunya, sistem kaderisasi dan perekrutan harus dibuat terbuka dan terukur.
Belum optimalnya partai menjalankan fungsinya itu sekaligus berimbas pada kepercayaan publik kepada partai.
Survei Litbang Kompas pada 2019 menunjukkan, hanya 42,4 persen publik yang percaya kepada partai politik. Tingkat kepercayaan itu termasuk tiga terendah setelah dua lembaga legislatif, DPR, dan DPD.
”Kenapa public mood (suasana hati publik) begitu buruk kepada partai politik yang sangat sentral di dalam demokrasi? Sebab, kita bisa melihat secara empiris, dari sisi sistem, sangat costly (mahal),” kata Antony Lee.
Calon tunggal
Panji Anugrah menambahkan, sistem kaderisasi dan perekrutan yang buruk itu menjalar ke pemilu lokal. Salah satunya terlihat dari kian seringnya calon kepala/wakil kepala daerah tunggal saat pemilihan kepala daerah (pilkada).
Di Pilkada 2015, misalnya, calon tunggal muncul di tiga dari 269 daerah. Kemudian di Pilkada 2017, calon tunggal ada di sembilan dari 101 daerah. Di Pilkada 2018, calon tunggal ada di 16 dari 171 daerah.
”Ruang kompetisi di tingkat lokal semakin sempit dengan calon tunggal. Arena politik lokal pun cenderung mengarah pada orientasi politik yang semakin oligarkis,” kata Panji.
Ruang kompetisi di tingkat lokal semakin sempit dengan calon tunggal. Arena politik lokal pun cenderung mengarah pada orientasi politik yang semakin oligarkis.
Fenomena calon tunggal ini kian berbahaya karena dinilainya turut menciptakan inovasi otoritarian. Bentuknya, mempertautkan retorika politik dengan politik identitas hingga memfasilitasi para perantau untuk memilih. ”Ini akan semakin membawa Indonesia ke arah kemunduran demokrasi,” ucap Panji.
Selain pentingnya pembenahan partai, Aditya Perdana melihat, pembenahan penyelenggara pemilu juga penting. Pasalnya, hingga pemilu terakhir, tak sedikit penyelenggara pemilu yang curang.
Wariki Sutikno menyadari pentingnya pembenahan partai untuk peningkatan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No 7/2017 tentang Pemilu jadi prioritas.
”Harus diarahkan untuk menurunkan biaya politik dan membuat mekanisme proses politik lebih demokratis, dalam arti mengurangi oligarki dan politik transaksional,” katanya.