Jaksa-jaksa pilihan masuk dalam tim penyidik. Tim kecil dari Badan Pemeriksa Keuangan berkantor di Gedung Bundar untuk membantu penyidik. Momentum memulihkan kepercayaan publik kepada kejaksaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Sejak akhir tahun lalu, gagal bayar polis asuransi milik PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bergulir menjadi kasus dugaan korupsi. Tim khusus dibentuk Kejaksaan Agung untuk mengusutnya. Sebagian penyidik ”lulusan” Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak hanya itu, mereka juga dibekali ilmu pasar modal. Kasus Jiwasraya menjadi momentum memulihkan kepercayaan kepada kejaksaan.
Jumat (28/2/2020) sore, Sabrul, seorang penyidik dari unit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), tergesa-gesa keluar dari Gedung Bundar—sebutan untuk kantor Jampidsus.
Hal itu bukan untuk pulang kerja, melainkan harus menghadiri rapat mendadak. Sabrul termasuk dalam tim yang menyidik kasus Jiwasraya. ”Di Gedung Bundar ini tidak mengenal jam kerja. Pulang di atas pukul 21.00 itu sudah sehari-hari. Apalagi ketika menangani kasus yang kompleks seperti Jiwasraya,” tuturnya.
Bahkan, tidak jarang, dalam mengusut kasus itu, dia bersama rekan-rekannya di satu tim harus menginap berhari-hari di kantor. Ini harus ditempuh karena penyidik berkejaran dengan waktu.
Selain ada tenggat masa penahanan, terutama bagi para tersangka yang telah ditahan, mereka sadar kerja mereka dinantikan oleh publik, khususnya para nasabah yang telah dirugikan oleh Jiwasraya.
Padahal kasus itu bukan perkara mudah untuk mengusutnya. Dalam kasus Jiwasraya, penyidik telah menetapkan periode penyidikan, yakni 2008 sampai 2018 atau selama 10 tahun. Pada periode tersebut, ada jutaan transaksi investasi yang terjadi antara Jiwasraya, perusahaan sekuritas, emiten, dan bank kustodian. Transaksi investasi itu melalui banyak rekening efek atau rekening saham. Tak tanggung-tanggung, jumlah rekening efek yang dicurigai mencapai 800 rekening.
Belum lagi, selama jangka waktu itu, tidak menutup kemungkinan aliran dana Jiwasraya berpindah ke transaksi lain atau bahkan berubah menjadi aset seperti kendaraan, tanah, perhiasan, dan perusahaan.
Kompleks dan rumitnya mengusut kasus Jiwasraya itu membuat Kejagung mengerahkan mayoritas jaksa di Jampidsus. Dari total 75 jaksa di Jampidsus, sebanyak 60 orang ditugaskan masuk ke dalam tim yang fokus mengusut dugaan korupsi di Jiwasraya.
”Jadi, ada penyidik yang setiap hari memeriksa dokumen hasil penggeledahan, sertifikat yang jumlahnya ribuan. Lalu ada tim yang mengonstruksikan perbuatan beserta peran dari tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah.
Selain itu, ada tim yang bertugas melacak aset, memeriksa saksi dan tersangka, melakukan penggeledahan, serta berkoordinasi dengan pihak atau lembaga di luar Kejagung.
Setiap malam, menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Hari Setiyono, tim selalu menggelar rapat. Dalam rapat, setiap tim melaporkan kerja penyidikan hari itu. Evaluasi dilakukan sekaligus menyusun strategi untuk keesokan harinya.
Jaksa-jaksa yang masuk ke dalam tim, Hari melanjutkan, rekam jejaknya sudah teruji. Beberapa di antaranya pernah ditugaskan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia mencontohkan, koordinator atau ketua tim penyidikan Jiwasraya, bernama Supardi, pernah menjabat Direktur Penuntutan KPK pada 2018. Bahkan, untuk kasus Jiwasraya, dua jaksa di KPK, yakni Yadyn Palebangan dan Sugeng, ditarik kembali ke Kejagung pada awal Februari lalu.
Tak berhenti di situ, pada akhir tahun lalu beberapa pakar pasar modal dihadirkan untuk membekali tim. Dari pakar itu, tim memahami alur bisnis dan tata kelola di pasar modal. Ilmu itu melengkapi kemampuan penyidik khususnya dalam mengusut kasus Jiwasraya.
Kemudian oleh karena penyidikan kasus Jiwasraya sebagian besar terjadi melalui transaksi investasi, maka audit investigasi pun menjadi dasar.
Oleh karena itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ikut membantu, bahkan ada tim khusus yang ditugaskan ”berkantor” di Gedung Bundar. Tim berjumlah sekitar sepuluh orang itu memberikan masukan langsung kepada penyidik.
”Kalau tidak begitu, target mengungkap dalam dua hingga tiga bulan bisa tidak terkejar. Harus kerja cepat ini,” kata Febrie.
Jampidsus Ali Mukartono mengatakan, penyidikan kasus Jiwasraya memang memerlukan banyak sumber daya, terutama penyidik. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin jumlah penyidik yang ditugaskan mengusut Jiwasraya akan ditambah. Mereka bisa diambil dari jaksa-jaksa di daerah.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, melihat, pekerjaan mengusut kasus Jiwasraya memang kompleks dan rumit. ”Selain indikasi jumlah kerugiannya besar, kronologi proxy-nya sudah lama, antara 2008 dan 2018, melibatkan 800 nomor rekening efek, dengan lebih dari satu juta transaksi. Dari sudut pidana pencucian uang, saya bayangkan ini rumitnya seperti apa,” kata Yenti.
Pertengahan Januari lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebutkan, kerugian nasabah dan negara dalam kasus Jiwasraya diperkirakan mencapai Rp 27 triliun (Kompas, 15/1/2020).
Tidak sebatas penindakan, menurut Yenti, yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini hendaknya dapat pula mengungkapkan kelemahan pengawasan pada sistem keuangan. Dengan demikian, sistem dapat dibenahi untuk mencegah peristiwa serupa terulang.
”Sia-sia saja membentuk tim yang besar kalau nanti kasusnya terulang kembali. Maka, kasus Jiwasraya ini merupakan momen untuk pembenahan secara menyeluruh,” kata Yenti.
Menanggapi hal itu, Wakil Kepala Pusat Pelaporan Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, kasus Jiwasraya memang diteliti secara sistemik. PPATK ikut di dalamnya.
”Kami meneliti dalam konteks pencegahan ke depan sehingga harus bisa memberi masukan. Titik terangnya sudah sangat kelihatan. Semoga ada solusi permanen,” katanya.
Momentum
Bagi Kejagung, keseriusan yang sudah tampak dalam mengusut kasus Jiwasraya dapat dijadikan momentum untuk memulihkan kepercayaan publik kepada kejaksaan.
Berdasarkan survei Indo Barometer pada 9-15 Januari 2020, yang dirilis beberapa hari lalu, tingkat kepercayaan publik kepada Kejaksaan Agung baru 52,9 persen. Kepercayaan publik kepada KPK masih lebih tinggi di antara aparat penegak hukum atau sebesar 81,8 persen.
Namun, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengingatkan, kerja kejaksaan masih jauh dari kata tuntas. Untuk betul-betul memulihkan kepercayaan publik, kejaksaan harus bisa menyelesaikan perkara Jiwasraya hingga tuntas. Semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu, harus dihukum. Jika sebaliknya yang terjadi, bisa jadi kepercayaan pada kejaksaan justru kian merosot.
Maka, jangan sampai kasus Jiwasraya ini berhenti di tengah jalan kemudian tak terdengar lagi kabarnya seperti nasib sejumlah kasus besar yang ditangani kejaksaan. Kejaksaan diharapkan tetap tangguh sekalipun kompleks dan rumit pengungkapan kasus Jiwasraya.