Persoalan dana telah menyebabkan melemahnya organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik dari elemen demokrasi lain, seperti partai politik, DPR, dan pemerintah.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan dana menjadi salah satu kendala dalam gerakan masyarakat sipil sebagai penyeimbang pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembuatan kebijakan. Keberadaan dana abadi masyarakat sipil sebagai bagian dari upaya merawat demokrasi menjadi jangkar penting. Di sisi lain, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan isu-isu yang dibawa masyarakat sipil cenderung belum sesuai dengan kepentingan umum.
Kajian Litbang Kompas terkait dengan kesesuaian antara isu yang diangkat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kepentingan masyarakat umum menunjukkan, sebesar 51,4 persen atau 259 responden menyatakan isu mereka tidak sesuai, 38,7 persen menyatakan sesuai, 46 responden atau 9,1 persen menjawab tidak tahu, dan 4 responden atau 0,8 persen tidak menjawab.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti, Senin (2/3/2020), di Jakarta mengatakan, lemahnya isu dan gerakan aktivitas masyarakat sipil salah satunya dipicu oleh problem pendanaan. Pendanaan abadi bagi masyarakat sipil saat ini menjadi salah satu kebutuhan yang cukup mendesak di tengah menguatnya kelembagaan demokrasi lain, seperti partai politik di DPR dan pemerintah. Pendanaan masyarakat sipil yang umumnya berasal dari lembaga atau negara donor kini banyak berkurang.
”Negara atau lembaga donor mulai menganggap Indonesia sudah lulus dalam melakukan transisi demokrasi. Akibatnya, organisasi masyarakat sipil sekarang melemah karena kekurangan dana. Beberapa aktivis juga sudah berpindah tempat, misalnya masuk ke parpol,” kata Ramlan.
Ketergantungan terhadap negara atau lembaga donor di kalangan masyarakat sipil ini, menurut Ramlan, tidak menjamin keberlangsungan lembaga masyarakat sipil di Tanah Air.
”Justru di tengah menguatnya parpol saat ini dalam pengambilan kebijakan, peran masyarakat sipil juga harus sama kuatnya untuk mengimbangi narasi dan pengawalan dalam pembuatan kebijakan itu,” katanya.
Lembaga masyarakat sipil di bidang pemilu dan demokrasi, misalnya, menurut Ramlan, sedang mengalami krisis pendanaan. Sudah tidak banyak lembaga yang melakukan kajian dan pemantauan pemilu, serta pendidikan pemilih (voter education). Parpol cenderung tidak terimbangi, dan masyarakat sipil geraknya terbatas.
”Kegiatan yang aktif hanya lembaga survei atau quick count, sementara untuk pemantauan pemilu dan voter education tidak ada lagi karena tidak ada dana dan aktivisnya,” katanya.
Pengadaan dana abadi untuk demokrasi ini, menurut Ramlan, harus disepakati dulu antara DPR dan presiden dalam penganggarannya. Dana itu bisa berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaan swasta, atau dari filantropi.
”Saya yakin, kalau ada kesepakatan bersama, dana itu bisa diupayakan perolehannya dari mana. Sejak saya menjadi anggota KPU, dana abadi untuk demokrasi itu pernah saya sampaikan. Pada prinsipnya Bappenas ketika itu setuju, tetapi Kemendagri belum bersikap sehingga belum ada realisasi. Idealnya memang dana abadi itu dianggarkan di dalam APBN,” tutur Ramlan.
Dana abadi untuk demokrasi itu pun sebaiknya dikelola oleh badan atau lembaga khusus yang diisi oleh pengawas dari pemerintah, swasta, atau perwakilan LSM. Untuk menjamin pengelolaannya profesional, lembaga itulah yang menilai apakah suatu proposal kegiatan atau partisipasi publik dalam pengawasan dan pemantauan suatu pembuatan kebijakan layak didanai ataukah tidak.
”Supaya penilaiannya obyektif, yang mengambil keputusan tentang pengalokasian dana abadi itu ialah orang-orang yang memang profesional di bidang tersebut,” katanya.
Belajar dari sejumlah penyusunan rancangan undang-undang (RUU) beberapa waktu lalu yang menimbulkan kegaduhan, seperti rancangan KUHP dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ramlan menilai DPR seperti ”kejar tayang” dan di satu sisi masyarakat sipil seolah tidak mampu mengimbangi wacana itu dengan sejumlah keterbatasan. Akhirnya, gerakan mahasiswa turun menolak RKUHP, tetapi revisi UU KPK tetap berlaku.
Saat ini pun ada sejumlah RUU yang dinilai problematik, salah satunya RUU Ketahanan Keluarga. Diskusi mengenai isu itu pun, menurut Ramlan, bukan berarti tidak ada, tetapi belum meluas. Padahal, ide pembuatan RUU Ketahanan Keluarga dipandang telah masuk terlalu dalam ke ranah privat warga negara.
”Media kali ini memainkan peranan penting sehingga mengungkap kelemahan dan polemik dari isu RUU tersebut,” kata Ramlan.
Persoalan dalam dunia masyarakat sipil tidak semata-mata anggaran. Kendati demikian, ketersediaan anggaran ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak jika ingin jalannya demokratisasi di Tanah Air berlangsung berkelanjutan. Menurut Ramlan, saat ini lembaga dan negara donor masih menaruh perhatian pada isu lingkungan hidup, seperti dari negara-negara Skandinavia. Namun, praktis untuk isu-isu lain, seperti demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, dananya terbatas sekali, bahkan sudah berhenti.
”Saya kerap menyampaikan kepada teman-teman dari luar negeri bahwa justru Indonesia saat ini sangat memerlukan pendanaan bagi gerakan masyarakat sipil. Demokrasi kita saat ini dikendalikan oleh parpol dan pemerintah, dan itu tidak sehat, karena organisasi masyarakat sipil kurang berperan. Perlu digaungkan kembali supaya demokrasi, yang dalam praktiknya ialah pembuatan kebijakan untuk kepentingan publik, tidak hanya melibatkan parpol di DPR dan pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, sektor privat, dan masyarakat pada umumnya,” kata Ramlan.
Terkait dengan hasil survei yang menunjukkan isu-isu LSM masih jauh dari kepentingan umum, menurut penasihat Demokrasi Inklusif dan Kepemiluan Kemitraan (Partnership for Governance Reform), Wahidah Syuaib, harus dibaca lebih detail. Misalnya, isu-isu mana saja yang dimaksud sebagai kepentingan umum itu. Menurut dia, dengan keterbatasan yang saat ini dihadapi kelompok masyarakat sipil, LSM bukan berarti tidak berupaya optimal. Mereka berusaha mendengarkan isu-isu langsung dari masyarakat dan tema-tema yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
”Gerakan masyarakat sipil memang terkendala dengan penganggaran, tetapi kami terus bergeliat di tengah terus menguatnya kekuatan negara. Sebagai contoh, saya bisa menghadiri tiga rapat pembahasan RUU sesuai Prolegnas yang ada saat ini. Hasil survei itu barangkali bisa dibaca sebagai belum maksimalnya sosialisasi di bawah tentang substansi yang diperjuangkan masyarakat sipil,” katanya.
Wahidah menilai, selama ini masyarakat sipil bergerak dengan melihat realitas yang ada di masyarakat. Pegiat LSM, misalnya, bergerak menemui komunitas dan kelompok yang terdampak langsung atas suatu isu dan kebijakan publik, seperti petani, nelayan, dan perempuan.
”Memang gerakan kami terbatas dengan anggaran sehingga tidak bisa selalu menyentuh semua daerah. Tentu berbeda dengan pemerintah yang memiliki anggaran cukup untuk sampai ke daerah yang lebih luas. Namun, di tengah keterbatasan itu, teman-teman masyarakat sipil berupaya optimal,” ujarnya.
Masyarakat sipil juga melakukan roadshow dengan berkeliling bersama lembaga yang mengampu suatu isu tertentu, seperti Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) terkait dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
”Teman-teman juga ada yang bertemu langsung dengan perempuan ibu rumah tangga yang menjadi kepala keluarga. Mereka tergabung dalam Perempuan Kepala Keluarga (Peka). Mereka itu wajah masyarakat kita, dan isu-isu yang mereka hadapi kami perjuangkan sekalipun dengan sejumlah keterbatasan yang ada,” kata Wahidah.
Wahidah menyoroti peranan tokoh-tokoh LSM yang kini duduk di pemerintahan. Sebaiknya mereka mengingat kembali spirit awal ketika masuk ke dalam sistem. Banyak aktivis atau tokoh yang merasa harus masuk ke dalam sistem untuk memperbaiki situasi.
”Ketika mereka masuk ke dalam sistem, kini saatnya mereka berperan dalam pengambilan kebijakan dan jangan melupakan spirit awal,” katanya.