Negara Dianggap Belum Lindungi Perempuan Pembela HAM
Masyarakat sipil menyayangkan penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan yang diduga dilakukan anggota Polsek Matraman, Jakarta Timur, di Kantor LBH APIK. Kepolisian masih mendalami laporan masyarakat sipil itu.
Oleh
Ingki Rinaldi dan Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan pembela hak asasi manusia di Indonesia berada dalam posisi rentan. Kasus-kasus ancaman, intimidasi, penggeledahan, dan sebagainya yang ditujukan untuk mengganggu, membungkam, ataupun menghentikan upaya penegakan HAM masih terus terjadi.
Salah satu kasus di antaranya dialami perempuan pembela HAM yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan tanpa mengindahkan prosedur diduga dilakukan anggota Kepolisian Sektor Matraman di Kantor LBH APIK pada 3 Februari 2020.
Kuasa hukum LBH APIK, RR Sri Agustine, Rabu (19/2/2020), mengatakan, empat anggota Polsek Matraman sudah diadukan ke Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Kepolisian Resor Jaktim. Mereka diduga melakukan malaadministrasi karena menggerebek tanpa surat tugas dan tanpa mengenakan seragam polisi. Selain itu, mereka juga diduga melakukan intimidasi dan penggeledahan paksa.
Penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa itu terjadi karena LBH APIK dituduh menyembunyikan seorang perempuan korban kekerasan, DW (21). Sejak 24 Januari 2020, LBH APIK Jakarta beroleh rujukan konsultasi hukum dari Komnas Perempuan terkait dengan kekerasan yang dialami DW.
Kekerasan itu diduga dilakukan orangtua DW karena hubungan asmara yang tidak disetujui orangtuanya. Penggeledahan paksa oleh anggota Polsek Matraman didasarkan laporan orangtua DW yang menganggap LBH APIK menculik dan menyekap DW.
Selain oleh polisi, tindakan intimidasi, penggerebekan, dan penggeledahan paksa juga dilakukan 16 orang lainnya. Mereka mengatasnamakan diri sebagai organisasi kemasyarakatan tertentu berbasis keagamaan dan kesukuan.
”Kerugian yang dialami LBH APIK, seluruh staf mengalami trauma psikologis. Tidak berani ke kantor. (Ini membuat) Pelayanan tidak maksimal sehingga korban (kekerasan terhadap perempuan) yang mau mencari keadilan (menjadi) terhambat,” kata Agustine dalam jumpa pers di LBH Jakarta.
Masyarakat Patriarkis
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang juga hadir dalam kesempatan itu menyoroti peran negara yang dalam hal ini peran kepolisian yang seharusnya melindungi pembela HAM. Kewajiban negara semestinya menciptakan suasana lingkungan yang aman, tidak boleh mengintervensi pekerjaan pekerja HAM, dan harus memiliki mekanisme efektif saat ada kasus seperti dialami LBH APIK.
Usman mengatakan, dalam hal ini, polisi bukan hanya tidak melindungi LBH APIK, tetapi juga tidak melindungi DW sebagai korban. Terkait dengan peran khusus polisi dalam hal itu, Usman mengatakan bahwa polisi wajib memfasilitasi kerja pembela HAM. Ini termasuk mendiskusikan adanya dugaan kekerasan terhadap korban, dalam hal ini DW.
Selain itu, katanya, seharusnya polisi mengambil peran mencegah adanya intervensi dari pihak non-negara dalam melakukan intimidasi, penggerebekan, dan penggeledahan paksa. Hal lainnya, polisi semestinya aktif menindak setiap serangan kepada para pembela HAM dan melindungi mereka dari kekerasan ataupun pelanggaran HAM.
”Tiga peran polisi (dalam kasus) ini (menjadi) permasalahan,” ucap Usman.
Peran kepolisian yang semestinya melindungi dan melayani, lanjut Usman, malah bertentangan karena turut mengintimidasi DW. Ia menambahkan bahwa yang terjadi merupakan hal serius karena ada sentimen kesukuan dan keagamaan yang semestinya bisa dicegah, tetapi anggota polisi malah terlibat di dalamnya.
Menurut Usman, kasus itu menjadi gambaran khas dalam struktur masyarakat partiarkis. DW menjadi korban baik oleh keluarga, lingkungan sosial, maupun oleh negara sekaligus. Padahal, tambah Usman, sebagaimana UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan yang sekalipun dilakukan di rumah tetap menjadi kejahatan yang sifatnya publik.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Era Purnamasari menekankan bahwa serangan ke LBH APIK diduga difasilitasi polisi. Ia juga mempertanyakan alasan polisi masuk ke properti LBH APIK secara sewenang-wenang. Padahal, ada UU Polri dan sejumlah peraturan kepolisian yang mengatur.
Pengawas LBH APIK Ratna Batara Munti menambahkan, kejadian itu sudah yang kesekian kalinya dialami perempuan pembela HAM di LBH APIK. Selain itu, juga terjadi penyadapan, penyerangan, dan perundungan di dunia maya. Ia mengatakan, peristiwa 3 Februari 2019 membuat LBH APIK tidak bisa lagi mendiamkannya. Ia menyebut hal tersebut juga kembali membuka kesadaran mengenai pentingnya UU tentang aktivis atau pekerja HAM/kemanusiaan.
Sementara itu, Kepala Polres Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Arie Ardian Rishadi mengatakan, terkait dengan kejadian di LBH APIK, pihaknya masih mendalami hal itu, termasuk keberadaan kelompok tertentu di sana. Sampai saat ini terdapat empat anggota kepolisian yang telah dimintai keterangan. Menurut Arie, tidak terjadi penggeledahan di kantor LBH APIK. Hal itu berdasarkan laporan anggota Polri kepadanya.
”Sebenarnya itu, kan, maksudnya baik, yakni polisi diminta membantu mempertemukan antara orangtua dan anaknya yang dilarikan oleh seseorang,” kata Arie.