Masyarakat Sipil Perlu Terus Menyesuaikan Diri Agar Makin Kuat
Sebagian gerakan masyarakat sipil masih menerapkan model gerakan sebelum reformasi. Padahal, sudah banyak faktor berubah. Masyarakat sipil perlu beradaptasi dengan perubahan dan memperkuat narasi yang digaungkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN INGKI RINALDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kendati keberadaan masyarakat sipil, terutama lembaga swadaya masyarakat, penting untuk mengawasi pemerintahan, isu yang mereka suarakan dinilai belum sepenuhnya mewakili kepentingan masyarakat. Selain harus memperkuat narasi isu agar lebih relevan dengan publik, masyarakat sipil juga perlu mengevaluasi gerakan agar sesuai dengan tantangan terkini.
Gambaran tersebut muncul dari otokritik sejumlah pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ditemui Kompas dan dari jajak pendapat Litbang Kompas, akhir Februari 2020. Sebanyak 51,4 persen responden menganggap isu yang disuarakan LSM saat ini belum mewakili kepentingan masyarakat umum. Namun, 86,3 persen responden menganggap gerakan masyarakat sipil dibutuhkan untuk mengawasi kinerja pemerintah.
Masyarakat sipil merupakan kelompok terorganisasi dengan nilai tertentu yang otonom dari negara. Hal itu misalnya LSM, gerakan mahasiswa, dan organisasi masyarakat keagamaan.
Dari sisi isu yang dianggap paling dibutuhkan, jajak pendapat memotret generasi milenial (usia 17-30) paling banyak memilih hak asasi manusia. Sementara segmen usia milenial matang (31-40), generasi X (41-52), dan baby boomers (di atas 52) terbanyak memilih isu pemberantasan korupsi.
Penasihat Demokrasi Inklusif dan Kepemiluan Kemitraan, Wahidah Syuaib, Kamis (5/3/2020), menuturkan, LSM berusaha mendengarkan isu-isu dari masyarakat dan tema yang terkait dengan kepentingan orang banyak. Selama ini, masyarakat sipil bergerak dengan melihat realitas di masyarakat. Pegiat LSM, misalnya, menemui komunitas yang terdampak langsung atas suatu isu dan kebijakan publik, seperti petani, nelayan, dan perempuan.
”Memang, dalam gerakan terbatas anggaran sehingga tak bisa menyentuh semua daerah. Namun, di tengah keterbatasan itu, masyarakat sipil berupaya optimal,” ujarnya.
Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) yang juga pendiri Lokataru, mengingatkan, sebagian gerakan masyarakat sipil masih menerapkan model gerakan sebelum reformasi. Padahal, sudah banyak faktor berubah, yakni pendanaan dan munculnya teknologi informasi.
Oleh karena itu, menurut Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi, masyarakat sipil juga perlu menyesuaikan diri dengan tantangan terkini. Sebagian pendanaan eksternal kemungkinan tak akan ada lagi. Selain itu, ada pula kecenderungan tuntutan berkolaborasi alih-alih berhadapan dengan negara. Selain itu, juga ada sebagian generasi muda yang tak merasakan rezim Orde Baru. ”Memang harus melakukan perubahan-perubahan agenda ke depan,” ujar Veri.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mendorong penggerak masyarakat sipil untuk mencari alternatif baru gerakan. Ini penting agar masyarakat bisa menilai seberapa serius organisasi masyarakat sipil di tengah tekanan negara yang cenderung menguat. Penguatan ini terlihat dari desain besar stabilitas politik dan efisiensi serta percepatan pembangunan ekonomi yang disusun secara top down.
Meski demikian, Direktur Smeru Research Institute Wijayanti menilai, masih ada ruang kerja sama pemerintah dan masyarakat sipil. Pemerintah biasanya lebih terbuka asalkan LSM bisa menyajikan data meyakinkan.
Menurut dia, masukan yang disampaikan sebagian LSM sering tak proporsional. Alih-alih mengajukan data kepada pemerintah, mereka lebih banyak bernarasi yang sifatnya ideologis. Kasus-kasus sering kali digunakan untuk menggeneralisasi masalah dan analisis yang disampaikan kadang tidak mendalam. Dia juga menilai, ada proses adaptasi masyarakat sipil yang menjanjikan belakangan ini.
Sementara itu, dari sisi pendanaan, Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mendorong pendanaan abadi bagi masyarakat sipil. Dana itu bisa berasal dari anggaran negara, dana pertanggungjawaban sosial perusahaan swasta, atau filantropi.
”Saya yakin, kalau ada kesepakatan bersama, dana itu bisa diupayakan perolehannya dari mana. Sejak saya menjadi anggota KPU, dana abadi untuk demokrasi itu pernah saya sampaikan. Pada prinsipnya Bappenas ketika itu setuju, tetapi Kemendagri belum bersikap sehingga belum ada realisasi. Idealnya memang dana abadi itu dianggarkan di dalam APBN,” tutur Ramlan.
Dana ini sebaiknya dikelola lembaga khusus yang diisi pengawas dari pemerintah, swasta, atau perwakilan LSM. Untuk menjamin pengelolaannya profesional, lembaga itulah yang menilai apakah suatu proposal kegiatan atau partisipasi publik dalam pengawasan dan pemantauan suatu pembuatan kebijakan layak didanai ataukah tidak.
”Supaya penilaiannya obyektif, yang mengambil keputusan tentang pengalokasian dana abadi itu ialah orang-orang yang memang profesional di bidang tersebut,” katanya.
Persoalan dalam dunia masyarakat sipil tidak semata-mata anggaran. Kendati demikian, ketersediaan anggaran ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak jika ingin jalannya demokratisasi di Tanah Air berlangsung berkelanjutan. Menurut Ramlan, saat ini lembaga dan negara donor masih menaruh perhatian pada isu lingkungan hidup, seperti dari negara-negara Skandinavia. Namun, praktis untuk isu-isu lain, seperti demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, dananya terbatas sekali, bahkan sudah berhenti.
”Saya kerap menyampaikan kepada teman-teman dari luar negeri bahwa justru Indonesia saat ini sangat memerlukan pendanaan bagi gerakan masyarakat sipil. Demokrasi kita saat ini dikendalikan oleh parpol dan pemerintah, dan itu tidak sehat, karena organisasi masyarakat sipil kurang berperan. Perlu digaungkan kembali supaya demokrasi, yang dalam praktiknya ialah pembuatan kebijakan untuk kepentingan publik, tidak hanya melibatkan parpol di DPR dan pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, sektor privat, dan masyarakat pada umumnya,” kata Ramlan.