Sistem Kaderisasi Parpol di Daerah Perlu Perbaikan
Tantangan besar partai politik sekarang, yakni mahalnya biaya kampanye dan ketiadaan kader yang unggul di setiap daerah, menyebabkan munculnya calon tunggal. Realitas politik ini harus dihadapi sejumlah parpol.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dalam pemilihan kepala daerah, partai politik dihadapkan pada dua tantangan besar, yakni biaya kampanye yang mahal dan ketiadaan kader yang unggul di setiap daerah. Atas dasar itu, tak mudah bagi parpol mengusung kadernya sendiri. Apalagi, lawan politik di daerah tersebut merupakan petahana yang cenderung telah memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi.
Hal ini kemudian membuka potensi munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah, termasuk di Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah. Di Pilkada Serentak 2015, ada tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di Pilkada Serentak 2017, jumlahnya naik menjadi 9 daerah, sedangkan di Pilkada 2018, jumlahnya kembali naik menjadi 16 daerah.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) Arif Wibowo di Jakarta, Minggu (8/3/2020), mengatakan, fenomena calon tunggal merupakan realitas politik yang tak dapat terhindarkan. Kemungkinan besar, calon tunggal sudah memiliki basis massa yang kuat di daerahnya.
"Fenomena calon tunggal merupakan realitas politik yang tak dapat terhindarkan. Kemungkinan besar, calon tunggal sudah memiliki basis massa yang kuat di daerahnya"
Melihat realitas demikian, lanjut Arif, partai politik juga tidak mungkin asal-asalan mengusung calon kepala daerah tandingan. "Jadi, bukan berani atau tak berani. Tetapi, paham terhadap kenyataan objektif. Dalam konteks politik, partai akan mengukur kemampuan kadernya. Jadi tak ingin berspekulasi. Kami juga tak ingin mencapai kemenangan yang semu," ujar Arif.
Namun, menurut Arif, fenomena calon tunggal ini perlu menjadi evaluasi terhadap sistem kaderisasi parpol di daerah. Tugas terpenting parpol, tutur Arif, adalah memastikan sistem kaderisasi berjalan dan dipersiapakan secara matang.
"Itu pun tak semudah membalik telapak tangan. Dia (kader) harus bertumbuh secara alami juga. Kalau jadi penantang, ya penantang yang serius," ucap Arif.
Tidak mudah
Wakil Ketua Umum demisioner, Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi, sependapat bahwa pengusungan calon harus didasari pada data-data statistik yang otentik dan akurat. Apabila kader partai tak memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang kuat, partai pasti akan bersikap rasional.
"Artinya, untuk menjadi calon (kepala daerah), ukuran-ukuran (statistik) itu menjadi pertimbangan utama, apakah yang bersangkutan sudah siap menjadi calon," kata Viva Yoga.
Sebab, lanjut Viva Yoga, tantangan melawan calon tunggal adalah basis massa. Biasanya, calon tunggal memiliki basis massa tradisional yang lebih kuat. Sementara itu, lawan politiknya harus berjuang mengeluarkan uang kampanye lebih besar untuk merebut basis massa tersebut. "Itu pun enggak ada jaminan akan terpilih," ucap Viva Yoga.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Hetifah Sjaifudian juga menyampaikan bahwa bukan hal yang mudah melawan calon tunggal. Apalagi, calon tunggal di sejumlah wilayah yang sudah mengakar dinasti politiknya.
"Jadi, orang lain juga merasa tak ada manfaatnya maju daripada sudah pasti kalah," ujar Hetifah.
Pengusungan kader sendiri untuk melawan potensi calon tunggal, kata Hetifah, harus memiliki dasar yang kuat atau berdasarkan hasil survei. Survei di sini meliputi tingkat elektabilitas dan popularitas kader di suatu daerah pemilihan.
"Jadi, survei menjadi satu pertimbangan terpenting. Sedapat mungkin kalau ada kader sendri yang potensial menang, pasti didahulukan. Tetapi, enggak setiap daerah punya kader yang siap menang, kadang harus berkoalisi," tuturnya.
Dari sini, Hetifah menilai, sistem kaderisasi partai di daerah butuh dievaluasi. Seyogianya, semua partai memiliki kader yang siap berkontestasi menjadi pemimpin kepala daerah.
Selain masalah kaderisasi, menurut Hetifah, yang perlu dievaluasi selanjutnya adalah biaya kampanye yang tinggi untuk menjadi kepala daerah. Sebab, ujar Hetifah, persoalannya saat ini adalah banyak orang berkompeten di daerah tetapi terganjal biaya kampanye yang tinggi.
"Jadi kalau ada pembiayaan kampanye diatur lebih tegas dengan dibatasi jumlahnya, mungkin orang menjadi lebih berani mencalonkan diri. Kalau biaya (kampanye) terlalu mahal, orang yang sebenarnya punya kompetensi dalam leadership tetapi enggak cukup kuat dalam permodalan, malah jadi mikir berkali-kali untuk maju," ucap Hetifah.
"Kehadiran calon tunggal tidak dilarang di undang-undang"
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco juga sependapat bahwa fenomena calon tunggal disebabkan oleh tidak adanya kader parpol yang unggul di daerah serta tingginya biaya kampanye. Namun, dia menyampaikan kehadiran calon tunggal tidak dilarang di undang-undang.
Oleh karena itu, menurut Dasco, semua kembali lagi kepada masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk memilih kotak kosong daripada calon tunggal apabila calon tunggal tersebut dirasa tidak memiliki kapabilitas yang mumpuni.
"Kita akan lihat calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong, terpilih atau tidak, kita serahkan kepada rakyat," kata Dasco.