Panjang (Akal) Umur Perjuangan Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil dihadapkan pada setumpuk tantangan yang tidak ringan. Mulai dari urusan finansial hingga perekrutan keanggotaan. Kehadiran masyarakat sipil penting di tengah kemunduran demokrasi.
Sempat menguat pasca-Reformasi, belakangan gerakan masyarakat sipil justru meredup. Mereka dihadapkan pada ujian yang tidak ringan agar tetap eksis. Padahal, di tengah sinyal kemunduran demokrasi yang kian menguat, kehadiran masyarakat sipil sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara sangat penting.
Ketika rezim Orde Baru tumbang dan pintu demokrasi dibuka lebar-lebar, masyarakat sipil yang bebas dari kooptasi negara tumbuh subur. Masyarakat sipil lahir di perkotaan, tidak hanya menjalankan peran sebagai pengawal kebijakan negara, tetapi juga membantu negara dalam menghadapi sejumlah isu bangsa.
Indonesia Corruption Watch (ICW) salah satunya. Lahir di tengah masa Reformasi 1998, masyarakat sipil yang pendiriannya diinisiasi oleh sejumlah aktivis hukum tersebut memilih berfokus pada isu-isu pemberantasan korupsi.
Di awal pendiriannya, publik merasakan pentingnya kehadiran ICW. Dukungan lahir dari banyak kalangan. Namun, dalam perjalanannya, ujian eksistensi silih berganti hadir.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, di kantornya, di Jakarta, pekan lalu, menceritakan pandangan miring publik pada masyarakat sipil salah satunya. Tak jarang muncul pandangan gerakan sosial yang didengungkan masyarakat sipil didasari adanya motif ekonomi di baliknya. Belum lagi badai politik yang kerap kali ikut memudarkan itikad baik dari masyarakat sipil.
Saat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terseret isu SARA misalnya. ICW, yang saat itu bekerja sama dengan Basuki untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik di DKI Jakarta, ikut-ikutan dihujat.
Tak hanya itu, ujian eksistensi juga lahir dari pihak-pihak yang kontra dengan nilai-nilai yang diperjuangkan ICW. Sebagai contoh, saat ICW lantang menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun lalu, tidak sedikit yang justru menekan ICW. Peneliti ICW diancam. Akun media sosial mereka jadi sasaran bully.
Jauh ke belakang, persisnya pertengahan tahun 2010, peneliti di ICW, Tama Satya Langkun, bahkan pernah dianiaya orang tak dikenal. Saat itu, Tama beserta sejumlah aktivis ICW baru saja melaporkan dugaan korupsi dalam perkara rekening perwira Polri ke KPK.
Baca juga : Memperkuat Gerakan Masyarakat Sipil
Tantangan dan risiko yang besar itu yang, menurut Adnan, turut berimbas pada sulitnya merekrut orang-orang baru untuk bergabung dengan ICW. ”Tidak banyak yang mau bergabung dengan ICW. Uang tidak banyak, tetapi tantangan dan risikonya besar. Banyak yang lebih memilih bekerja sebagai konsultan,” tuturnya.
Namun, ICW tidak patah arang. Solusi finansial untuk menghidupi organisasi, misalnya, tidak semata bertumpu pada dukungan dana dari lembaga donor. Sejak 2008, ICW mulai menggalang dana publik. Saat ini, ada lebih dari 200 donor individu yang membantu ICW setiap bulan.
ICW memastikan tidak ada agenda dari donor yang bertentangan dengan prinsip dan misi perjuangan ICW. Untuk meyakinkan hal itu, ICW setiap tahun membuka laporan keuangannya kepada publik. Cara ini juga untuk menunjukkan kepada donor bahwa setiap uang yang disumbangkan tidak disia-siakan.
Kemudian, untuk menguatkan kemandirian ICW, mulai 2012, ICW menjual jaket, kaus, topi, tas, dan barang-barang lain secara daring. ”Setiap bulan keuntungan dari penjualan itu sekitar Rp 30 juta, sedangkan pengeluaran sekitar Rp 200 juta. Karena itu, kami masih menerima pemasukan dari donatur,” ujar Adnan.
Baca juga : Demokrasi Mau ke Mana?
Adapun untuk mengatasi sulitnya merekrut orang untuk bergabung, jejaring senantiasa diperkuat. Saat menggelar kegiatan di luar kota, misalnya, ICW bekerja sama dengan lembaga lain. ICW juga merekatkan relasi dengan akademisi. Buah dari relasi ini, ICW sering mendapatkan bantuan pakar dari berbagai bidang yang mau berkontribusi secara sukarela.
Selain itu, dukungan dari lembaga pendidikan dan penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turut membantu keterbatasan sumber daya manusia yang ada pada ICW.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menambahkan, membuka jejaring ke kelompok-kelompok mahasiswa juga bagian dari strategi ICW untuk tetap eksis.
”Ketika kita kreatif membentuk banyak media untuk berkomunikasi dengan berbagai macam pihak, lintas kampus, ormas (organisasi kemasyarakatan), dan segala macam (organisasi). Mereka (pihak luar) juga merasa bahwa ada jembatan untuk masuk (ke dalam aktivitas organisasi masyarakat sipil),” katanya.
Baca juga : Kampus dan Masyarakat Sipil Kunci Masa Depan Antikorupsi
Dana publik
Selain ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pun menggalang dana publik untuk menopang operasional organisasi, juga gerakan sosial yang diinisiasi.
Saat kejadian salah tangkap dua pengamen atas tudingan pembunuhan di daerah Cipulir, Jakarta Selatan, tahun 2013, sebagai contoh, LBH Jakarta menginisiasi penggalangan dana untuk keduanya. Sekalipun kasus sudah lama berlalu, ketidakadilan yang mereka alami membuat pendidikan mereka terhambat sehingga mendorong LBH Jakarta untuk bergerak membantu.
Mereka menggunakan situs penggalangan dana publik kitabisa.com. ”Hanya dalam tiga hari terkumpul Rp 230 juta,” kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana.
Penggalangan dana publik juga jadi salah satu sumber dana untuk menopang kegiatan LBH Jakarta. Berdasarkan laporan keuangan LBH Jakarta yang diumumkan kepada publik, penggalangan dana publik hingga Oktober 2019 mencapai Rp 713 juta dari total Rp 7,2 miliar pemasukan LBH Jakarta.
Baca juga : Paradoks Demokrasi dan Sekolah Politisi
Meski demikian, pemasukan dari donor asing tetap yang tertinggi atau sebesar Rp 2,6 miliar, disusul penerimaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta Rp 2,1 miliar. Selain itu, LBH Jakarta memiliki komunitas Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan (Simpul) yang juga turut membantu menggalang dana publik untuk kebutuhan LBH Jakarta.
Sekalipun besar dana yang masuk dari donatur, tidak sembarangan orang bisa menyumbang. Menurut Arif, LBH Jakarta cukup ketat dalam membatasi donatur, seperti donatur tidak boleh koruptor dan tidak sedang terkena kasus yang sedang ditangani LBH Jakarta.
Lain lagi dengan Lokataru. Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan, dirinya berusaha memadukan antara lembaga bantuan hukum, yayasan, dan penelitian di bawah satu atap. Diharapkan bisa terjadi subsidi silang. Dalam membuat strategi subsidi silang itu, kasus-kasus yang diberi bantuan hukum banyak yang terdiri dari kelas menengah. Misalnya, serikat pekerja yang mengalami masalah industrial. ”Mereka kelas menengah dan profesional. Mereka bersedia membayar dengan bantuan hukum yang mereka terima,” ujar Haris.
Urunan alumni
Ujian finansial dan keanggotaan pun dihadapi oleh kelompok masyarakat sipil Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), yang juga lahir pasca-Reformasi. Jika sejak berdirinya JPPR masih mendapatkan sokongan pendanaan dari lembaga donor, sokongan itu berhenti tahun 2017. Mau tidak mau, JPPR harus memutar otak agar tetap eksis.
Baca juga : Kronisme di Era Demokrasi
Salah satu caranya, menurut Koordinator Nasional JPPR Alwan Ola Riantoby, dengan urunan dari ”alumni” JPPR. Hal lain yang membuat JPPR tetap eksis ialah kekuatan jaringan. Dia menceritakan, JPPR merupakan konsorsium yang terdiri atas sejumlah organisasi kemasyarakatan. Beberapa di antaranya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kekuatan jaringan pada dua organisasi besar keagamaan inilah yang menjadi penyokong sebagian kegiatan JPPR.
Strategi itu tidak berbeda dengan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Sekretaris Jenderal KIPP Kaka Suminta mengatakan, lembaganya mengandalkan dukungan para senior organisasi tersebut dalam bentuk finansial ataupun nonfinansial. Ditambah lagi dukungan sejumlah anggota KIPP di beberapa organisasi internasional.
Lain lagi dengan ICT Watch, organisasi masyarakat sipil yang fokus pada pembangunan kapasitas sumber daya manusia pada pengetahuan dan kemampuan literasi digital, ekspresi daring, dan tata kelola siber. Mulai bergerak tahun 2002, ICT Watch mencoba melahirkan program-program yang bisa memikat lembaga lain, pemerintah ataupun swasta, untuk bekerja sama.
”Kami buat program, lalu coba pasarkan. Misalnya kami bikin (program gerakan) literasi privasi,” ujar Koordinator Program ICT Watch Indriyatno Banyumurti.
Namun, menurut dia, tuntutan untuk menyeimbangkan antara visi dan misi organisasi dengan kebutuhan kapital guna memastikan keberlanjutan gerakan menjadi tantangan khusus. Untuk urusan tersebut, ICT Watch masih harus belajar.
Baca juga : Negarawan dan Demokrasi
Tetap muncul
Sekalipun pamor masyarakat sipil meredup, ditambah lagi beratnya tantangan dan ujian yang harus dihadapi, hal itu kenyataannya tidak lantas menyurutkan niat sebagian orang untuk tetap melahirkan organisasi masyarakat sipil.
Veri Junaidi beserta rekan-rekannya, misalnya, membuat Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, lima tahun lalu. Koordinator KoDe Inisiatif itu menceritakan, pada awal pembentukannya, lembaga memang mendapatkan bantuan dana dari lembaga donor asing. Namun, bantuan hanya bertahan enam bulan. Selebihnya mereka bertumpu pada kucuran dana dari kantor hukum yang mereka dirikan. Konsepnya, subsidi silang.
Meskipun jalannya tertatih-tatih, organisasi ini mampu melahirkan banyak kajian soal konstitusi, hukum, dan kepemiluan. Mereka tetap bertahan karena kuatnya keinginan untuk turut berkontribusi pada negara. Belakangan, niat itu terwujud, menepis keraguan sejumlah pihak bahwa isu demokrasi sebenarnya sudah matang, tak butuh didalami lagi.
Untuk menghindari konflik kepentingan, dilakukan pemisahan secara kelembagaan antara kantor hukum dan KoDe Inisiatif. Pemisahan ini juga dilakukan pada sisi manajemen dan keuangan.
Baca juga : Elemen Masyarakat Sipil Pantau Kampanye Rapat Umum
KoDe Inisiatif, menurut Veri, juga membuka ruang kepada peneliti-peneliti muda untuk berkarya. Luasnya ruang berekspresi membuat banyak yang tertarik bergabung sehingga hingga kini sudah ada tiga angkatan peneliti di KoDe Inisiatif sejak berdiri lima tahun lalu.
”Jadi kami sampaikan (kepada para peneliti) bahwa kalau dari finansial, enggak banyak yang bisa diperoleh dari KoDe. Tapi, di KoDe bisa mendapatkan ruang dan kesempatan lebih besar untuk bisa tampil di ruang publik,” ujarnya.
Baca juga : Demokrasi di Persimpangan Jalan
Sekalipun dihadapkan pada setumpuk ujian yang tidak ringan, masyarakat sipil diharapkan tetap kukuh menjadi salah satu pilar demokrasi. Tetap kritis dan independen, terutama di tengah sinyal kemunduran demokrasi yang kian menguat.