Mencari Desain Keserentakan Pemilu
Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya beberapa hari lalu, memutuskan enam model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional.
Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya beberapa hari lalu, memutuskan enam model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional. Di antara model tersebut, masyarakat sipil menganggap pemisahan keserentakan pemilu nasional dan lokal sebagai model yang paling ideal. Namun, pandangan berbeda lahir dari partai politik.
Belum lepas dari ingatan ketika banyak petugas penyelenggara pemilu yang meninggal saat Pemilu 2019. Beban kerja yang sangat tinggi sebelum, selama, dan setelah hari pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April 2019, menjadi penyebabnya.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejak 17 April hingga 7 Mei 2019, dari total 7.286.067 petugas, sebanyak 4.310 orang sakit dan 456 orang meninggal. Data lain dari Kementerian Kesehatan, per 16 Mei 2019, jumlah petugas yang meninggal mencapai 527 jiwa dan 11.239 lainnya sakit.
Untuk kali pertama dalam sejarah kepemiluan di Tanah Air, Pemilu 2019 menyerentakkan pemilihan presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Pemilu ini kemudian disebut pemilu lima kotak. Dengan banyaknya pemilihan yang digelar serentak dalam satu hari, beban berlipat jelas ditanggung penyelenggara pemilu di tempat-tempat pemungutan suara. Di banyak tempat, mereka harus bekerja dari pagi hingga tiba pagi lagi.
Di sisi lain, tak sedikit pemilih yang dibuat bingung karena harus memberikan pilihan pada lima surat suara sekaligus. Kebingungan ini yang dinilai Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) membuat banyaknya suara tidak sah saat pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara oleh KPU, total suara tidak sah sebesar 17.503.953 atau mencapai 11,21 persen dari total jumlah pengguna hak pilih sebesar 157.475.213.
Berangkat dari fakta-fakta itu, Perludem kemudian mengajukan uji materi atas model pemilu lima kotak yang diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka pun mengusulkan agar keserentakan pemilu dipisahkan, antara pemilu serentak di tingkat nasional dengan pemilu serentak di tingkat lokal.
Putusan atas uji materi itu telah dibacakan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (26/2/2020). Dalam putusannya, MK memutuskan pemilu serentak dengan cara menyerentakkan pemilu anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilu presiden/wakil presiden terbuka untuk ditinjau ulang. Namun, peninjauan dan penataan tidak boleh mengubah prinsip dasar keserentakan pemilu dalam praktik sistem pemerintahan presidensial.
Prinsip dasar dimaksud, tetap mempertahankan keserentakan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. MK kemudian menghadirkan enam pilihan model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional, Kompas (27/2/2020).
Namun, untuk pemilihan model, MK menyerahkannya kepada para pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR. Dari keenam model, mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Didik Supriyanto, yang juga menjadi saksi ahli dalam uji materi di MK, berpandangan, model pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal atau seperti diusulkan oleh Perludem sebagai model yang paling rasional.
Dari sisi pemilih, mereka akan lebih termudahkan karena surat suara dan kandidat yang dipilih semakin sedikit. Selain itu, isu kampanye lokal tidak akan kalah dengan isu kampanye nasional karena pemilu digelar terpisah. Pemilih dapat berfokus pada calon-calon dengan gagasan yang sesuai dengan aspirasi mereka.
Dari sisi penyelenggara, mereka tidak dituntut untuk mendistribusikan logistik yang jumlahnya terlalu banyak, seperti saat pemilu lima kotak. Sementara itu, dari sisi partai politik, energi untuk berkampanye juga bisa lebih terfokus antara isu nasional dan isu lokal. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, juga mendukung pemisahan keserentakan itu.
”Opsi pemilu serentak lokal dan nasional tampaknya yang paling rasional untuk meminimalkan dampak buruk dari sisi pemilih dan penyelenggara pemilu,” katanya. Selain dapat menghindari faktor kelelahan penyelenggara pemilu, model pemisahan itu dinilainya bakal menguntungkan partai politik (parpol).
Parpol, misalnya, dapat menguji kinerja kandidatnya sehingga pemilih dapat teryakinkan saat akan memilih di pemilu nasional yang terpisah dengan pemilu lokal.
Bukan wacana baru
Wacana pemisahan keserentakan pemilu di tingkat nasional dan lokal itu sebenarnya bukan wacana baru. Menurut Didik, isu pemisahan keserentakan pemilu sudah muncul sejak 2004. Kemudian, pada 2009, panitia khusus di DPR sebenarnya sudah setuju dengan wacana tersebut. Dari level pansus, usulan dibawa ke fraksi dan mayoritas fraksi di DPR pun menyetujui usulan itu.
Namun, saat disodorkan kepada ketua umum parpol, justru pimpinan parpol menolak. Kali ini pun, Didik pesimistis parpol akan setuju. ”Parpol ini maunya simpel saja. Mereka tidak mau dikontrol selama dua kali dalam setahun. Parpol mau pemilu cukup sekali selesai dalam lima tahun,” katanya.
Sebagai gambaran, jika pemilu serentak nasional dipisah dengan pemilu serentak lokal, saat pemilih kecewa dengan kinerja parpol yang dipilihnya di level nasional, pemilih dapat memutuskan untuk tidak lagi memilih mereka di pemilu lokal. Mekanisme inilah yang dianggap merugikan parpol.
”Halangan dalam model keserentakan pemilu serentak lokal dan pemilu serentak nasional ini justru berasal dari kalangan elite atau partai politik,” tegas Didik. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini pun melihat, parpol masih resisten karena alasan pragmatisme elektoral.
Padahal, jika model pemilu serentak terpisah itu dijalankan, sistem itu dapat memastikan fungsionalisasi parpol. Mesin parpol akan selalu bekerja untuk melakukan kaderisasi dan perekrutan untuk kontestasi elektoral. Parpol pun dapat mendorong kandidat yang kinerja politiknya bagus untuk maju. Jika performa parpol kurang maksimal, hal itu dapat dievaluasi di pemilu serentak tingkat lokal.
Resistensi parpol atas model itu terlihat dari pernyataan sejumlah elite parpol. Wakil Sekjen PDI-P Arif Wibowo salah satunya. Namun, bukan karena parpol tidak siap, melainkan karena efek yang bisa ditimbulkan. ”Kalau dilakukan pemisahan pemilu lokal dan nasional, yang dikhawatirkan hal itu mendorong disintegrasi nasional.
Sebab, watak pemilu lokal yang sulit dikendalikan ialah tumbuh kembangnya primordialisme. Bahkan, pada titik yang lain ialah lokal-nasionalisme. Kedua, hal ini akan melemahkan parpol. Padahal, penguatan kelembagaan parpol menjadi salah satu tujuan pemilu,” ujarnya. PDI-P, menurut Arif, lebih memilih pemilu presiden dan anggota DPD digelar terpisah dengan pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten.
Alasannya, calon pada pemilu presiden dan DPD adalah perseorangan, berbeda dengan pemilu DPR dan DPRD yang pesertanya partai politik. Berbeda dengan PDI-P, Nasdem mengusulkan pemilu dibagi menjadi dua, yakni pemilu eksekutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota), dan legislatif (DPR, DPRD kota/kabupaten, DPRD provinsi, dan DPD).
Menurut Ketua DPP Nasdem Saan Mustofa, gelaran pemilu legislatif didahulukan dan hasilnya nanti dijadikan patokan untuk ambang batas pencalonan dalam pemilu eksekutif. Yang jelas, model keserentakan pemilu bakal jadi salah satu isu yang didalami dan bukan tidak mungkin bakal alot pembahasannya, saat pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan.
Menurut rencana, pembahasan akan dimulai pada masa persidangan DPR berikutnya, mulai 23 Maret 2020. Apa pun model yang dipilih, harapannya, hal itu tidak hanya mementingkan kepentingan elite politik, tetapi rakyat yang mereka wakili. Sebab, pemilu yang berkualitas itu juga menentukan kualitas demokrasi.