LP Kelebihan Penghuni, UU Narkotika Diusulkan untuk Direvisi
Revisi UU Narkotika diupayakan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk mengurangi kepadatan di LP dan rutan. Tiap tahun, ada pertambahan tahanan baru yang mencapai 20.000 orang.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengusulkan perlunya dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai salah satu solusi mengatasi kepadatan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Undang-undang yang ada saat ini dinilai belum secara tegas mengatur rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Akibatnya, banyak ditemui para pemakai yang dipidanakan ke dalam LP.
Dalam dua hari rapat kerja antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menkumham Yasonna H Laoly mengusulkan revisi UU Narkotika itu sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kepadatan di LP dan rutan. Saat ini, rata-rata ada 20.000 penghuni baru di LP dan rutan setiap tahun. Sebagian besar terkait dengan kasus narkotika. Oleh karena itu, pengurangan napi narkotika diyakini akan bisa mengurangi beban LP dan rutan secara signifikan.
”Selama UU Narkotika tidak diperbaiki, walaupun di LP dan rutan dilakukan distribusi penghuni, itu tidak akan cukup membantu mengatasi kepadatan yang terjadi. Di dalam UU Narkotika sebenarnya telah diatur adanya rehabilitasi, tetapi belum secara tegas dan jelas. Akibatnya, kini masih bisa terjadi pemakai dipenjarakan,” kata Yasonna di dalam raker dengan Komisi III DPR, Selasa (25/2/2020) di Jakarta.
Menurut catatan dari Kemenkumham, jumlah penghuni di LP dan rutan hingga Desember 2019 sebanyak 269.854 orang. Jumlah itu melebihi kapasitas seluruh LP dan rutan di Indonesia yang seharusnya hanya dihuni 142.541 orang. Upaya penambahan kapasitas rutan dan LP hanya mampu menampung 36.191 orang, sementara jumlah penghuni yang masuk sekitar 20.000 orang per tahun.
Upaya penambahan kapasitas rutan dan LP hanya mampu menampung 36.191 orang, sementara jumlah penghuni yang masuk sekitar 20.000 orang per tahun.
Yasonna mengatakan, upaya pengurangan sanksi berupa hukuman badan juga mulai dikenalkan di rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hukuman sosial dan denda menjadi hukuman alternatif yang ingin dikedepankan selain hukuman badan.
Semakin bertumpuknya pemakai narkotika di penjara berpotensi memengaruhi munculnya ”pasar” narkotika di dalam LP. Ketika bandar bercampur dengan pemakai, menurut Yasonna, hal itu membebani LP karena menimbulkan ancaman moral atau moral hazard bagi petugas. Sejumlah kasus bahkan melibatkan petugas. Ratusan petugas telah diberhentikan oleh kementerian terkait dengan kasus narkotika.
Menurut Yasonna, harus dipastikan rehabilitasi dijalani oleh semua pemakai, terlepas apa pun kondisi yang bersangkutan. Selama ini, mereka yang direhabilitasi umumnya adalah selebritas atau tokoh publik, sedangkan pemakai lain yang bukan dari kalangan tertentu dijebloskan ke penjara.
Pemerintah berharap ada keajekan dalam penjatuhan hukuman dalam kasus narkotika, khususnya bagi pemakai, sehingga mereka bisa direhabilitasi dan tidak dimasukkan ke dalam penjara.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Suding, mengkritisi pemerintah yang dinilai tidak banyak melakukan terobosan dalam pengaturan dan perbaikan tata kelola lapas. Dari tahun ke tahun, persoalan LP berulang, yakni persoalan kepadatan hunian (overcrowded) hingga kerusuhan dan perusakan yang terus terjadi.
Suding menilai tidak adanya penataan sumber daya manusia (SDM) yang benar di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sehingga Dirjen Pemasyarakatan tidak bisa mengontrol orang-orang yang bekerja dengannya dalam penataan LP.
”Tolong ini menjadi perhatian dari Sekjen Kementerian. Persoalan manajemen LP. Ini terjadi sejak tahun 2009. LP menjadi tempat kapitalisasi pasar narkoba di dalam. Sekjen bagaimana progresnya. Bagaimana integritasnya orang-orang ini. Blueprint-nya bagaimana supaya ada perbaikan ke depan,” ujarnya.
Hal senada dikemukakan oleh Herman Herry, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P. Menurut Herman, problemnya ialah promosi dan mutasi yang tidak tepat sehingga banyak petugas yang terlampau nyaman di satu tempat tertentu. Kondisi itu bisa diatasi bilamana proses promosi dan mutasi di tubuh Ditjen Pemasyarakatan diperbaiki.