Migrant Care Berharap Perlindungan Hukum terhadap Buruh Migran Tidak Dicabut
Mahkamah Konstitusi diminta menolak uji materi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang diajukan Aspataki karena berpotensi menghilangkan ruh perlindungan pekerja migran yang ada di regulasi tersebut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia mengajukan permohonan menjadi pihak terkait dalam uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang diajukan Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK menolak uji materi tersebut sebab pasal-pasal yang dipersoalkan merupakan jantung perlindungan bagi para buruh migran agar tidak menjadi korban perdagangan orang.
Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengajukan kontra permohonan terhadap Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta (Aspataki) yang menguji tiga pasal krusial dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yaitu Pasal 54, Pasal 82, dan Pasal 85. Ketiganya merupakan ruh perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.
Pasal 54 Ayat (1) Huruf a dan b misalnya mengatur bahwa untuk memperoleh Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia harus memiliki modal paling sedikit Rp 5 miliar dan deposito Rp 1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan dalam pelindungan pekerja migran Indonesia. Pasal tersebut memberikan kepastian hukum bagi pekerja migran yang dikirim swasta jika menghadapi masalah di luar negeri. Selama ini, perusahaan pengirim tenaga kerja swasta sering tidak bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi pekerja migran.
”Dengan pembatasan modal seperti yang diatur di UU tersebut, perusahaan abal-abal dengan modal minim otomatis akan hilang dengan sendirinya," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Selasa (18/2/2020).
Selain itu, Pasal 82 UU No 18/2017 juga mengatur tentang ketentuan pidana bagi perusahaan yang sengaja menempatkan calon pekerja migran Indonesia di pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak kerja dan merugikan pekerja. Perusahaan yang terbukti melanggar pasal itu akan dikenai pidana 10 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar. Sementara pada Pasal 85 Huruf a juga diatur tentang ketentuan pidana 5 tahun penjara serta denda maksimal Rp 5 miliar bagi perusahaan atau perseorangan yang menempatkan pekerja migran tidak sesuai dengan kontrak kerja yang ditandatangani sebelumnya.
Anis menjelaskan, sebelum UU tersebut disahkan, perusahaan yang melanggar kontrak kerja dengan buruh migran hanya dikenai sanksi administratif sehingga praktik pengiriman buruh migran dengan modus perdagangan orang terus terjadi. Para pengusaha berlindung di balik lembeknya aturan yang lama. Mereka pun leluasa mempraktikkan bisnis buruh migran yang bermodus perdagangan manusia.
”Ketentuan pidana ini yang memberikan kepastian hukum bagi pekerja migran yang ditempatkan tidak sesuai dengan kontrak kerja. Ini yang selama ini menjadi modus perdagangan manusia. Ini memberikan efek jera kepada perusahaan nakal dan menghapus impunitas yang selama ini masif dilakukan perusahaan jasa tenaga kerja,” kata Anis.
Sementara itu, Hariyanto dari SBMI menambahkan, jika MK sampai menyetujui aspirasi Aspataki, MK berpotensi membuka keran perdagangan manusia. Hal itu juga berarti Pemerintah Indonesia melanggar hak konstitusional pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sebelum UU No 18/2017 disahkan, banyak sekali praktik nakal perusahan tenaga kerja yang tidak bisa ditindak. Pemerintah juga sulit mengontrol perusahaan nakal tersebut karena keterbatasan aturan lama. Kejahatan yang mereka lakukan pun tidak bisa dihakimi sehingga pelaku bebas melenggang tanpa dihukum.
”Ancaman pidana yang berat diharapkan dapat mencegah terjadinya praktik perdagangan orang yang sering dilakukan melalui modus pengiriman pekerja migran. Kami berharap MK tidak turut membuka keran perdagangan orang bagi pekerja migran Indonesia,” kata Hariyanto.
Kini setelah para buruh migran Indonesia mendapatkan jaminan kepastian hukum, perusahaan justru mengajukan uji materi terhadap UU tersebut. Padahal, menurut Anis, Migrant Care membutuhkan waktu tujuh tahun untuk berjuang mengegolkan regulasi tersebut. Menurut dia, seharusnya semua pihak menghargai perkembangan regulasi yang maju dan menghargai pekerja migran Indonesia. Jangan sampai kebijakan hukum itu justru mundur ke belakang.
MK diharapkan menjalankan fungsi yang melekat terhadap wewenangnya sebagai pengawal konstitusi dan pelindung hak konstitusional warga negara dalam hal ini pekerja migran Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Pasal 28 D Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.