Teror di Freeport dan Problem Papua
Teror penembakan kembali terjadi di area PT Freeport Indonesia. Teror menyiratkan problem Papua yang belum juga terselesaikan.
Awalnya, jawaban dari wawancara dengan Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw di Bandara Mozes Kilangin, Timika, Mimika, Papua, Rabu (4/3/2020) sore, disangka akan biasa-biasa saja. Kapolda akan menyatakan Papua aman selama kunjungan pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Namun, ternyata, kabar mengejutkan disampaikannya.
”Di Mil 69 jalur akses menuju Grasberg, sekitar pukul 09.00, mereka hanya membunyikan tiga kali (tembakan). Kemudian hasil monitoring, mereka sudah tidak di situ lagi,” kata Kapolda.
Mereka merujuk pada kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang biasa melakukan teror di jalur akses menuju tambang Grasberg milik PT Freeport Indonesia di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Menurut Kapolda, KKB yang beraksi pagi itu berada di bawah pimpinan ”Jony Botak” dan Lekagak Telenggen.
Padahal, pagi itu, rombongan pimpinan MPR/DPR/DPD bersama wartawan melalui jalan yang sama tempat bunyi tembakan terdengar saat hendak menuju ke Grasberg. Rombongan tiba di Grasberg sekitar pukul 09.00 WIT. Adapun Mil 69 berjarak sekitar satu jam dari Grasberg. Jadi ,ada kemungkinan KKB menembakkan senjatanya saat rombongan sudah tiba di Grasberg.
Sepanjang jalan sejak berangkat dari Timika, Kabupaten Mimika, tidak ada yang mendengar suara tembakan. Perjalanan lancar, tak ada yang menduga akan ada aksi dari KKB.
Meski demikian, perjalanan bisa dibilang bukan perjalanan yang ”menenangkan”. Bus yang digunakan rombongan adalah bus lapis baja. Bus telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga atap dan sisi-sisinya dilapisi baja. Bagian dalam bus gelap karena pelapis baja menutup sebagian besar jendela.
Kendaraan lapis baja biasa digunakan di jalur itu. Tak lain karena insiden penembakan yang berulang kali terjadi. Dari belantara hutan yang mengapit jalan, tembakan sengaja diarahkan pada kendaraan yang melintas. Sekalipun sudah dilapisi baja, peluru tetap bisa menusuk masuk melalui jendela. Korban dari penembakan ini sudah tak terhitung jumlahnya.
Menurut Kapolda, wilayah tempat penembakan terdengar berada di bawah penguasaan Jony ”Botak” dan Lekagak Telenggen.
Baca juga: Jalan Menuju Damai Papua
Penembakan ditengarai sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi. ”Mereka katakanlah ingin menunjukkan keadaan mereka. Kalau bahasa kita, itu tanda-tanda,” tuturnya.
Kekhawatiran KKB akan beraksi saat kunjungan pimpinan MPR, DPR, dan DPD, menurut Kapolda, sudah muncul sebelum rombongan tiba. Apalagi, sebelumnya, ada upaya dari KKB masuk sampai ke kampung-kampung di Tembagapura. Namun, karena pimpinan legislatif itu tetap berkeinginan ke lokasi tambang Freeport, menjadi kewajiban kepolisian dan TNI untuk mengamankannya.
Kapolda pun berjanji akan mengejar para pelaku penembakan tersebut. ”Mereka serius, kami juga akan melakukan upaya untuk menekan mereka. Kami kejar terus,” tegasnya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo sebagai pimpinan rombongan mengatakan, semula pihak keamanan telah merekomendasikan agar perjalanan ke Freeport ditunda. Namun, rombongan memutuskan perjalanan tak boleh ditunda hanya karena ada ancaman dari KKB.
Ke Freeport, para wakil rakyat itu ingin melihat aktivitas penambangan pasca-divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah. Tak hanya itu, mereka ingin memastikan divestasi membawa kemakmuran bagi Papua. ”Jangan sampai melimpahnya sumber daya alam bangsa kita, khususnya Papua, malah justru dirundung kemiskinan,” ujarnya.
Kunjungan ke Freeport merupakan hari terakhir dari dua hari kunjungan kerja pimpinan MPR/DPR/DPD ke Papua, Selasa (3/3/2020) hingga Rabu (4/3/2020). Sebelumnya, mereka ke Jayapura untuk melihat persiapan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua yang akan digelar pada Oktober mendatang. Mereka juga ke Wamena untuk melihat proses rekonstruksi oleh pemerintah pasca-kerusuhan yang terjadi, akhir September 2019.
Di salah satu hotel di Wamena, pimpinan legislatif itu menandatangani piagam ikrar kebangsaan bersama sejumlah pimpinan daerah. Ikrar itu berisi janji untuk terus berupaya menghadirkan solusi komprehensif bagi masa depan tanah Papua. Solusi dijanjikan berlandaskan keadilan, kesejahteraan, dan kebudayaan.
Kunjungan pimpinan MPR, DPR, dan DPD tersebut dibangga-banggakan karena disebut telah mencetak sejarah. ”Untuk pertama kali, bersama-sama melakukan kunjungan kerja ke berbagai wilayah di Papua,” kata Bambang.
Kunjungan diklaim untuk menunjukkan perhatian wakil rakyat pada Papua. Selain itu, dari kunjungan, mereka berkeinginan menyerap aspirasi masyarakat Papua dalam upaya mencari solusi yang komprehensif bagi persoalan-persoalan Papua. Solusi yang disusun itu kelak akan disampaikan kepada pemerintah.
Namun, sayangnya, selama dua hari kunjungan, tak terlihat para wakil rakyat bertemu langsung masyarakat Papua, apalagi mendengarkan aspirasi mereka. Aspirasi yang diserap hanya dari pejabat-pejabat daerah di lokasi mereka berkunjung.
Hal ini, menurut peneliti pada Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, seperti mengulang kebiasaan kebanyakan kunjungan pejabat pusat selama ini. Sebatas formalitas dan tidak pernah bertemu dan mendengarkan langsung keinginan orang Papua.
Jika memang ingin menyerap aspirasi orang Papua, seharusnya para pejabat pusat menemui langsung masyarakat Papua di tempat mereka tinggal di rumah-rumah adat Papua atau honai.
”Rumah adat ini menjadi simbol eksistensi dari masyarakat adat Papua. Dari situ mereka bisa berbicara dari hati ke hati,” ujarnya.
Ketidakadilan
Imbas dari tidak didengarnya suara orang Papua itu lantas memunculkan perasaan ketidakadilan. Kemudian, perasaan itu yang salah satunya disalurkan dengan tidak henti-hentinya memberontak.
Cahyo menilai, penembakan yang berulang di Freeport dan aksi KKB yang juga berulang di sejumlah tempat lain di Papua sebenarnya wujud dari kekecewaan masyarakat Papua karena suaranya tidak didengar.
Pembangunan yang masif di Papua pasca-Orde Baru, dan kian intensif semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurut Cahyo, belum cukup untuk mengobati luka hati orang Papua itu. Apalagi yang mengambil manfaat dari pembangunan tersebut bukan orang Papua. Orang Papua sendiri hanya menjadi penonton.
Kondisi itu justru membuat luka hati orang Papua kian menganga karena dari total Rp 126,99 triliun dana otonomi khusus yang dikucurkan sejak 2002, Papua dan Papua Barat tetap saja masuk provinsi termiskin setiap tahunnya.
Baca juga: Dialog untuk Papua Damai
Peneliti senior LIPI, Adriana Elisabeth, menekankan, cara paling ampuh menyelesaikan persoalan Papua, termasuk di dalamnya memutus kekerasan, adalah dengan membuka dialog dengan masyarakat Papua.
”Dialog tersebut sebuah pendekatan baru yang harus dilakukan untuk Papua. Setiap persoalan harus diselesaikan tanpa kekerasan,” ujarnya.
Kalau justru pendekatan kekerasan yang ditempuh, yang muncul kemudian hanya kekerasan baru.
”Itu akan menjadi siklus kekerasan yang tak bisa berhenti,” ujarnya.