Lebih Dini Berburu Kandidat untuk Pilkada 2020
Sejumlah partai politik bersiap lebih dini menghadapi Pilkada 2020. Dengan bergerak lebih cepat, kans kemenangan diyakini lebih besar. Hanya saja, masih ada yang dinilai absen dari proses itu, yaitu partisipasi publik.
Masa pendaftaran calon pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 di Komisi Pemilihan Umum baru akan dibuka pertengahan Juni 2020. Namun, sejak akhir tahun lalu, sejumlah partai politik sudah berburu figur yang akan diusung.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), misalnya, sudah mengumumkan 49 pasangan bakal calon kepala/wakil kepala daerah yang akan diusung partai di pemilihan kepala daerah (pilkada) di 49 daerah, Rabu (19/2/2020). Adapun untuk 221 daerah lain akan diumumkan secara bertahap sebelum tiba masa pendaftaran. Pilkada 2020 akan digelar di 270 daerah secara serentak pada 23 September.
Mayoritas yang diumumkan di gelombang pertama itu merupakan petahana dan kader PDI-P seperti Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey dan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Baca juga : Pilkada dan Upaya Menjaga Khitah Demokrasi
Sebelum diumumkan, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, penjaringan dan penyaringan bakal calon dimulai sejak akhir November 2019. Dimulai dari pembukaan pendaftaran dan dilanjutkan dengan seleksi oleh partai.
Seleksi memakan waktu cukup lama karena partai harus mempertimbangkan setidaknya empat hal. Keempatnya adalah rekam jejak bakal calon, kedekatan dengan partai, hasil survei, dan masukan dari publik. Khusus survei, setiap pasangan calon disurvei setidaknya dua kali oleh lembaga survei.
Adapun masukan dari publik diklaim oleh Arif dibuka sejak waktu pendaftaran. Setiap masukan dicek oleh partai akurasinya sebelum dijadikan pertimbangan.
”Pokoknya, untuk penjaringan hingga perekrutan itu, jurusnya sudah komplet,” kata Arif.
Baca juga : Efek Jokowi, Gibran, dan Pilkada Surakarta
Catatan Kompas, sejak pilkada serentak digelar pertama kali tahun 2015, baru kali ini PDI-P mengumumkan bakal calon yang akan diusung jauh sebelum masa pendaftaran.
Dengan diumumkan lebih dini, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, kans kemenangan bisa lebih besar diraih. Pasalnya, para bakal calon sudah bisa lebih dini mendekati calon pemilih di daerahnya.
Tak hanya itu, para bakal calon memiliki ruang yang cukup untuk merangkul kekuatan politik lain. Koalisi dengan parpol lain diyakini akan memperkuat gerak bakal calon untuk meraih kemenangan. Koalisi pun menjadi modal dalam menjalankan pemerintahan ketika kelak bakal calon terpilih.
Selain PDI-P, pendatang baru di panggung politik, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga sudah sibuk berburu figur untuk Pilkada 2020 jauh-jauh hari sebelum masa pendaftaran. Akhir Januari lalu, PSI mulai menjaring calon melalui konvensi untuk daerah di mana PSI memiliki fraksi sendiri di DPRD, seperti Tangerang Selatan dan Surabaya.
Baca juga : Kerabat Istana di Panggung Pilkada
Ada empat tahapan seleksi dalam konvensi, mulai dari administrasi, wawancara oleh pakar, debat publik, hingga survei elektabilitas. Hingga kini, dua tahapan sudah dilalui, yaitu seleksi administrasi dan wawancara oleh pakar. Targetnya, keseluruhan seleksi sudah tuntas pada April mendatang dan keputusan akan dikeluarkan oleh PSI pada akhir April 2020.
Ketua Umum PSI Grace Natalie mengatakan, model konvensi dipilih untuk memberikan kesempatan secara terbuka bagi individu berkualitas yang ingin maju di pilkada. Model perekrutan itu pun diyakini bisa mengikis kebiasaan adanya mahar untuk memperoleh tiket pencalonan dari partai. Selain itu, mekanisme yang terbuka itu membuka ruang partisipasi bagi publik.
Saat fase wawancara oleh pakar, misalnya, publik bisa melihat langsung melalui akun Facebook dan Instagram PSI.
Andalkan survei
Tak berbeda jauh dengan PDI-P dan PSI, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Nasdem juga giat berburu bakal calon.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, penjaringan bahkan dimulai sejak September 2019. Partai juga disebutnya sudah memutuskan figur yang akan diusung untuk pilkada di sejumlah daerah. Hanya saja, surat keputusan (SK) belum dikeluarkan karena gelaran Kongres PAN pekan lalu.
Baca juga : Teknologi dan Pilkada 2020
”Proses itu kami tunda sebentar karena kongres yang lalu. Jangan sampai nanti ada pihak yang menerima SK, tetapi tidak merasa yakin karena khawatir dalam kongres pengurusnya berganti. Jadi, sekarang setelah kongres usai, dan segera setelah pengesahan kepengurusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kami akan memulai lagi prosesnya,” tuturnya.
Pemberian tiket pencalonan dari PAN, menurut Eddy, salah satunya setelah melihat hasil survei bakal calon. Hasil survei ini tak hanya bisa melihat potensi kemenangan bakal calon, tetapi juga penerimaan publik atas figur tersebut.
Hasil survei juga jadi andalan Partai Nasdem dalam memutuskan calon yang akan diusung. Ketua DPP Partai Nasdem Taufik Basari menyampaikan, partainya bekerja sama dengan delapan lembaga survei untuk menguji elektabilitas bakal calon yang akan diusung di daerah masing-masing.
Survei tersebut meliputi elektabilitas bakal calon, faktor demografi, tingkat kepuasan kinerja pemerintah daerah, isu-isu di daerah tersebut, hingga survei kecocokan antara latar belakang pasangan calon dan isu-isu yang berkembang di masyarakat.
”Mana yang hasil surveinya sudah ada, kemudian sudah dibahas, dan sudah kami kaji, maka kami dahulukan untuk diumumkan. Jadi, yang utama adalah hasil survei,” katanya.
Baca juga : Partai Petakan Kekuatan di Daerah
Tiga M
Berkaca pada pilkada sebelumnya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya melihat, kunci kemenangan calon di pilkada ada pada konsep tiga M plus satu M. Tiga M yang dimaksud ialah manusia, mesin parpol, dan media massa.
Manusia dalam arti pentingnya kekuatan elektoral dan popularitas calon. Faktor calon ini tak dimungkiri bisa melebihi kekuatan parpol yang mendukungnya. Adapun mesin parpol mengacu pada parpol pengusung calon. Kekuatan elektoral individu akan lebih kuat ketika didukung mesin parpol pengusung yang solid.
”Kita sering melihat ada realitas orang yang berpengaruh, tetapi maju independen, ternyata sulit (terpilih). Jadi, tetap butuh kekuatan partai,” ucap Yunarto.
Baca juga : Ikhtiar Bawaslu dan Modus Politik Uang yang Terus Berubah
Faktor terakhir, yaitu media massa, juga tak kalah penting untuk menggenjot popularitas calon.
Adapun satu M lainnya yang sengaja dipisahkan dari ketiga M lainnya adalah money atau uang. Faktor uang ini sengaja dipisahkan Yunarto karena tidak masuk dalam etika berdemokrasi.
”Tetapi, suka atau tidak, faktanya masih jadi faktor penentu kemenangan. Apalagi di daerah, ketika ketiga faktor M tadi enggak jalan, maka hampir dipastikan faktor uang ini menjadi faktor penentu sekali,” katanya.
Terlepas dari faktor uang itu, pengumuman lebih dini calon oleh parpol bisa menggenjot faktor 3 M. Bakal calon, misalnya, lebih punya ruang meningkatkan kekuatan elektoral dan memanaskan mesin parpol pengusung, sekaligus mencari dukungan parpol lain.
”Proses konsolidasi lebih punya waktu, termasuk memanaskan mesin infrastruktur partai,” ujar Yunarto.
Partisipasi publik
Hanya saja, dalam perburuan bakal calon lebih awal dari parpol itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melihat masih ada yang kurang.
Yang dimaksud, masih absennya publik dalam proses penjaringan hingga seleksi oleh sejumlah parpol. ”Partisipasi masyarakat untuk didengar pandangan soal latar belakang dan rekam jejak calon itu sama sekali tidak ada,” katanya.
Baca juga : Uji Kepatutan di Partai Didorong Terbuka
Oleh karena itu, dia mendorong parpol lebih giat menjaring masukan publik di sisa waktu hingga tiba masa pendaftaran.
Dengan demikian, publik bisa mengawal sekaligus memahami alasan parpol mengusung calon tertentu. Keterlibatan publik juga mendorong partisipasi politik yang lebih luas.
Jadi, kelak, tak ada lagi nama-nama calon yang tiba-tiba jatuh dari langit dan disodorkan kepada pemilih. Calon yang tidak jelas bahkan diragukan rekam jejak, kapasitas, dan integritasnya seperti kerap terjadi dalam pilkada selama ini.