Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Ward Berenschot, menawarkan gagasan di antara perdebatan sistem pemilu yang mengemuka selama ini, yaitu mengintegrasikan pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdebatan soal sistem pemilu perlu dibuka lebih luas. Tak semata berfokus pada sistem proporsional terbuka atau tertutup untuk pemilu legislatif. Tak juga semata berfokus pada pemilihan langsung atau tidak langsung untuk pemilihan kepala daerah. Opsi sistem lain bisa jadi dapat memperkuat demokrasi dan mengatasi persoalan yang kerap muncul setiap kali pemilu.
Hal ini menjadi salah satu yang mengemuka saat Ward Berenschot mengenalkan materi dalam buku berjudul Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Jumat (21/2/2020). Ward Berenschot menjadi salah satu penulis buku tersebut. Selain Ward Berenschot, hadir pula Andreas Haryono, editor dari Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Yayasan itu menjadi penerbit buku tersebut.
Ward Berenschot melihat, hingga saat ini diskusi mengenai sistem pemilu di Indonesia baru didekati dari perspektif demokrasi ideal. Salah satunya, penggunaan sistem proporsional terbuka untuk pemilu legislatif (pileg) lebih tepat karena dapat meningkatkan akuntabilitas.
Untuk diketahui, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa memilih langsung calon anggota legislatif (caleg) yang mereka kehendaki. Caleg terpilih kemudian ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Dengan mekanisme rakyat langsung memilih calon tersebut, maka bisa mendorong akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya.
Akan tetapi, menurut peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, itu, dampak dari penerapan sistem tersebut tidak berdampak pada kinerja pemerintah. Dia pun mengingatkan akuntabilitas demokrasi mesti memberikan insentif kepada semua pelaku di dalamnya. Hal ini termasuk agar korupsi bisa dicegah dan kualitas kerja meningkat.
Berangkat dari hal itu, salah satu gagasan yang mulai bisa didiskusikan sebagai solusi yaitu mengintegrasikan pileg dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam sistem ini, partai politik (parpol) peraih suara terbanyak di pileg di satu daerah berhak menentukan siapa yang menjabat kepala daerah. Kepala daerah itu dipilih dari anggota DPRD terpilih yang diusung parpol di daerah tersebut.
Pola penentuan kepala daerah oleh parpol itu dinilainya bisa sekaligus mendorong penguatan parpol. Sebab, parpol akan terdorong menghadirkan caleg yang memiliki kapasitas. Di sisi lain, pemilih masih diberi kesempatan untuk memilih pemimpin mereka. Pola ini dinilainya lebih baik daripada menghapuskan pemilihan langsung oleh pemilih.
Ward Berenschot melanjutkan, pembahasan soal alternatif sistem itu juga lebih baik daripada terus berkutat dalam perdebatan seputar sistem proporsional terbuka atau tertutup untuk pileg dan pemilihan langsung atau tidak langsung untuk pilkada.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menilai, usulan yang disampaikan Ward Berenschot memungkinkan jika merujuk pada desain konstitusi yang ada.
Akan tetapi, rezim pilkada dan pemilu yang berbeda harus disamakan terlebih dahulu. Proses ini bisa dilakukan lewat kodifikasi undang-undang terkait kepemiluan.
Selain itu, partai dituntut untuk terlebih dulu memperbaiki diri. Dalam proses pencalonan untuk pemilu, misalnya, sistemnya harus demokratis. Hal ini bisa dengan membuat pemilihan pendahuluan di internal partai. Dengan demikian, calon yang diusung partai bisa teruji kapasitasnya.