Lambatnya penangkapan sejumlah tersangka yang masuk dalam DPO dinilai sejumlah kalangan terkait dengan kian lemahnya independensi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipertanyakan. Sebagian kalangan menilai, lambatnya KPK dalam menangkap tersangka berstatus daftar pencarian orang berkaitan dengan independensi lembaga tersebut.
Lebih dari sebulan sejak ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum bisa menangkap bekas calon anggota legislatif DPR dari PDI-P, Harun Masiku. Pada saat kasus Harun belum selesai, kini KPK memiliki tiga tersangka berstatus DPO baru.
Mereka adalah bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Rezky Herbiyono yang juga menantu Nurhadi, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto. Ketiganya diduga terlibat dalam dugaan korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan perkara di lembaga peradilan yang dilakukan sekitar 2015-2016.
Salah satu penyebab sulitnya KPK menangkap para tersangka, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), adalah karena mereka mulai kehilangan independensi. Asfinawati menilai, KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang independen sejak undang-undang tersebut berlaku.
”Salah satu yang terlihat, yaitu KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat penyidik yang independen,” kata Asfinawati dalam diskusi di Jakarta, Kamis (13/2/2020), bertajuk ”Menakar Peluang Uji Formil Revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi”.
Lebih lanjut ia menjelaskan, independensi KPK menjadi hilang karena dalam proses perubahan kedua UU KPK tidak terbuka. Hal tersebut terlihat dari naskah akademik rancangan undang-undang yang tidak dapat diakses oleh publik.
Beberapa pasal diduga dibuat karena berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.
Alhasil, beberapa pasal diduga dibuat karena berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Asfina mencontohkan pasal-pasal terkait pembentukan Dewan Pengawas (Dewas), izin penyadapan, kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan formasi kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Pasal tersebut dapat mengganggu independensi dan memperlemah kelembagaan KPK. Pembentukan Dewas dipandang Asfinawati tidak diperlukan, tetapi memiliki wewenang yang berlebihan.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK 2015-2019 Laode M Syarif menjelaskan, dalam proses pembuatan revisi UU KPK, pimpinan KPK tidak pernah dilibatkan secara penuh. ”Kami hanya sekali mendapatkan surat untuk mewakili KPK, setelah itu tidak ada lagi surat yang diterimanya,” ujar Laode.
Tidak dilibatkannya KPK, dipandang Laode, sebagai sesuatu yang aneh sebab KPK yang bertugas untuk menegakkan UU tersebut. Ia sempat mengirim surat kepada DPR agar tidak mengesahkan UU tersebut sampai diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan. Namun, ia tidak diberikan kesempatan tersebut.
Menurut Laode, lemahnya independensi KPK berpengaruh pada kinerja mereka saat ini. Hal tersebut terlihat dari lamanya mereka dalam menangkap Harun.
”Kami pernah mengalami ada beberapa tersangka berstatus DPO, tetapi kami bisa menangkapnya. Bahkan, KPK sering membantu kejaksaan menangkap buronan. Harusnya, kalau dia di Indonesia, itu lebih mudah karena kita punya peralatannya. Kita juga punya orang yang bisa diajak kerja sama dengan polisi,” ujar Laode.
Menurut peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, kasus Harun yang tidak segera tuntas akan membuat kepercayaan publik kepada KPK bisa menurun. Dampak buruknya, para investor akan menjadi takut untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Ia berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pengganti UU. ”Dengan KPK kuat, maka akan mendongkrak investor di Indonesia,” ujar Agus.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK akan berusaha semaksimal mungkin melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di tengah segala tantangan yang ada saat ini. KPK akan selalu terbuka apabila ada saran atau data yang berguna.