Praktik keberagamaan di Indonesia menjadi contoh bagi sikap moderasi beragama, khususnya bagi mayoritas Islam yang menerapkan cara berpikir dan bersikap yang sejalan dengan konsepsi Islam wasatiyah atau jalan tengah.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
Indonesia menggagas pertemuan tokoh-tokoh agama sedunia untuk membahas radikalisme dan ekstremisme, sekaligus mempromosikan Islam wasatiyah atau Islam jalan tengah.
JAKARTA, KOMPAS - Praktik keberagamaan di Indonesia menjadi contoh bagi sikap moderasi beragama, khususnya bagi mayoritas Islam yang menerapkan cara berpikir dan bersikap yang sejalan dengan konsepsi Islam wasatiyah atau jalan tengah. Indonesia ingin membawa semangat serupa di tataran global guna mewujudkan dunia yang lebih aman dan damai.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya di acara syukuran ulang tahun ke-65 Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Rabu (4/3/2020), di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, mengusulkan Indonesia menjadi tuan rumah bagi dilakukannya diskusi antartokoh dan ulama dari berbagai agama. Indonesia ingin berkontribusi dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi di dunia. Praktik Islam wasatiyah atau jalan tengah yang menjadi bentuk moderasi beragama di Indonesia ingin didiskusikan dan ditularkan semangatnya ke tingkat global.
Hadir pula dalam acara itu, Wapres ke-12 RI M Jusuf Kalla, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, cendekiawan Yudi Latif, Direktur Eksekutif Centre for Strategic International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, peneliti politik Saiful Mujani, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan mantan Sekum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Richard Daulay.
Menurut Wapres, selama ini Indonesia telah mempraktikkan Islam wasatiyah, yakni Islam jalan tengah yang menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam jalan tengah secara sederhana merupakan cara berpikir yang moderat, dinamis, tidak tekstual, tetapi tetap memiliki manhaj atau metodologi sehingga bukan berarti tanpa patokan.
”Di dalam gerakannya, Islam wasatiyah itu santun, tidak kasar, tidak galak, dan sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi. Selain itu, Islam wasatiyah mengajak orang dengan sukarela; tidak ada paksaan pada agama, apalagi dengan teror dan intimidasi”
”Di dalam gerakannya, Islam wasatiyah itu santun, tidak kasar, tidak galak, dan sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi. Selain itu, Islam wasatiyah mengajak orang dengan sukarela; tidak ada paksaan pada agama, apalagi dengan teror dan intimidasi,” tuturnya.
Islam wasatiyah pun telah menjadi isu global. Oleh karena itu, untuk membangun persaudaraan dan kondusivitas dunia, Indonesia bisa berinisiatif menggagas pertemuan para tokoh agama sedunia dengan tujuan menghilangkan radikalisme, ekstremisme, dan islamophobia. Di sisi lain, menurut Wapres, sikap jalan tengah itu juga mesti dimiliki umat beragama lain, tidak hanya Islam.
Namun, Wapres mengakui Indonesia juga menghadapi tantangan radikalisme dan ekstremisme. Pemerintah terus berupaya melakukan deradikalisasi dengan pendekatan yang santun dan manusiawi.
Politik global
Kalla mengatakan, moderasi beragama di Indonesia muncul sejak awal karena penyebaran Islam melalui saudagar yang merangkap sebagai ulama. Munculnya radikalisme di dunia Islam juga ditemui di dalam sejarah. Namun, pemicu lain munculnya radikalisme itu ialah dinamika politik global.
”Sumber radikalisme Al Qaeda dan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), misalnya, karena faktor politik global. Al Qaeda muncul karena ada negara gagal yang diserang negara besar. Kebijakan negara besar untuk menginvasi negara Islam itu menimbulkan radikalisme. Jadi, radikalisme itu muncul sebagai bentuk ketidakpuasan pada politik global,” kata Kalla.
"Kebijakan negara besar untuk menginvasi negara Islam itu menimbulkan radikalisme. Jadi, radikalisme itu muncul sebagai bentuk ketidakpuasan pada politik global”
Untuk mengatasi radikalisme dan ekstremisme, menurut Kalla, tidak hanya dengan menguatkan moderasi beragama, tetapi juga dengan membangun kesejahteraan atau perekonomian yang stabil. Tidak ada penyelesaian tunggal untuk mengatasi radikalisme.
Sementara Mu’ti mengatakan, Indonesia memiliki beberapa modal untuk mengembangkan Islam wasatiyah di dunia. Modal itu antara lain jumlah penduduk Muslim yang besar, ketaatan beragama warga yang tinggi, tradisi keilmuan yang kuat di pesantren, dan sistem politik yang relatif baik.
Richard mengatakan, moderasi beragama juga dilakukan oleh umat Kristen. Sebab, sejak masuk ke Indonesia, Kristen memiliki hubungan yang dekat dengan masyarakat adat sehingga muncullah gereja dengan basis kelompok adat yang kuat.
Dari sisi lain, Yudi menilai ketaatan beragama masyarakat harus diikuti kecerdasan dan literasi yang baik sehingga tetap bisa memunculkan inovasi.