Bakal calon perseorangan yang berupaya maju di pemilihan kepala daerah dihadapkan pada tantangan yang berat, mulai dari menembus persyaratan hingga membangun mesin relawan.
Oleh
Videlis Jemali/Machradin Wahyudi Ritonga/Tatang Mulyana/Runik Sri Astuti/Melati Mewangi/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
Bakal calon perseorangan yang berupaya maju di pemilihan kepala daerah dihadapkan pada tantangan yang berat, mulai dari menembus persyaratan hingga membangun mesin relawan. Mereka harus bergerak jauh-jauh hari agar mesin relawan yang dibangun dari nol itu bisa lebih panas ketimbang mesin partai.
Pasangan calon perseorangan, Rian Ernest-Yusiani Gurusinga, misalnya, sudah mulai gerilya mengumpulkan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) sejak November 2019, sebagai persyaratan pencalonan di Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Batam, Kepulauan Riau. Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mereka harus meraih 48.816 dukungan atau 7,5 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di Batam.
Pada akhir Oktober 2019, dia mulai intensif bersafari politik, mencari wakil, membangun jaringan, serta membuka posko utama relawan. ”Setiap calon perseorangan, karena bukan jalur partai, pasti akan bergantung besar pada mesin relawan. Mesin relawan itu, kan, harus dibangun,” ujar Rian Ernest, Senin (24/2/2020).
Namun, upaya membangun mesin relawan juga tak mudah. Rian Ernest harus melakukan pendekatan ekstra kepada relawan agar yakin terhadap perjuangannya. Namun, dia tak memungkiri ada remunerasi yang diberikan kepada relawan untuk tiap dukungan terkumpul.
”Sehebat-hebatnya seorang calon jalan keliling, blusukan, itu, kan, pasti enggak akan terkumpul, sekian puluh ribu (KTP-el) itu susah sekali. Enggak mungkin. Itu hanya di dongeng. Jadi, mesin relawan penting,” ucap Rian.
Perjuangan serupa juga dialami bakal calon Bupati-Wakil Bupati Sigi, Sulawesi Tengah, Taufik Lasenggo-Purnawanti. Pasangan itu harus memastikan mengantongi dukungan minimal sekitar 16.000 KTP-el pemilih jelang batas penyerahan syarat dukungan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigi.
Untuk memperkuat jaringan dukungan, mereka membentuk tim relawan Jaringan Emosional Taufik (JET). Kelompok itu selama ini menjadi tulang punggung pengumpulan KTP-el. JET dibentuk hingga ke tingkat desa. Taufik membentuk struktur JET menyerupai struktur partai politik. Dengan demikian, kerja mesin pemenangan nantinya tak berbeda dengan parpol.
Menguras energi
Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pasangan bakal calon perseorangan Agung Sudiyono dan Sugeng Riyadi mengantongi lebih dari 91.000 dukungan pemilih.
Agung mengatakan, pengumpulan dukungan sebagai syarat pencalonan jalur perseorangan sangat berat. Selain jumlahnya yang banyak, dukungan yang dikumpulkan harus tersebar merata. Untuk wilayah Sidoarjo, dukungan minimal harus tersebar di 10 kecamatan dari total 18 kecamatan.
Tantangan tidak berhenti di sini. Dukungan dari masyarakat tersebut, selain harus dibuktikan dengan salinan KTP-el, juga harus diinput di Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU. Menurut Agung, proses input ini menguras energi tersendiri. Dia harus mengerahkan 10 relawan berpengalaman di bidang teknologi informasi untuk mengunggah data dukungan ke Silon.
”Mereka bekerja sangat keras untuk menuntaskan input data dukungan ke Silon dan memenuhi tenggat yang terbatas,” katanya.
Pasangan bakal calon perseorangan Bupati-Wakil Bupati Cianjur, Jawa Barat, Muhammad Toha-Ade Sobari mengaku harus bekerja dua hingga tiga kali lebih berat dibandingkan calon dari jalur parpol untuk memenuhi syarat pencalonan. Namun, calon perseorangan dapat menentukan nasib sendiri karena tak perlu menunggu restu pimpinan parpol.
Jalan yang tipis
Apalagi, seperti disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, calon perseorangan memiliki tantangan berat karena berhadapan dengan verifikasi faktual dengan metode sensus.
”Ini yang sangat berat. Bekerja keras memastikan tiap dukungan yang diberikan valid dan benar,” katanya.
Sementara itu, data menunjukkan peluang calon perseorangan memenangkan pilkada jauh lebih ”tipis” dibandingkan calon dari jalur partai politik. Becermin dari Pilkada 2017 yang berlangsung serentak di 101 daerah, peluang calon perseorangan hanya 3,7 persen dari 52 calon kepala daerah jalur perseorangan. Angka ini jauh di bawah tingkat keberhasilan calon kepala daerah dari jalur parpol yang sekitar 42,7 persen (Kompas, 28/2/2017).
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi mengatakan, calon yang bertarung tanpa diusung partai berisiko hanya meramaikan bursa pemilihan jika tidak memiliki sumber daya memadai.
Tantangan lain yang dihadapi calon perseorangan adalah bekerja lebih keras untuk meraup suara agar menang. Selain itu, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit untuk maju dalam pertarungan tersebut.
Di sisi lain, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tadulako Palu, Slamet Riyadi Cante, menyatakan, jika bekerja serius, pasangan calon perseorangan bisa menang. Kuncinya ada di struktur atau jaringan yang bekerja militan hingga ke desa-desa.
Pilkada masih panjang. Mari kita lihat bagaimana kiprah para penempuh jalan terjal nan tipis itu....