Keputusan pemerintah tak memulangkan WNI eks NIIS dinilai masuk akal di tengah trauma publik akan terorisme. Mengurangi potensi terorisme lebih menonjol sebagai alasan meski sisi kemanusiaan tak bisa ditanggalkan
Oleh
Sultani/Litbang Kompas
·5 menit baca
Sejak rencana kepulangan teroris pelintas batas (foreign terrorist fighter/FTF) asal Indonesia mencuat, polemik tentang status mereka berkembang cepat. Mayoritas pendapat menghendaki mereka tak dipulangkan ke Indonesia. Publik menilai sikap pemerintah untuk lebih berhati-hati menghadapi polemik tersebut sudah tepat.
Reaksi publik terhadap wacana pemulangan mantan kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) asal Indonesia ini terekam dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu. Hasil jajak pendapat mengungkap kehendak publik agar para teroris tak dipulangkan ke Tanah Air. Enam dari 10 responden dengan tegas menolak jika mereka dipulangkan setelah NIIS kalah.
Resistensi yang kuat ini dilandasi alasan keamanan nasional, ideologis, dan status kewarganegaraan. Sebanyak 36,5 persen responden menolak teroris pelintas batas asal Indonesia ini karena berpotensi membahayakan keamanan nasional. Selain itu, bahaya ideologi yang ditanamkan NIIS kepada mantan pengikutnya ini menjadi alasan penolakan dari 30,1 responden.
Sementara 14,1 responden lainnya menganggap hilangnya status kewarganegaraan sebagai WNI menjadi alasan menolak para mantan teroris. Pasalnya, mereka sudah membakar paspor Indonesia dan bersumpah setia kepada NIIS sekaligus ikut berjuang dan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang diinisiasi organisasi teroris tersebut.
Jumlah teroris pelintas batas berkewarganegaraan Indonesia memang terlalu kecil jika dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia yang kini 260 juta lebih. Namun, pengalaman tempur dan militansi yang diajarkan, menjadi potensi kekuatan mereka yang boleh jadi melahirkan ketakutan masyarakat lainnya. Ketakutan atas potensi kekejaman dan terorisme inilah yang menjadi muara kekhawatiran publik jika teroris pelintas batas dipulangkan.
Tak heran jika alasan ketakutan masyarakat inilah yang dirasakan pemerintah ketika memutuskan menolak kepulangan para kombatan itu. Apalagi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selaku ormas Islam terbesar sudah lebih dulu menyampaikan penolakannya. Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, pendukung NIIS yang kini ditahan di Suriah dan Irak adalah pembuat gaduh. Mereka mendukung teror dan tindakan keji yang tak sesuai agama, khususnya Islam (Kompas, 12/2/2020).
Kekhawatiran
Keputusan pemerintah tak memulangkan teroris pelintas batas pendukung NIIS cenderung direspons positif oleh publik. Hampir semua kalangan sepakat dengan keputusan tersebut. Mayoritas pendapat mendukung alasan pemerintah tak memulangkan mantan teroris ini karena untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pemerintah khawatir para terduga eks NIIS ini akan menjadi teroris baru di Indonesia. ”Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan teroris pelintas batas ke Indonesia,” kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD seusai rapat di Istana Bogor.
Dalam jajak pendapat ini, publik juga mengungkapkan kekhawatiran terkait eksistensi mereka kelak jika kembali ke Indonesia. Hal yang paling dikhawatirkan adalah bahaya ideologi yang ditanamkan NIIS. Sebanyak 28,7 persen responden menyatakan, mantan pejuang NIIS ini berpotensi mempromosikan ideologi kekerasan yang diproduksinya, khususnya kepada generasi muda.
Karakter NIIS yang menebar kebencian dan teror kepada musuh-musuhnya diyakini berpengaruh kuat kepada para pengikutnya meskipun mereka sudah keluar. Potensi menanamkan kebencian ke kelompok masyarakat lain, bahkan kebencian kepada pemerintah, bukan perkara sulit bagi mereka. Eks kombatan NIIS ini juga memiliki kemampuan mengajarkan cara-cara kekerasan yang mereka pelajari ke generasi muda. Bahkan, jika semua lini dikuasai, mereka bisa dengan mudah menghasut untuk memberontak melawan pemerintahan yang sah.
Karakter NIIS yang menebar kebencian dan teror kepada musuh-musuhnya diyakini berpengaruh kuat kepada para pengikutnya meskipun mereka sudah keluar. Potensi menanamkan kebencian ke kelompok masyarakat lain, bahkan kebencian kepada pemerintah, bukan perkara sulit bagi mereka.
Itulah bentuk-bentuk kekhawatiran yang diungkapkan responden ketika disentil pertanyaan soal tanggapan mereka jika para simpatisan NIIS dipulangkan ke Indonesia. Citra NIIS sebagai organisasi teroris yang kejam menjadi pengetahuan umum yang terekam dengan baik dalam memori publik. Salah satunya, perilaku NIIS yang kerap kali mempertontonkan kekejaman secara terbuka melalui tayangan video, selalu dipandang jahat, dan menyimpan potensi mereproduksi kembali ajaran kekerasan.
Dengan citra seperti itu, mayoritas publik enggan menerima kehadiran para pengikut NIIS sebagai warga. Meskipun demikian, jajak pendapat juga mengungkap adanya perbedaan sikap terkait penerimaan terhadap para simpatisan NIIS. Lebih dari separuh bagian (57,4 persen) responden secara tegas menyatakan tak bersedia menerima mereka tinggal dalam satu lingkungan.
Kelompok responden lainnya cenderung terbuka. Kelompok ini terbagi dalam dua kategori penerimaan. Kategori pertama responden yang bersedia menerima seperti keberadaan mereka sebelum bergabung dengan NIIS. Artinya, WNI eks NIIS ini bisa diterima untuk tinggal bersama tanpa syarat apa pun. Responden dengan kategori ini sebanyak 17,7 persen.
Kategori kedua, responden yang bersedia menerima, tetapi harus dengan syarat yang sangat ketat. Pertama, mantan teroris pelintas batas ini harus selalu dalam pengawasan aparat keamanan (14,9 persen responden). Kedua, semua kegiatan mereka harus dibuka dan diketahui warga di sekitarnya (7,7 persen responden).
Kekhawatiran dan sikap yang ditunjukkan responden tersebut merefleksikan kepekaan publik terhadap isu terorisme. Peristiwa peledakan bom bunuh diri, yang marak beberapa waktu lalu, menimbulkan trauma publik yang cukup dalam terhadap terorisme. Rasa aman publik jelas terusik ketika mendengar wacana pemulangan eks kombatan NIIS yang dinilai terlatih melakukan kekerasan.
Rehabilitasi
Pemulangan teroris pelintas batas asal Indonesia ini akan selalu menjadi dilema berkepanjangan yang dihadapi pemerintah. Sorotan sejumlah kelompok masyarakat yang mengusung isu pelanggaran hak asasi oleh pemerintah harus dihadapi dengan bijak. Bagi kelompok responden yang melihat masih ada kemungkinan memulangkan mereka melandaskan pendapatnya pada alasan kemanusiaan dan tempat kelahiran mereka. Bahkan, jika masih ada opsi untuk memulangkan, pemerintah harus mengalkulasi potensi rehabilitasi yang paling rasional dan tak mengancam keamanan nasional.
Perlakuan paling rasional, menurut responden, adalah para eks anggota NIIS ini harus menjalani proses hukum. Sebanyak 58,5 persen responden setuju mereka harus diadili terlebih dahulu jika dipulangkan. Perlakuan lain yang relatif aman bagi keamanan nasional adalah memulangkan anak balita teroris pelintas batas. Namun, yang lebih penting di mata responden ke depan adalah bagaimana mengamankan negeri ini dari terorisme. Untuk itu, ke depan program deradikalisasi harus lebih efektif mengatasi terorisme.