Waktu 15 tahun perdamaian di Aceh masih belum cukup bagi pemerintah pusat merealisasikan beberapa pasal dalam MoU Perdamaian Aceh. Para tokoh Aceh pun akhirnya datang menemui Presiden Joko Widodo untuk menagih.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah 15 tahun perdamaian di Aceh, beberapa pasal dinilai belum tuntas terealisasi, di antaranya soal tanah, ekonomi, dan investasi. Para tokoh Aceh pun menemui Presiden Joko Widodo untuk membicarakan masalah tersebut.
Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haytr, Ketua Umum Dewan Pengurus Partai Aceh Muzakir Manaf, Ketua DPR Aceh Dahlan Djamaluddin, dan Bupati Pidie Jaya Aiyub Abbas bertemu Presiden Jokowi dalam rapat tertutup di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/2/2020) siang. Presiden didampingi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
”Kami memberikan masukan kepada beliau (Presiden) bahwa perdamaian Aceh sudah 15 tahun, tetapi ada beberapa poin di MoU (nota kesepahaman) Helsinki yang belum selesai hingga sekarang, seperti masalah tanah, perekonomian, dan investasi. Saya minta supaya diperhatikan,” tutur Malik Mahmud seusai pertemuan kepada wartawan.
Kami memberikan masukan kepada beliau (Presiden) bahwa perdamaian Aceh sudah 15 tahun, tetapi ada beberapa poin di MoU Helsinki yang belum selesai hingga sekarang, seperti masalah tanah, perekonomian, dan investasi. Saya minta supaya diperhatikan.
Malik juga berharap komunikasi lebih intens dilakukan sehingga banyak langkah bisa dijalankan lebih harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Presiden Joko Widodo pun berencana mengunjungi Aceh pada pekan keempat bulan ini.
Peristiwa bersejarah
Berdasarkan catatan Kompas, penandatanganan MoU tentang Perdamaian Aceh merupakan peristiwa bersejarah yang dilakukan pada Senin, 15 Agustus 2005, antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. MoU ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Ketua Tim Perunding Indonesia Hamid Awaluddin dan Ketua Tim Perunding GAM Malik Mahmud di Smolna, The Government Banquet Hall, Etelaesplanadi 6, Helsinki, Finlandia.
Penandatanganan itu disaksikan mantan Presiden Finlandia yang menjadi fasilitator perundingan Martti Ahtisaari dan Menteri Luar Negeri Finlandia Erkki Tuomioja selaku tuan rumah. Peristiwa tersebut mendapat liputan sangat luas dari media massa asing. Sejumlah televisi dalam negeri bahkan menyiarkan langsung sehingga menjadi perhatian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Tak heran karena konflik di Aceh sudah berlangsung selama 30 tahun.
Presiden dan Wakil Presiden RI waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita juga turut menyaksikan siaran langsung tersebut di Istana Merdeka. Seusai acara, Presiden Yudhoyono bahkan mencoba melakukan telekonferensi dengan Helsinki, tetapi tidak berjalan mulus.
Kepala Negara menyatakan, penandatanganan nota kesepahaman itu merupakan awal yang baik bagi penyelesaian konflik Aceh secara permanen. MoU itu juga awal untuk menuju bersatunya seluruh bangsa Indonesia. Penandatanganan MoU diharapkan benar-benar tak hanya akan mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun yang telah merenggut nyawa sedikitnya 15.000 manusia Indonesia, tetapi juga dimulainya pembangunan semesta Aceh dengan kondisi yang aman dan stabil di bidang keamanan dan politik.
Saat MoU ditandatangani, ribuan warga Aceh tumpah ruah di kompleks Masjid Raya Baiturrahman untuk mengikuti doa dan tausiah bersama serta menyaksikan siaran langsung penandatanganan kesepakatan damai yang mereka tunggu-tunggu selama 30 tahun itu.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, dari hasil pertemuan Presiden Jokowi dengan para tokoh Aceh masih akan dibahas banyak kebijakan untuk Aceh. Sebab, sejauh ini masih ada persepsi kurang baik untuk investasi di Aceh kendati sesungguhnya wilayah ini aman-aman saja.
Dari hasil pertemuan Presiden Jokowi dengan para tokoh Aceh masih akan dibahas banyak kebijakan untuk Aceh. Sebab, sejauh ini masih ada persepsi kurang baik untuk investasi di Aceh kendati sesungguhnya wilayah ini aman-aman saja.
Perbaikan dalam aturan perundang-undangan maupun qanun juga akan ditinjau perlu tidaknya. Diharapkan, dalam tiga bulan, Kantor Staf Presiden (KSP) bersama tim dari Pemerintah Aceh dan Wali Nanggroe bisa merumuskan kebijakan yang dapat membawa perubahan secara lebih signifikan.