Kreativitas lembaga swadaya masyarakat menghadapi perubahan zaman jadi tantangan. Saat ini, gerakan masyarakat sipil perlu merumuskan agenda besar bersama yang mewakili kepentingan publik agar menjadi gerakan sosial.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan masyarakat sipil perlu diperkuat lewat kolaborasi dengan banyak unsur masyarakat. Untuk itu, perlu dicari agenda besar bersama yang bisa diselesaikan. Hal ini pula yang akan memperkuat posisi tawar gerakan masyarakat sehingga bisa efektif agenda-agendanya.
Dorongan itu disampaikan Rachland Nashidik, Wakil Sekjen Partai Demokrat, dan Luky Djani, sekretaris anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/3/2020). Rachland merupakan salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat (LSM) Imparsial, sedangkan Luky pernah menjadi wakil koordinator Indonesia Corruption Watch. Mereka menyikapi kondisi gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat ini.
Stagnasi gerakan masyarakat sipil di Indonesia sudah menjadi perhatian peneliti politik dalam dan luar negeri. Jajak pendapat Kompas pada akhir Februari 2020 juga memperkuat pandangan itu. Sebanyak 52,1 persen responden menilai, kekuatan masyarakat sipil sekarang mengalami stagnasi dibandingkan dengan masa awal reformasi. Kurang dari setengah (43,5 persen) dari total responden menganggap masyarakat sipil lebih baik (Kompas 2/3/2020).
Namun, 86,3 persen responden menganggap gerakan masyarakat sipil dibutuhkan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Masyarakat sipil merupakan kelompok terorganisasi dengan nilai tertentu yang otonom dari negara. Hal itu, misalnya, LSM, gerakan mahasiswa, dan organisasi masyarakat keagamaan.
Rachland mengatakan, dalam setiap masa, LSM memiliki kendala yang berbeda. Ia merujuk bahwa pada masa Orde Baru, partai politik dikebiri dan diusahakan untuk menjauhkan intelektual dari partai politik. Oleh karena itulah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) didirikan, yaitu menjadi saluran ide-ide dari para intelektual. Saat itu harus diakui, yang kuat adalah figur-figurnya dan aspirasi mereka tersalurkan lewat LSM. Kalau diperhatikan, banyak LSM sekarang yang memang asal-muasanya dari YLBHI dan Walhi.
”Jadi, saat itu yayasan adalah terowongan politik untuk menyiasati teralienasinya massa dari politik,” kata Rachland.
Akan tetapi, saat ini sudah banyak kanal politik. Partai politik, media, dan bahkan media sosial telah menjadi alternatif penyaluran selain LSM. Dalam perubahan ini, basis sosiologis LSM, dilihat Rachland, tidak berubah. LSM dinilainya tetap penting, tetapi harus lebih kreatif.
Dia mencontohkan LSM di Filipina yang bertransformasi menjadi organisasi masyarakat. Menurut Rachland, strategi yang bisa diambil LSM saat ini adalah menguatkan basis massanya. Dengan menguatnya dukungan masyarakat, hal ini yang akan mendorong LSM menjadi sebuah perubahan sosial. ”Perubahan sosial harus dilakukan bersama-sama,” katanya.
Rachland mengatakan, secara pribadi dirinya tetap bisa menyalurkan aspirasi dan idealismenya ketika masuk Partai Demokrat. Misalnya, ia bisa memberikan masukan dalam penanganan masalah Papua kepada pemerintah, terutama kepada Djoko Suyanto yang saat itu menjadi Menko Polhukam pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
”LSM itu penting, tetapi harus diingat, sekarang zaman, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat sudah berbeda. Harus lebih kreatif,” katanya.
Luky Djani juga menggarisbawahi pentingnya kreativitas LSM dalam menghadapi perubahan zaman. Ia merujuk beberapa penelitian tentang gerakan masyarakat sipil, terutama LSM, bahwa kendala utama adalah kurangnya kemampuan mencari alternatif konsep sampai pada turunan teknis.
Luky yang pernah melakukan riset terkait model-model engagement (keterkaitan) dari gerakan masyarakat sipil mengatakan, perubahan sosial harus dilakukan bersama-sama. Kolaborasi tidak hanya terjadi secara horizontal, tetapi juga vertikal dengan pendekatan top down dan bottom up, disertai dengan dialog-dialog, baik formal maupun informal.
”Harus ada aliansi yang luas, mulai dari LSM, kampus, ormas, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah, untuk bisa melakukan gerakan masyarakat sipil yang efektif,” katanya.
Luky berharap dana tidak terlalu mengemuka dalam masalah mundurnya kekuatan masyarakat sipil. Pasalnya, kekurangan dana adalah masalah klasik. Ia lebih menyoroti kelemahan masyarakat sipil yang belum membuat satu gerakan. Yang ada saat ini hanya gerakan sporadis.
”Padahal, gerakan sosial yang dilakukan masyarakat sipil itu harus terorganisasi dan multipelaku. Saat ini aliansinya belum luas, biasanya LSM baru dengan kampus,” kata Luky.
Sama dengan Rachland, Luky mengatakan, gerakan LSM saat ini harus berbasis massa. Hal ini menyelesaikan masalah representasi yang kerap dipertanyakan kepada LSM. Oleh karena itu, LSM sebisanya harus turun ke akar rumput, banyak melakukan dialog, pengorganisasian, pendampingan, dan advokasi.
Lepas dari berbagai tudingan, aktivis yang saat ini ada di lingkaran kekuasaan masih menganggap dirinya bagian dari gerakan masyarakat sipil.
Menurut Luky, perlu dicari agenda besar bersama untuk diselesaikan. Tak bisa semua masalah diborong untuk diselesaikan pada saat yang sama. Ia mengatakan, lepas dari berbagai tudingan, aktivis yang saat ini ada di lingkaran kekuasaan masih menganggap dirinya bagian dari gerakan masyarakat sipil.
”Tetapi, kita kan juga harus main cantik. Ada yang bisa langsung diselesaikan sekarang, ada yang belum. Saya berharap teman-teman LSM menganggap teman-teman yang di dalam ini aset yang harus dimanfaatkan,” katanya.
Adanya agenda besar bersama ini, katanya, bisa menjadi solusi dan fokus semua pihak. Tidak saja untuk LSM, tetapi juga agenda besar yang mewakili kepentingan publik itu akan lebih mudah menggalang dukungan. Dengan demikian, tekanan yang bisa dilakukan masyarakat sipil tidak lagi sekadar melakukan tekanan moral, tetapi lebih menjadi sebuah gerakan sosial yang memiliki kekuatan.