Kebebasan Sipil Menopang Demokrasi
Gerakan mahasiswa yang sebelumnya dinilai cenderung tak lagi garang saat itu tiba-tiba tampil kembali. Kehadiran gerakan mahasiswa seakan jadi angin segar bagi hadirnya gerakan sosial di kalangan masyarakat sipil.
Kekuatan gerakan masyarakat sipil menjadi salah satu pilar penopang demokrasi. Namun, dua dekade terakhir, pilar tersebut cenderung menurun seiring proses elektoral yang kompetitif dan menguras energi.
Kasus terakhir yang memicu lahirnya gerakan masyarakat sipil yang masif adalah terkait penolakan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir tahun lalu. Gerakan mahasiswa yang sebelumnya dinilai cenderung tak lagi garang saat itu tiba-tiba tampil kembali. Kehadiran gerakan mahasiswa seakan jadi angin segar bagi hadirnya gerakan sosial di kalangan masyarakat sipil. Sayangnya, aksi ini tak mampu meredam hasrat Parlemen dan pemerintah merevisi Undang-Undang KPK.
Praktis, setelah perubahan UU yang sebagian besar mengubah kewenangan KPK, gerakan sosial masyarakat sipil, terutama yang dimotori mahasiswa, cenderung stagnan. Meredupnya gerakan masyarakat sipil, bahkan sampai mencuatnya sejumlah kasus di KPK, belum juga memicu gerakan sipil bergerak. Sebut saja mulai dari kasus penyuapan komisioner KPU yang salah satu tersangkanya masih buron, kasus suap yang melibatkan mantan sekretaris MA, sampai pada polemik pembahasan RUU Cipta Kerja. Sejauh ini, ketiga isu ini tampaknya masih belum memicu reaksi gerakan masyarakat sipil yang masif.
Baca Juga: Stagnasi Masyarakat Sipil
Padahal, sejarah merekam bagaimana gerakan masyarakat sipil, terutama yang dimotori gerakan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, selama ini menjadi motor penggerak perubahan. Dalam sejarah gerakan reformasi 22 tahun silam, gerakan masyarakat sipil mengukir sejarah panjang lahirnya proses demokratisasi. Sejarah mencatat, jauh sebelum reformasi 1998 lahir, gerakan-gerakan masyarakat sipil, terutama yang dimotori mahasiswa, sudah melakukan konsolidasi.
"Dalam sejarah gerakan reformasi 22 tahun silam, gerakan masyarakat sipil mengukir sejarah panjang lahirnya proses demokratisasi. Sejarah mencatat, jauh sebelum reformasi 1998 lahir, gerakan-gerakan masyarakat sipil, terutama yang dimotori mahasiswa, sudah melakukan konsolidasi"
Proses transisi pemerintahan dari Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto ke BJ Habibie, misalnya, memberikan ruang bagi bangsa ini membangun kerangka demokratisasi. Sejumlah legacy penting lahir sebagai pintu demokrasi di periode Habibie. Mulai dari pemilu yang dipercepat, pembatasan masa jabatan presiden, kebebasan pers, sampai dibebaskannya tahanan politik yang sepanjang periode Orde Baru menjadi korban kejahatan politik negara. Tak heran jika kemudian disebutkan, di periode Habibie inilah bibit sistem demokrasi tumbuh.
Organisasi masyarakat sipil
Demokrasi ini pula yang menjadi lahan subur bagi kemunculan dan perkembangan organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Tanpa rezim demokratis yang memberikan kebebasan bagi rakyat, kemunculan dan perkembangan organisasi masyarakat sipil mustahil terjadi. Organisasi masyarakat sipil mengambil peran menggarap isu-isu tertentu ketika aktor pemerintah, swasta, apalagi partai politik, dihadapkan pada batasan yang mempersempit ruang gerak dan kepentingannya. Organisasi masyarakat sipil justru hadir dan berfungsi sebagai elemen kritis pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan publik dan menjunjung tinggi nilai dan norma demokrasi.
Kepentingan publik pun berkutat pada persoalan keadilan. Merujuk hasil jajak pendapat Kompas pada pekan lalu, ada tiga persoalan atau isu yang paling mendesak digarap oleh gerakan masyarakat sipil. Ketiganya adalah pemberantasan korupsi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum. Ketiga hal ini sebenarnya sejalan dengan pekerjaan rumah yang sepanjang dua dekade agenda reformasi ini masih belum dapat dituntaskan. Pemberantasan korupsi menjadi satu agenda yang diamanahkan oleh gerakan reformasi 1998. Revisi terhadap UU KPK sedikit banyak membuat publik khawatir dengan agenda pemberantasan korupsi yang bisa menjadi mundur.
Kasus Harun Masiku, buronnya bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, dan penghentian 36 perkara di KPK akan mengundang sorotan publik terhadap KPK.
Selain korupsi, agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sampai hari ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi negara, termasuk juga agenda reformasi hukum yang menjadi sorotan publik.
Upaya pemerintah mengajukan RUU Cipta Kerja cenderung memicu perdebatan publik, terutama terkait perubahan aturan soal kesejahteraan pekerja. Isu-isu ini tentu membutuhkan pengawalan yang serius oleh publik dan organisasi masyarakat sipil, termasuk mahasiswa. Mereka memiliki potensi untuk mengawalnya meskipun kondisi saat ini peran dan kekuatan mereka cenderung stagnan.
Stagnasi ini pun tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas yang digambarkan disebabkan oleh tiga hal, yakni keterbelahan sosial akibat pilihan politik yang berbeda di masyarakat, fenomena media sosial yang turut memperkuat keterbelahan tersebut, dan terakomodasinya tokoh-tokoh dari gerakan organisasi masyarakat sipil yang masuk dalam kekuasaan. Tokoh-tokoh yang dimaksud sebagian adalah intelektual yang selama ini aktif bergerak secara akademis memperkuat gerakan-gerakan masyarakat sipil.
Demokrasi cacat
Meminjam analisis Airlangga Pribadi dalam The Vortex of Power, Intellectuals and Politics In Indonesia’s Post-Authoritarian Era (2019), intelektual yang tersedot dalam pusaran kekuasaan menjadi problematik karena kegagalan mereka untuk menavigasi pengelolaan negara di jalur penguatan akuntabilitas kekuasaan, perlindungan atas demokrasi, dan menjaga keseimbangan agenda publik dan pasar.
”Kondisi ini berjalan di tengah dominasi kekuatan oligarki dalam arena politik yang mereka gunakan untuk membelokkan arah negara menuju pemenuhan agenda-agenda bisnis dan politik dari masing-masing kelompok mereka sendiri”
”Kondisi ini berjalan di tengah dominasi kekuatan oligarki dalam arena politik yang mereka gunakan untuk membelokkan arah negara menuju pemenuhan agenda-agenda bisnis dan politik dari masing-masing kelompok mereka sendiri,” ungkap Airlangga. Tentu hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masa depan harapan masyarakat sipil.
Kekhawatiran ini juga tergambar dari kecenderungan merosotnya iklim demokrasi Indonesia yang dimuat The Economist Intellegence Unit (EIU). Secara umum, skor Indonesia mencapai 6,48 poin dan berada di peringkat ke-64 dari 167 negara yang disurvei. Dengan skor tersebut, kategori demokrasi Indonesia masuk ke dalam demokrasi cacat (flawed democracy). Kebebasan sipil tercatat terendah di antara indikator lainnya. Nilai kebebasan sipil Indonesia sebesar 5,59 dari skala 1-10. Angka ini jauh dari Timor Leste 7,65. Data EIU ini juga sejalan dengan data dari laman varieties of democracy yang mengelola data rekam jejak perkembangan demokrasi di belahan dunia. Untuk Indonesia, sepanjang era Reformasi berjalan, aspek kebebasan sipil dan partisipasi masyarakat sipil mengalami peningkatan meskipun di akhir-akhir periode pertama pemerintahan Jokowi cenderung mengalami penurunan.
Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan tingkat regional dan global, berdasarkan data EIU, secara umum Indonesia masih berada di atas rata-rata meskipun indikator kebebasan sipil tetap masih berada di bawahnya.
Baca Juga: Masyarakat Sipil Perlu Terus Menyesuaikan Diri Agar Makin Kuat
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI, Moch Nurhasim, menyebut kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga belahan bumi lain, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. ”Data ini sebagai alat deteksi atas perkembangan demokrasi yang sedang terjadi, sekaligus sebagai peringatan,” tulis Nurhasim (Kompas,7/2/2020).
Menurut Nurhasim, inilah kondisi yang disebut resesi demokrasi, yaitu ketika demokrasi menjadi stagnan ibarat ekonomi tanpa pertumbuhan. Salah satu pemicunya adalah faktor kebebasan sipil yang tidak mengalami perbaikan. Analisis ini mempertegas bahwa indikator kebebasan sipil masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini.
Komitmen pemerintah dalam memperkuat ruang kebebasan sipil harus dijaga. Bagaimanapun kebebasan sipil menjadi syarat penguatan gerakan masyarakat sipil yang pada akhirnya juga menopang dan memperkuat bangunan demokrasi itu sendiri.