Kredibilitas Hakim Jadi Penentu Kepercayaan Publik
Presiden Joko Widodo menyampaikan, tumbuhnya kepercayaan pada peradilan adalah bagian dasar dari tumbuhnya kepercayaan pada hukum. Untuk itu, pengawasan hakim perlu diperketat. Kualitas hakim juga perlu ditingkatkan.
Oleh
Anita Yossihara/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kredibilitas hakim diyakini menjadi penentu tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, penting bagi lembaga peradilan untuk meningkatkan kualitas hakim sekaligus memperketat pengawasan terhadap para pengadil di semua tingkatan.
Pentingnya peningkatan pengawasan hakim disampaikan Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) Tahun 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (26/2/2020). Hadir dalam acara itu, Ketua MA M Hatta Ali, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta perwakilan negara sahabat.
”Saya mendukung langkah MA dan Komisi Yudisial untuk meningkatkan pengawasan hakim,” kata Presiden Jokowi.
Peningkatan pengawasan diyakini sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kredibilitas hakim yang merupakan penentu kualitas lembaga peradilan. Jika hakim semakin kredibel dan kualitas lembaga peradilan semakin baik, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan akan meningkat.
Dengan meningkatnya kepercayaan terhadap lembaga peradilan, bisa dipastikan masyarakat Indonesia pun semakin taat hukum. Lebih dari itu, budaya sadar hukum akan terbentuk di berbagai lapisan masyarakat.
”Tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada dunia peradilan adalah bagian yang sangat mendasar dari tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada hukum. Kita ingin dalam masyarakat Indonesia tumbuh budaya sadar dan taat hukum sehingga kerja-kerja para penegak hukum pun menjadi lebih ringan,” tutur Presiden.
Tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada dunia peradilan adalah bagian yang sangat mendasar dari tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada hukum.
Kualitas hakim
Selain pengawasan, Presiden mengingatkan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) hakim dan calon hakim. Sebab, kualitas SDM diyakini berpengaruh pada kualitas putusan pengadilan. Semakin baik kualitas SDM hakim dan calon hakim, semakin baik pula putusan yang ditetapkan pengadilan.
Apalagi saat ini tantangan yang harus dihadapi lembaga peradilan relatif berat. Lembaga peradilan dituntut mengeluarkan putusan yang seadil-adilnya di tengah kepentingan para pihak yang beperkara. Lebih dari itu, lembaga peradilan dituntut untuk mewujudkan penyelesaian perkara secara sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Perlu ditingkatkan
Terkait hal itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengapresiasi capaian kinerja MA yang tertuang dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2019. Salah satu keberhasilan MA, menurut dia, menurunkan perkara mangkrak dari sebelumnya sejumlah 20.275 perkara menjadi 217 perkara pada tahun 2019.
”Prestasi MA tersebut patut diacungkan jempol. Pada tahun 2019 MA berhasil menyelesaikan puluhan ribu perkara yang masuk. Dalam sejarah MA berdiri, baru kali ini jumlah perkara yang mangkrak bisa ditekan serendah ini. Tidak salah jika lembaga peradilan lain belajar dari MA,” katanya.
Bambang juga mengapresiasi langkah MA yang terus melakukan pembenahan, khususnya pemanfaatan teknologi informasi dalam peradilan.
Namun, dia mengingatkan MA agar tidak cepat berpuas diri. Masih banyak yang perlu ditingkatkan dalam sistem peradilan di Indonesia, di antaranya kemudahan akses informasi sistem peradilan, kecepatan sekaligus ketepatan penanganan perkara, serta memberantas mental korup pada aparatur peradilan.
”Jangan sampai akibat lambannya pembenahan yang dilakukan Mahkamah Agung sebagai leading sector peradilan, rakyat mencari keadilan di jalan. Karena itu, Mahkamah Agung harus senantiasa berani melakukan otokritik, pembenahan, sekaligus tak imun jika dikritik berbagai pihak,” tambah Bambang.
Dia juga mengingatkan hakim agar bijak dalam memutuskan perkara. Di samping asas keadilan retributif yang menekankan pemberian hukuman kepada pelanggar hukum, proses pencapaian keadilan juga mengenal keadilan restoratif berupa penyelesaian tindak pidana dengan mengesampingkan proses pidana.
”Keadilan restoratif bukanlah memberikan impunitas kepada korban, melainkan sebaliknya, justru melindungi korban dan pelaku agar tak terjebak dalam labirin represif hukum. Dengan demikian, hukuman yang diberikan bukan semata sebagai pembalasan, melainkan juga bagian dari pengajaran dan menciptakan solusi keselarasan hidup masyarakat,” kata Bambang.