Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan menggerakkan perekonomian. Namun, ada sejumlah pasal terkait lingkungan hidup yang mesti diperhatikan.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan menggerakkan perekonomian. Namun, ada sejumlah pasal terkait lingkungan hidup yang mesti diperhatikan.
Analisis para peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menemukan adanya sejumlah potensi masalah terkait lingkungan hidup dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, 12 Februari. RUU ini juga bisa memicu persoalan di bidang penataan ruang, pertambangan mineral dan batubara, perkebunan, kehutanan, kelautan, pengelolaan area pesisir dan pulau kecil, ketenagalistrikan, serta keanekaragaman hayati.
Direktur ICEL Raynaldo Sembiring, di Jakarta, Rabu (19/2/2020), menyatakan, dalam RUU Cipta Kerja, perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ini, misalnya, terlihat pada Pasal 23 angka 24 yang menghapus tugas dan wewenang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Padahal, kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah terbatas. Di samping itu, kondisi lingkungan setiap daerah berbeda-beda.
”Salah satu bentuk peminggiran aspek lingkungan adalah dilonggarkannya amdal (analisis mengenai dampak lingkungan),” kata Raynaldo.
Usaha wajib amdal, yang semula diatur dengan sembilan kriteria pada Pasal 23 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijadikan satu kriteria dengan indikator abstrak. Hal itu bisa menurunkan mutu pengelolaan lingkungan.
Dalam RUU Cipta Kerja, izin lingkungan dihilangkan, diganti perizinan berusaha. Itu tertera dalam Pasal 23 angka 4 tentang perubahan Pasal 24 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2009. ”Akses warga melakukan upaya hukum pada putusan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup kian kecil,” ujar Raynaldo.
Pengawasan dan pemberian sanksi administrasi atas pelanggaran lingkungan juga dapat bermasalah dengan dihapusnya Pasal 72, 73, 74, 75, dan mengubah Pasal 76 UU Nomor 32 Tahun 2009. Akibatnya, tidak ada ketegasan instansi yang bertanggung jawab dalam pengawasan lingkungan hidup, pengawasan
lapis kedua oleh pemerintah pusat, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup, dan jenis sanksi administrasi.
Terkait tata ruang, juga ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam RUU Cipta Kerja. Hal ini, misalnya, terkait Pasal 15 Ayat (5) yang menyebut, pelaku usaha bisa langsung melaksanakan kegiatan usaha setelah ada konfirmasi kesesuaian pemanfaatan ruang. Pasal itu tidak mengatur keharusan ada partisipasi publik, uji kelayakan lingkungan, dan perizinan berusaha final sebelum melakukan kegiatan usaha.
Melemahkan publik
Menurut Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Kartono, RUU Cipta Kerja juga berpotensi melemahkan partisipasi publik, misalnya dalam penyusunan amdal. Dalam RUU itu juga tidak ditegaskan tentang pengumuman putusan kelayakan lingkungan dengan cara mudah untuk diketahui warga, seperti yang diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009.
Ada tiga hal di RUU Cipta Kerja yang dapat melemahkan pengaturan lingkungan hidup. Pertama, perubahan pasal-pasal bisa memicu perbedaan interpretasi karena tidak ada penjelasan isi pasal. Kedua, tidak ada norma dan arahan pengaturan lebih operasional. Ketiga, dengan banyaknya kewenangan pemerintah pusat dan luasnya cakupan bidang lingkungan, kapasitas pemerintah bisa tidak sejalan tuntutan tanggung jawabnya yang besar.
Terkait perkembangan RUU Cipta Kerja dari sisi lingkungan dan kehutanan, hingga semalam, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono belum memberikan tanggapan.
Tak ada yang harus dikhawatirkan karena amdal itu pesan moral bahwa usaha harus memperhatikan prinsip lingkungan.
Meski demikian, pertengahan Januari lalu, Bambang menjelaskan, lingkungan hidup tetap menjadi bagian besar pengelolaan usaha. Izin lingkungan ditapis dengan amdal. Usaha kelola lingkungan dan pemantauan lingkungan tetap ada pada usaha berisiko tinggi dan berisiko berat.
Kegiatan disebut risiko tinggi jika memicu pencemaran, kerusakan, dan kegaduhan. Kegiatan usaha berdampak ringan membutuhkan registrasi. ”Tak ada yang harus dikhawatirkan karena amdal itu pesan moral bahwa usaha harus memperhatikan prinsip lingkungan,” ujarnya.