RUU Pemilu Jadi Pintu Masuk Kodifikasi Aturan Politik
Komisi II DPR berencana menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebagai pintu masuk pembahasan UU Pembangunan Politik, yang meliputi tujuh UU sekaligus. RUU Pemilu saat ini dibahas di internal Komisi II DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR melontarkan gagasan untuk melakukan kodifikasi tujuh undang-undang dengan tema politik dan otonomi daerah dalam Undang-Undang Pembangunan Politik. Untuk tahap awal, DPR berencana menggabungkan Undang-Undang Pemilu dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, draf dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang merupakan inisiatif DPR saat ini masih dikerjakan oleh tenaga ahli Komisi II bekerja sama dengan Badan Keahlian Dewan (BKD).
Pembahasan RUU Pemilu itu ditargetkan sudah bisa dimulai di kalangan internal komisi pada masa persidangan ketiga DPR tahun ini. Masa persidangan itu dimulai pada 23 Maret 2020.
”Secara informal, kami sudah melakukan diskusi-diskusi di internal komisi untuk membicarakan bagaimana persiapan perubahan UU Pemilu. Selama ini, kan, pembahasan UU Pemilu melalui panitia khusus, tetapi nanti tergantung Badan Musyawarah, apakah cukup dibahas di dalam panitia kerja di Komisi II atau panitia khusus. Setelah itu, ketika outline draf sudah jadi, akan kami mintakan masukan kepada setiap fraksi dalam daftar inventarisasi masalah,” tutur Doli, Sabtu (22/2/2020), di Jakarta.
Menurut Doli, RUU Pemilu ini bisa menjadi pintu masuk bagi pembahasan UU Pembangunan Politik, yang meliputi tujuh undang-undang sekaligus, yaitu UU Pemilu, UU Pilkada, UU Parpol, UU Pemerintahan Daerah, UU Pemerintahan Desa, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta UU yang mengatur MPR, DPR, dan DPD.
Namun, pada tahap awal, usulan yang dibahas baru menggabungkan UU Pilkada dengan UU Pemilu menjadi satu di dalam RUU Pemilu.
”Kami di Komisi II sudah sepakat dengan itu sekalipun sifatnya masih internal dan nanti akan ada pandangan-pandangan dari fraksi secara formal. Bahkan, ada wacana juga untuk memasukkan UU Parpol di dalam pembahasan ini (RUU Pemilu). Nanti akan kami lihat perkembangannya karena seperti di Australia, UU Pemilu menyangkut juga masalah parpol,” ucapnya.
Terkait dengan UU Pembangunan Politik, Doli mengatakan, Komisi II akan terlebih dahulu mendiskusikannya dengan pakar dan masyarakat sipil.
Selain itu, Komisi II DPR juga menginginkan RUU Pemilu kali ini bisa didesain lebih komprehensif dan sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia sehingga bisa kompatibel dengan sistem politik dalam jangka waktu yang panjang.
Selama ini, Indonesia kerap berganti-ganti UU Pemilu. Revisi dilakukan hampir setiap kali mendekati pemilu. Kondisi ini berusaha dijawab dengan RUU Pemilu yang ditargetkan selesai awal 2021 itu.
”Sudah cukuplah, kita 21 tahun reformasi seharusnya memiliki sistem atau UU Politik yang mapan. Kalaupun nanti mau diubah, ya,evaluasi 20-25 tahun lagi,” ujar Doli.
Direktur Pusat Studi dan Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, ide untuk membuat RUU Pemilu yang ajek dan pasti serta tidak berubah-ubah itu baik dan diharapkan bisa memberikan kepastian mekanisme bagi penyelenggara dan juga peserta pemilu.
Adapun usulan untuk membuat UU Pembangunan Politik dinilainya perlu kajian mendalam. Pasalnya, tidak semua undang-undang bisa dikodifikasikan lantaran ada pertimbangan politik hukum yang berbeda-beda.
Dalam RUU Pemilu, sejumlah isu diperkirakan bakal mengemuka. Salah satunya terkait keserentakan pemilu.
Tunggu putusan MK
Terkait dengan hal itu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus konstitusionalitas keserentakan pemilu, yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon meminta MK agar memisahkan pemilu menjadi pemilu lokal dan nasional. Doli mengatakan, apa pun putusan MK akan berpengaruh terhadap substansi dalam RUU Pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustofa mengatakan, fraksinya mengusulkan pemilu dibagi menjadi dua, yakni pemilu eksekutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota), dan pemilu legislatif (DPR, DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, dan DPD).
Gelaran pemilu legislatif didahulukan dan hasilnya nanti dijadikan patokan untuk ambang batas pencalonan dalam pemilu eksekutif.
”Kami menginginkan ambang batas parlemen berlaku juga untuk DPRD kota/kabupaten dan provinsi sehingga linier dengan ambang batas DPR di tingkat pusat. Tujuannya ialah penyederhanaan partai, baik di pusat maupun daerah,” kata Saan.
Adapun untuk sistem pemilu, Nasdem mendukung sistem proporsional terbuka. Sistem itu dipandang mewakili kepentingan partai dan konstituen sekaligus.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, fraksinya mengusulkan pemilu presiden dan pemilu anggota DPD digelar terpisah dengan pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten. Alasannya, calon pada pemilu presiden dan DPD adalah perseorangan, berbeda dengan pemilu DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik.
Adapun mengenai sistem pemilu, Fraksi PDI-P mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup.
Terkait dengan uji materi ke MK mengenai keserentakan pemilu, Arif tidak setuju jika pemilu lokal dan nasional dipisah.
”Kalau dilakukan pemisahan pemilu lokal dan nasional, yang dikhawatirkan hal itu mendorong disintegrasi nasional. Sebab, watak pemilu lokal yang sulit dikendalikan ialah tumbuh kembangnya primordialisme. Bahkan pada titik yang lain ialah lokal-nasionalisme. Kedua, hal ini akan melemahkan parpol. Padahal, penguatan kelembagaan parpol menjadi salah satu tujuan pemilu kita,” ujarnya.