DPR wajib mengkaji pasal demi pasal di dalam RUU Cipta Kerja secara kritis. Sebab, substansi sejumlah norma di dalam RUU tersebut problematik dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengkaji dengan kritis pasal per pasal di dalam Rancangan Undang-undang Cipta Karya yang dibentuk melalui metode omnibus law. Sebab, sejumlah pasal berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama akses masyarakat atas kelestarian tanah dan lingkutan, bilamana norma dalam RUU itu tidak dibuat batasan yang jelas.
Hasil kajian Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Andalas menunjukkan, ada sejumlah pasal bermasalah yang terkait langsung dengan hak-hak masyarakat. Dihilangkannya pengaturan tentang tanggung jawab pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas kebakaran hutan, yang merupakan perubahan atas Pasal 49 UU Kehutanan berpotensi melanggar hak masyarakat adat atau warga sekitar hutan. Demikian pula dihilangkannya izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang merupakan perubahan pasal 104 UU Perindustrian, berpotensi melanggar hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Ada pula potensi perlakuan diskriminatif kepada warga negara yang berprofesi sebagai guru dan dosen. Guru dan dosen lulusan perguruan tinggi dalam negeri harus memiliki sertifikat pendidik, sementara syarat yang sama tidak diwajibkan untuk guru dan dosen yang berasal dari perguruan tinggi luar negeri.
Selain itu, pengaturan pengupahan yang dilimpahkan kepada peraturan pemerintah (PP) juga dinilai melemahkan perlindungan terhadap hak-hak pekerja yang selama ini dijamin UU. Ada pula potensi perlakuan diskriminatif kepada warga negara yang berprofesi sebagai guru dan dosen. Guru dan dosen lulusan perguruan tinggi dalam negeri harus memiliki sertifikat pendidik, sementara syarat yang sama tidak diwajibkan untuk guru dan dosen yang berasal dari perguruan tinggi luar negeri.
“Ada hak-hak masyarakat yang berpotensi dilanggar dalam norma-norma yang diatur di dalam RUU Cipta Kerja. Pelanggaran HAM tidak selalu terkait dengan kekerasan dan penyiksaan, tetapi pembatasan akses, dan penghilangan hak-hak warga atas lingkungan dan kehidupan yang layak juga merupakan bagian dari isu HAM yang harus pula dijamin oleh negara,” kata Benni Kharisma Arrasuli, peneliti PUSHAM Unand, Minggu (1/3/2020), yang dihubungi dari Jakarta.
RUU Cipta Karya, menurut Benni, memiliki dimensi yang sangat luas, tidak terbatas pada ekonomi, karena RUU yang disusun dengan metode omnibus law tersebut meliputi 79 UU. Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan RUU itu sejatinya bukan persoalan sepanjang penyusunannya dilakukan dengan tetap memerhatikan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hadirnya pasal-pasal problematik di dalam RUU Cipta Karya, menurut Benni, mencerminkan penyusunan RUU yang tidak partisipatif, karena potensial mengabaikan filosofi pembentukan UU lain yang diambil norma-normanya oleh RUU tersebut. Sejumlah pasal yang diambil dari UU aslinya itu diatur kembali dengan kebijakan politik hukum yang sesuai dengan filosofi RUU Cipta Kerja yang ramah investasi. Namun, kebijakan politik hukum lainnya, seperti perlindungan pekerja, jaminan kehidupan yang layak bagi setiap warga negara, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan lestari sebagaimana diatur di dalam UU aslinya cenderung terabaikan.
“DPR sebagai wakil rakyat harus mengkaji pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja secara mendalam dan kritis, sehingga bisa menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha dan hak-hak masyarakat. Jangan sampai hak-hak masyarakat terabaikan. Penting pula disadari mekanisme pembentukan RUU tersebut yang ternyata tidak mengikuti prosedur pembentukan UU yang baik sebagaimana diatur UU No 12/2011,” kata Benni.
Sejumlah pasal yang diambil dari UU aslinya itu diatur kembali dengan kebijakan politik hukum yang sesuai dengan filosofi RUU Cipta Kerja yang ramah investasi. Namun, kebijakan politik hukum lainnya, seperti perlindungan pekerja, jaminan kehidupan yang layak bagi setiap warga negara, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan lestari sebagaimana diatur di dalam UU aslinya cenderung terabaikan.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, potensi persoalan dalam RUU Cipta Kerja bukan karena penggunaan metodenya sebagai sarana pembentukan UU, melainkan lebih pada prosedural pembentukan UU yang baik dan substansi pasal-pasalnya yang problematik. Karena telah masuk di DPR, wakil rakyat memiliki kewajiban untuk menyisir pasal per pasal dan memastikan setiap pasal problematik itu dibahas.
Menurut Satya, pembentukan suatu UU yang dinilai tidak sesuai dengan UU No 12/2011 berpotensi digugat ke MK melalui uji formil. “Soal keterbukaan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini merupakan salah satu catatan kritis dari berbagai pihak, sehingga perlu menjadi perhatian bagi pembentuk UU. Kalangan buruh telah menyatakan sikapnya karena merasa tidak diajak bicara dalam penyusunan RUU tersebut,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Tim Satuan Tugas Omnibu Law Rosan Roeslani mengatakan, sosialisasi tidak dilakukan sejak awal penyusunan karena draf RUU Cipta Kerja masiih sangat dinamis sehingga bisa berubah-ubah setiap kali pembahasan. Karena pertimbangan itu, maka pemerintah menunggu draf dan naskah akademiknya tuntas baru diserahkan kepada DPR, dan sosialisasi secara luas dilakukan pemerintah melalui satgas.
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, pihaknya berharap pembahasan omnibus law bisa dilakukan secepatnya. DPR pun memastikan pembahasannya akan partisipatif, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.