Praktik ”Doxing” untuk Bungkam Suara Kritis
Fenomena ”doxing” yang belakangan marak diduga jadi salah satu cara untuk membungkam suara kritis publik. Semua pihak berpotensi menjadi korban, tetapi kalangan aktivis dan jurnalis paling rentan mengalaminya.
DEPOK, KOMPAS — Sejumlah aktivis kemanusiaan, politisi, dan kalangan jurnalis menjadi korban doxing, yaitu pembongkaran dan penyebaran data pribadi dengan narasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah benar. Praktik tersebut diduga sebagai upaya untuk membungkam suara kritis.
Salah seorang aktivis kemanusiaan yang menjadi korban doxing, Rabu (12/2/2020), mengatakan, dirinya sempat panik tatkala mengetahui dirinya menjadi korban. Dua fotonya diedit sedemikian rupa dengan bagian tubuh yang dikaburkan dan mengesankan dalam keadaan tanpa busana.
Foto-foto itu lantas ditambahi narasi yang seolah-olah benar ihwal kehidupan pribadinya. Ia menemukan tidak kurang 76 akun di Twitter, tiga akun di Instagram, dan sebagian lainnya di Facebook telah menyebarkan dokumen tersebut.
Foto-foto tersebut juga diketahui tidak pernah diunggah sebelumnya di media sosial. Foto-foto tersebut berada di dalam perangkat telepon genggam miliknya. Ia tidak mengetahui bagaimana pelaku bisa mengakses foto-foto di dalam telepon genggamnya itu.
Sejumlah teman sempat menanyakan perihal disebarnya dokumen-dokumen tersebut. Orangtuanya juga sempat mempertanyakan hal itu. Namun, belakangan orangtuanya dapat memahami bahwa apa yang dialaminya terkait dengan aktivitasnya di ruang publik yang cenderung berupa kritik pada kekuasaan. Orangtuanya dapat mengerti bahwa ia tengah mengalami upaya pembungkaman.
Akan tetapi, sebagian dokumen-dokumen tersebut bahkan masih terus bertahan selama berbulan-bulan setelah peristiwa itu diketahui untuk pertama kali. Ada sekitar 40 akun di platform media sosial yang terus bertahan dengan konten tersebut.
Barulah sekitar seminggu lalu, ia mengetahui bahwa semua akun tersebut telah dideaktivasi setelah melakukan pelaporan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ia melaporkan konten-konten itu tidak layak dipublikasi karena merupakan fitnah dan dirinya yang merasa dirugikan menyusul fotonya yang diedit sedemikian rupa.
Baca juga: Menyaring Suara Jernih di Tengah Riuh
Sejumlah rekannya membantu untuk membuatkan laporan ke sejumlah platform media sosial yang menayangkan konten tersebut. Termasuk memberikan sejumlah saran untuk tindakan pengamanan terhadap data pribadi miliknya.
Setelah peristiwa itu, ia memutuskan mengganti perangkat teleponnya. ia bahkan memutuskan mengganti nomor teleponnya. Sejumlah kejanggalan pada saat menelepon seusai peristiwa itu menjadi salah satu latar belakangnya. Belum lagi kesulitannya mengakses internet sekalipun telah dua kali mengganti kartu SIM dalam telepon genggamnya.
Sebelumnya, salah seorang korban lainnya yang aktif di bidang politik mengalami hal serupa. Ia cenderung trauma jika kisah yang dialaminya harus diceritakan ulang.
Akan tetapi, ia memilih mendiamkan saja peristiwa itu, berupa penyebaran data pribadi dengan narasi yang dicocok-cocokkan, serta tidak menanggapinya. Ia beralasan bahwa jika hal itu direspons, upaya pembunuhan karakter yang menimpa dirinya akan semakin beroleh panggung.
Laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2018 yang berjudul ”Ancaman Baru dari Digital” juga menulis tentang doxing dan ancaman yang dialami jurnalis Kumparan.com, Kartika Prabarini. Seperti dikutip dari laporan yang ditulis Abdul Manan dan dicetak pada September 2018 itu, ditulis bahwa Kartika beroleh ancaman setelah media tempatnya bekerja menurunkan sebuah liputan khusus. Dituliskan pula bahwa doxing yang disertai ancaman itu berakhir dengan damai setelah redaksi Kumparan minta maaf.
Laporan yang sama menulis bahwa sejak 2016, organisasi masyarakat sipil telah menaruh perhatian pada tindakan doxing. Penyebabnya karena perbedaan suku, agama, atau pandangan politik. Dalam laporan itu juga dikutip data dari SAFENet mengenai alasan seseorang mengalami doxing dan persekusi. Dari 80 kasus yang dianalisis, kasus-kasus itu terkait dengan Rizieq Shihab (32 kasus), agama (7 kasus), agama Islam (4 kasus), FPI (8 kasus), pemerintah atau Joko Widodo (7 kasus), dan lain-lain (22 kasus).
Rentan
Dosen dan peneliti Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Endah Triastuti, Kamis (13/2), mengatakan, doxing yang menimpa sebagian kalangan aktivis dan jurnalis terjadi di luar bagian struktur organisasi tempat mereka bekerja. Padahal, doxing yang dialami merupakan akibat dari pekerjaan mereka.
Endah mengatakan, pada kasus yang menimpa jurnalis, misalnya, seiring dengan era digitalisasi dan penggunaan media sosial, batasan antara seseorang sebagai jurnalis dan sebagai pribadi cenderung kabur. Menurut dia, dalam beberapa kasus pembungkaman, hal itu tidak terjadi di struktur organisasi.
Baca juga: Kisah Mangsa di Dunia Maya
Akan tetapi, yang disasar adalah aktor dalam organisasi dengan menggunakan akun pribadi. Ia mengatakan bahwa sudah seharusnya perlindungan terhadap aktor-aktor pekerja dalam industri jurnalisme ini dipikirkan.
Menurut Endah, kasus doxing yang dialami jurnalis itu ditemukan dalam riset yang dilakukannya terkait dengan industri media massa. Jurnalis, dan juga aktivis, berada pada posisi yang sangat rentan.
Ia menambahkan, sejauh ini belum ada kebijakan untuk membawa individu jurnalis pada era digital ke dalam struktur jurnalisme. Misalnya saja dengan melarang untuk menyuarakan apa pun dengan akun pribadi atau membuatkan akun pribadi dengan nama organisasi media massa.
”(Tantangannya) Bagaimana caranya membawa individu jurnalis pada era digital ke dalam struktur jurnalisme,” sebut Endah.
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ibnu Nadzir Daraini, menilai, doxing juga bisa berarti pembungkaman kebebasan bersuara jika itu dialami kelompok tertentu, seperti aktivis atau jurnalis. Jika dialami warga biasa, doxing adalah cara melakukan perundungan.
Sementara Direktur SAFENet Damar Juniarto mengatakan, pemahaman tentang doxing mesti diperluas tentang bagaimana hal itu bisa digunakan oleh negara untuk melakukan represi politik. Apabila hal ini dilakukan dalam suatu tindakan sistematis, hal tersebut merupakan represi serius terhadap keamanan diri seseorang secara digital (Kompas, 5/2/2020).
Upaya pembungkaman ketika menyuarakan kritik juga sempat dialami sejumlah akademisi. Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, pernah mengalaminya pada September 2019. Rimawan saat dihubungi pada Minggu (16/2) mengatakan, yang dialaminya memang bukan doxing, melainkan lebih pada upaya peretasan.
Akan tetapi, dari peretasan yang dialami terhadap akun Whatsapp, Facebook, dan Telegram dengan namanya itu, disebarkan pesan-pesan yang berkebalikan dengan penolakan terhadap revisi UU KPK yang tengah diperjuangkannya. Padahal, Rimawan merupakan salah seorang yang turut menggalang gerakan di kalangan akademisi untuk menolak revisi UU KPK. Menurut dia, hampir 2.000 dua orang bergabung dalam gerakan itu.
Selain peretasan ke sejumlah akun aplikasi percakapan dan media sosialnya, Rimawan juga mengalami panggilan telepon dari nomor-nomor asal luar negeri. Namun, saat ditelpon kembali tidak ada yang mengangkat.
Sebagian temannya mengalami hal serupa. Mendapat panggilan telepon dari nomor yang berasal dari sejumlah negara, tetapi tidak ada suara yang menjawab tatkala diangkat. Bahkan, ada istri dari salah seorang kawannya yang mengalami hal tersebut. Ditelpon hingga sepuluh kali dari nomor asing yang tak menjawab saat diangkat.
Baca juga: Misteri Peretasan Akun Para Pengkritik (2)
Rimawan kini mengganti nomor teleponnya menyusul aksi peretasan itu. Demikian pula dengan perangkat telepon yang sudah digantinya. Ia menilai, tindakan peretasan yang dialaminya dan sejumlah akademisi merupakan hal yang berlebihan. Hal itu dinilainya sudah melanggar HAM.
Ibnu Nadzir menambahkan, tanpa doxing sekalipun, pengguna internet berada dalam posisi rentan, terutama dalam kaitannya dengan potensi untuk dirundung secara daring oleh pengikut sejumlah politikus. Pemilahan mana tindakan yang dilakukan secara organik serta yang digerakkan cenderung menjadi sulit.
Ia menyebutkan, sementara ini yang mesti dilakukan adalah mendorong advokasi yang sifatnya lebih kolektif. Hal ini menyusul relatif kerapnya tindakan hukum belum dilakukan menyusul sejumlah kejadian di atas.
”Jadi, aktivisme enggak cuma digerakkan oleh satu atau dua orang, tetapi jadi tanggung jawab bersama,” sebut Ibnu.
Baca juga: Pembobolan via WA Targetkan Aktivis, Jurnalis, dan Pejabat Pemerintah
Selain itu, Ibnu juga menyebutkan lebih pentingnya penggunaan akun organisasi alih-alih akun pribadi. Sementara aktivisnya, imbuh Ibnu, sebisa mungkin mengupayakan untuk mengurangi data yang bisa diakses secara daring. Hal itu sebaiknya dilakukan bahkan sebelum mengeluarkan data sensitif.
Ibnu menegaskan, semakin banyak platform daring yang dipakai, pengguna internet akan semakin rentan. Pasalnya, dengan demikian akan semakin banyak data bisa menjadi sasaran doxing.