Sejumlah pasal di dalam RUU Cipta Kerja berpotensi dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena inkonstitusional. Beberapa pasal diantaranya berisi norma yang telah dibatalkan oleh peradilan konstitusi tersebut.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat diminta mencermati sejumlah pasal di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang berpotensi melanggar konstitusi karena tidak memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Di dalam RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law itu, sedikitnya ada 31 putusan MK yang belum atau masih sebagian diatur di dalam RUU Cipta Kerja, sehingga pasal-pasal yang belum mengatur ketentuan itu berpotensi inkonstitusional dan melanggar hak warga negara.
Kajian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif terhadap pasal-pasal di dalam draf RUU Cipta Kerja menemukan sedikitnya 21 putusan MK yang tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, 4 putusan baru ditindaklanjuti sebagian, dan 7 putusan MK tidak dipatuhi karena menghidupkan pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK. Dari rincian itu, terdapat 1 putusan yang masuk ke dalam dua kategori, yakni dipatuhi sebagian, dan menghidupkan kembali pasal yang dibatalkan oleh MK, sehingga total terhitung ada 31 putusan.
Dalam diskusi yang digelar KoDe Inisiatif, Kamis (5/3/2020) di Jakarta, peneliti KoDe Inisiatif Rahma Mutiara menyebutkan sejumlah pasal yang telah diberi tafsir ulang oleh MK ternyata dihapus di dalam RUU Cipta Kerja. Dengan demikian, tafsir MK tersebut menjadi tidak berlaku atau tidak dilaksanakan karena dihapus di dalam RUU Cipta Kerja. Ketentuan yang paling banyak dihapus ialah di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain di dalam Pasal 169 Ayat (1) huruf c, Pasal 164 Ayat (3), Pasal 155 Ayat (2), dan Pasal 90 Ayat (2).
“Pasal 169 Ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan, misalnya, ditafsirkan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu. Namun, pasal ini dihapus, sehingga selanjutnya buruh tidak dapat mengajukan PHK bila perusahaan tidak memenuhi kewajibannya,” kata Rahma.
Diskusi dihadiri pula oleh pengajar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura, Direktur Eksekutif Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah, dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi Ikhsan Raharjo.
Rahma mengatakan, penghapusan pasal-pasal yang telah diberi tafsir oleh MK berpotensi inkonstitusional karena ada pemaknaan berdasar konstitusi yang bertujuan untuk melindungi warga negara di dalam pasal-pasal itu. Dengan dihapus di dalam RUU Cipta Kerja, tafsir MK untuk melindungi hak warga negara itu berpotensi hilang, karena ketentuan yang sama tidak diatur kembali di dalam UU yang baru. Hal itu pun dapat dimaknai sebagai pengabaian atas tafsir atau putusan MK.
Kritik juga diberikan KoDe Inisiatif terhadap 4 putusan MK yang baru dipatuhi sebagian oleh pemerintah di dalam draf RUU Cipta Kerja. Salah satunya ialah putusan nomor 27/PUU-IX/2011 yang memutus uji materi terhadap UU Ketenagakerjaan. Frasa “perjanjinan kerja waktu tertentu” di dalam Pasal 65 Ayat 7 dan Pasal 66 Ayat (2) huruf b dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Namun, putusan MK itu hanya dipatuhi sebagian, karena Pasal 65 Ayat (7) dihapus dari RUU Cipta Kerja, dan Pasal 66 Ayat (2) huruf b diubah dalam Pasal 89 angka 18 RUU Cipta Kerja tanpa mengikuti arahan dalam putusan MK.
“Dengan Pasal 65 Ayat 7 dihapus, maka syarat-syarat pekerja outsourcing yang ditafsirkan oleh MK menjadi hilang. Bila pasal ini dihapus, maka menjadi tidak ada lagi pembatasan terhadap jenis-jenis pekerjaan yang bisa ditangani oleh tenaga outsourcing. Hal ini berpotensi membuka tafsir kebebasan bagi perusahaan untuk merekrut tenaga outsourcing di berbagai jenis pekerjaan, pasal yang mengatur soal itu dihapus di RUU Cipta Kerja,” kata Rahma.
Dari sisi pekerja media dan industri kreatif, Ikhsan menyoroti secara garis besar substansi RUU Cipta Kerja itu membuka lebih banyak tenaga kerja murah, dengan sistem outsourcing. Sebab, selain aturan atau batasan jenis pekerjaan outsourcing dihapus, draf RUU itu juga tidak mengatur batas waktu pekerja kontrak.
“Hal ini menimbulkan job insecurity (ketidakamanan bekerja), karena pekerja tidak mengetahui sampai kapan ia berstatus kontrak. Hal ini menjadi kurang berpihak kepada pekerja, karena mereka tidak bisa merencanakan kehidupannya dengan kondisi yang tidak pasti itu,” katanya.
Hal ini menimbulkan job insecurity (ketidakamanan bekerja), karena pekerja tidak mengetahui sampai kapan ia berstatus kontrak. Hal ini menjadi kurang berpihak kepada pekerja, karena mereka tidak bisa merencanakan kehidupannya dengan kondisi yang tidak pasti itu
Menurut Maryati, RUU Cipta Kerja harus dibaca secara kritis, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebab, banyak pengaturan perizinan pengelolaan sumber daya alam yang dulunya berada di tangan daerah, kini diambil alih oleh pemerintah pusat. Kondisi ini berpotensi merusak kohesi hubungan antara pusat dan daerah.
"Keluhannya ialah kalau izin yang mengeluarkan pemerintah daerah, izinnya lebih lama keluar, sehingga diambil alih oleh pusat. Ini tentu tidak bisa dilihat sesederhana itu, karena mesti dinilai dulu apa yang menyebabkan daerah tidak segera mengeluarkan izin. Apakah karena syarat-syarat belum dipenuhi, atau karena hal lain. Sentralisasi tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah,” kata Maryati.
Tidak sesuai aturan
Dari kacamata pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Charles, RUU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan di dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keterbukaan menjadi catatan paling menonjol, selain juga mekanisme perubahan, pencabutan, dan perbaikan norma yang dilakukan dengan metode omnibus law tersebut.
“RUU ini tidak jelas apakah mencabut, mengubah, atau memperbaiki suatu UU, karena metodenya tidak mengikuti sebagaimana diatur di dalam UU No 12/2011. Selama ini yang kita kenal menurut UU 12/2011 ialah kodifikasi, yakni penggabungan beberapa UU dalam satu tema menjadi satu UU. Syaratnya ialah UU yang lama menjadi tidak berlaku lagi. Namun, dengan omnibus law ini, UU lama tetap berlaku bila pasalnya tidak diatur atau diubah, maupun dihapus di dalam UU yang baru,” kata Charles.
Mengenai potensi inkonstitusionalitas norma-norma di dalam RUU Cipta Kerja, bisa saja publik nantinya mengajukan kembali ke MK bila norma itu diloloskan oleh DPR. Namun, seharusnya sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tanggung jawab moral untuk mengecek, dan mengawal satu per satu isi RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
“DPR jangan mau menjadi bemper pemerintah dengan draf RUU yang semacam ini. Sebaiknya draf dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki sebelum dibahas oleh DPR,” katanya.
Sementara itu, pembahasan RUU Cipta Kerja oleh DPR belum dapat dilakukan karena saat ini DPR memasuki masa reses. Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani mengatakan, fraksinya akan membahas RUU Cipta Kerja ini secara kritis.
“Kita betul-betul akan mencemati mana yang dikhawatirkan oleh teman-teman serikat pekerja dan mana yang sebetulnya keinginan pemerintah ingin membangun transformasi struktural, kemudian juga memperbaiki iklim investasi. Tentu jangan sampai mendegradasi kehidupan dan kesejahteraan buruh, itu kan prinsipnya begitu,” katanya.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya membentuk tim-tim kecil di kluster ketenagakerjaan untuk menyerap aspirasi pekerja. Harapannya, pekerja tidak sekadar menolak, tetapi juga memberikan solusi atas substansi RUU Cipta Kerja tersebut.