Pemangku kepentingan harus bersatu melawan penyebaran virus korona di Tanah Air. Komunikasi yang terbuka dan jelas antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dibutuhkan untuk mencegah kepanikan publik.
Oleh
Anita Yossihara
·5 menit baca
Kaget, bingung, dan panik. Itulah yang dirasakan sebagian besar warga Indonesia begitu Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif terinveksi virus korona baru, Senin (2/3/2020). Kepanikan bertambah begitu tahu masker dan cairan pembersih tangan langka di pasaran. Kalaupun ada, harganya berkali lipat. Tak hanya bahan makanan, masker, dan cairan pembersih tangan, rempah-rempah juga menjadi buruan. Harganya pun melonjak.
Bisa jadi kepanikan berlebihan muncul karena dua bulan terakhir, masyarakat terpapar informasi penyebaran virus penyebab penyakit Covid-19 itu di Kota Wuhan, China. Tak sedikit video Wuhan yang mendadak seperti kota mati beredar luas di Indonesia lewat media sosial. Melalui berbagai video itu, masyarakat Indonesia melihat korban korona di Wuhan berjatuhan di jalanan.
Ketakutan pun bertambah karena selama ini publik cenderung tak melihat kesiapan pemerintah menghadapi korona di saat virus itu menyebar ke lebih dari 50 negara. Padahal, Indonesia punya hubungan bisnis, perdagangan, serta tenaga kerja yang relatif terbuka dengan China, episentrum wabah Covid-19.
Dewan Pakar Ahli Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra dalam bincang-bincang Satu Meja di Kompas TV, Rabu (4/3/2020) malam, mengungkapkan, keputusan Presiden Jokowi mengumumkan sendiri kejadian positif korona itu juga ditengarai jadi pemicu kepanikan. ”Saat dunia bertanya-tanya kenapa di Indonesia belum ditemukan korona, Presiden Jokowi mengumumkan langsung ketika terkonfirmasi ada dua warga positif korona. Hal itu seolah-olah adalah hal luar biasa sehingga Presiden Jokowi yang harus turun tangan,” katanya.
Diskusi bertajuk ”Perang Melawan Korona” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga menghadirkan Juru Bicara Penanganan Korona Achmad Yurianto, Pelaksana Tugas Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Subandrio, Sekjen Palang Merah Indonesia Sudirman Said, dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Suryadi Sasmita.
Sebenarnya, sejak awal, Presiden Jokowi menyampaikan, pemerintah siap menghadapi korona. Tak hanya 100 rumah sakit dengan ruang isolasi berstandar baik, tetapi juga peralatan dan sumber daya memadai. Standar operasional penanganan yang sesuai ketentuan internasional juga dimiliki. Anggaran disiapkan.
Karena itu, sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat tetap tenang, tak perlu memborong, apalagi menimbun bahan makanan. ”Masyarakat tak perlu borong kebutuhan yang justru bikin langka. Pemerintah menjamin ketersediaan barang-barang dan obat-obatan,” kata Presiden Jokowi saat memberi keterangan di beranda belakang Istana Merdeka, 3 Maret 2020.
Namun, imbauan itu tak digubris. Aksi borong bahan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan lain terjadi. Suryadi menduga kepanikan disebabkan masyarakat melihat kurangnya persiapan pemerintah. Masyarakat tak mendapat informasi jelas soal pencegahan serta penanggulangan korona.
Subandrio juga melihat masyarakat masih belum mendapatkan informasi yang benar terkait korona. Ketidakpastian informasi itulah yang mengakibatkan masyarakat mengamankan diri dengan memborong bahan makanan dan obat-obatan.
Problem komunikasi
Pemerintah sebenarnya tak tinggal diam begitu korona mewabah di Wuhan dan merembet ke banyak negara. Saat didesak mengevakuasi warga negara Indonesia di Wuhan serta WNI yang menjadi anak buah kapal pesiar Diamond Princess yang sandar di Jepang, Jokowi berkali-kali menyampaikan, pemerintah perlu melakukan perhitungan cermat. Prinsip kehati-hatian diterapkan karena pemerintah juga memprioritaskan perlindungan terhadap 267 juta jiwa penduduk Indonesia.
Yurianto melihat kehati-hatian pemerintah itulah yang menyebabkan banyak kalangan, termasuk media, menuduh pemerintah lamban menangani korona. Pandangan serta tuduhan itulah yang sejak awal tak diantisipasi akibat problem komunikasi.
”Saat akan jemput ABK kapal, tidak secepat itu kita pindahkan. Kita berpikir harus memberikan ruang, kondisi terbaik, bukan hanya untuk anak buah kapal, melainkan juga 267 juta penduduk Indonesia. Kehati-hatian inilah yang memberikan ruang kosong yang membuat media mengartikan berbagai tafsir. Inilah yang terlambat kami antisipasi sehingga hoaks jadi liar,” tuturnya.
Pemerintah juga punya pedoman penanganan wabah dan pandemi global, termasuk korona, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. Melalui inpres itu, Presiden membagi tugas kepada tiap kementerian/lembaga untuk menanggulangi pandemi.
Tak hanya itu, menurut Yurianto, pemerintah juga memantau warga yang rawan terpapar korona. Pemerintah memberikan kartu kewaspadaan kesehatan kepada warga asing dan WNI yang pulang dari negara terpapar korona. ”Termasuk jemaah yang pulang umrah juga kami berikan kartu kewaspadaan kesehatan. Kami beri tahu mereka, selama 14 hari di Indonesia, kalau ada keluhan influenza sedang ataupun berat, mereka harus ke pusat kesehatan terdekat dengan membawa kartu itu,” tuturnya.
Sayang, upaya pemerintah tidak terkomunikasi dengan baik ke publik. Bahkan, sampai saat ini, belum terlihat kampanye berisi pedoman tentang apa yang harus dilakukan warga dan juga pemerintah daerah jika ada kasus korona.
Problem komunikasi juga diakui Abetnego. Persoalan itu tak hanya terjadi antara pemerintah dan masyarakat, juga antara kementerian dan pemerintah daerah. Itu terbukti dari reaksi berlebihan kepala daerah menghadapi kasus positif korona. ”Salah satu tantangan kita, bagaimana informasi hadir di masyarakat,” ujarnya.
Persoalan tugas dan fungsi tiap kementerian serta pemda sebenarnya diatur dalam Inpres No 4/2019. Untung, pemerintah cepat menyadari dan berupaya memperbaiki ketimpangan komunikasi. Pusat krisis yang dipimpin langsung Presiden Jokowi dibentuk. Pemerintah juga menunjuk Yurianto, Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, sebagai juru bicara yang akan menyampaikan perkembangan kasus korona dua kali sehari.
Sayang, upaya pemerintah tidak terkomunikasi dengan baik kepada publik. Bahkan, sampai saat ini, belum terlihat kampanye berisi pedoman tentang apa yang harus dilakukan warga dan juga pemerintah daerah jika ada kasus korona.
Empat protokol penanggulangan korona, yakni kesehatan, pendidikan, keimigrasian, serta untuk lembaga pendidikan dan keagaman, disiapkan. Semuanya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun, apa pun upaya pemerintah tak akan cukup jika harus sendirian menghadapi korona. Yurianto menyebut perlu kerja sama berbagai pemangku kepentingan.
Hermawan menyatakan, kolaborasi, mulai dari pusat, provinsi, kecamatan, kelurahan, hingga rukun warga dan rukun tetangga, dibutuhkan tak hanya untuk mengendalikan korona, tetapi juga mencegah kepanikan. Edukasi apa dan bagaimana jika terjadi dugaan korona harus diberikan kepada jajaran pemerintah dan masyarakat.
Kini, saat korona di depan mata, bukan waktunya lagi saling menuding dan menyalahkan. Semuanya harus bersatu, bahu-membahu menghadapi. Sebab, korona tak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, tetapi juga merusak perekonomian bangsa. Mari bersatu melawan korona!