Tren pasangan calon tunggal diperkirakan masih akan terjadi pada Pilkada 2020 yang akan berlangsung di 270 daerah. Hal ini antara lain disebabkan kecenderungan parpol yang pragmatis memberi rekomendasi pencalonan.
Oleh
INK DAN BOW
·4 menit baca
Jumlah pasangan calon tunggal terus naik di tiga gelombang pilkada serentak. Tren ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada serentak 2020. Parpol bisa mencegahnya.
JAKARTA, KOMPAS — Tren pasangan calon tunggal diperkirakan masih akan terjadi di pilkada serentak 2020 yang akan berlangsung di 270 daerah. Hal ini terlihat dari kecenderungan partai politik yang pragmatis memberi rekomendasi pencalonan, persoalan kaderisasi di partai politik, serta masih longgarnya regulasi pilkada.
Pada pilkada serentak 2015 yang berlangsung di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di Pilkada 2017, dari 101 daerah, 9 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.
Jumlah itu meningkat lagi pada Pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada pada tahun itu, ada 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Pada Pilkada 2018, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kotak kosong memenangi pemilihan sehingga pilkada akan dilaksanakan kembali di 2020.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ratna Dewi Pettalolo, yang dihubungi di Jakarta, Minggu (8/3/2020), menuturkan, di beberapa provinsi sudah muncul informasi daerah-daerah yang berpotensi memiliki pasangan calon tunggal.
Ratna mengatakan, hal itu bahkan berpotensi terjadi tidak hanya pada pilkada kabupaten dan kota, tetapi juga di salah satu pemilihan gubernur. Namun, hal ini masih berpotensi berubah hingga hari pendaftaran pasangan calon.
Di beberapa provinsi sudah muncul informasi daerah-daerah yang berpotensi memiliki pasangan calon tunggal.
”Angkanya secara riil, secara nasional, belum terdeteksi,” sebut Ratna.
Berdasarkan pengalaman pada pilkada terdahulu, calon tunggal didominasi petahana yang ”memborong” dukungan parpol. Adapun pendaftaran pasangan calon pada Pilkada 2020 baru berlangsung Juni 2020. Saat ini pasangan calon dari jalur perseorangan masih menjalani verifikasi berkas dukungan.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah menuturkan, potensi peningkatan jumlah pasangan calon tunggal pada Pilkada 2020 cukup terbuka. Hal ini berdasarkan informasi publik terkait dinamika pencalonan di beberapa daerah.
Menurut dia, pasangan calon tunggal merupakan cara paling mudah bagi partai-partai politik untuk memenangi pilkada. Secara statistik, pasangan calon tunggal hampir selalu menang. Dari 28 pilkada dengan calon tunggal pada 2015-2018, baru di Kota Makassar kotak kosong memenangi pilkada.
Hurriyah mendorong parpol menghentikan fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada karena hal ini menunjukkan kegagalan parpol dalam banyak hal. Salah satunya, kegagalan menjalankan fungsi dasar parpol, yakni melakukan perekrutan politik dan kaderisasi. Hal ini menyusul lebih dipertimbangkannya faktor popularitas dalam pencalonan pilkada.
”Popularitas ini juga tidak punya korelasi dengan kaderisasi partai. Siapa pun (pasangan calon) populer, sekalipun bukan kader, bisa diusung,” katanya.
Kemunculan pasangan calon tunggal, kata Hurriyah, juga seperti memperlihatkan kemalasan partai politik. Alih-alih bekerja sebagai mesin kampanye bagi pasangan calon, Hurriyah melihat partai hanya menjadi penjual ”tiket” di pilkada, bahkan juga berpotensi melibatkan praktik mahar politik.
Selain persoalan di parpol, dia juga menilai pasangan calon tunggal disebabkan pula oleh ketiadaan aturan yang membatasi jumlah maksimal koalisi parpol. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada hanya memberikan batasan minimal pencalonan, yakni paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari perolehan suara sah dalam pemilu DPRD daerah bersangkutan.
Parpol pragmatis
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, fenomena calon tunggal merupakan realitas politik yang tak terhindarkan. Kemungkinan besar calon tunggal sudah memiliki basis massa yang kuat di daerahnya. Melihat realitas itu, lanjut Arif, partai politik juga tidak mungkin asal-asalan mengusung calon kepala daerah tandingan.
”Jadi, bukan berani atau tidak beranim tetapi paham terhadap kenyataan obyektif. Dalam konteks politik, partai akan mengukur kemampuan kader. Jadi tak ingin berspekulasi. Kami juga tak ingin mencapai kemenangan yang semu,” ujarnya.
Namun, menurut Arif, fenomena calon tunggal ini perlu menjadi bahan evaluasi terhadap sistem kaderisasi parpol di daerah. Tugas terpenting parpol, tutur Arif, adalah memastikan sistem kaderisasi berjalan dan dipersiapkan matang.
Sedapat mungkin kalau ada kader sendiri berpotensi menang, pasti didahulukan, tetapi enggak setiap daerah ada kader siap menang. Kadang juga harus berkoalisi (parpol tak bisa mencalonkan sendiri).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Hetifah Sjaifudian juga menyampaikan tak mudah melawan calon tunggal, apalagi di wilayah yang sudah mengakar dinasti politiknya. Pengusungan kader sendiri untuk melawan calon itu, katanya, harus memiliki dasar yang kuat atau berdasarkan hasil survei elektabilitas dan popularitas.
”Sedapat mungkin kalau ada kader sendiri berpotensi menang, pasti didahulukan, tetapi enggak setiap daerah ada kader siap menang. Kadang juga harus berkoalisi (parpol tak bisa mencalonkan sendiri),” tuturnya.
Hetifah menuturkan, hal lain yang perlu dievaluasi selanjutnya adalah biaya kampanye yang tinggi untuk menjadi kepala daerah. Menurut dia, ada banyak orang berkompeten di daerah, tapi terganjal biaya kampanye yang tinggi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco mengingatkan kehadiran calon tunggal tidak dilarang oleh undang-undang. Karena itu, semua kembali kepada masyarakat. ”Kita akan lihat calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong, terpilih atau tidak. Kita serahkan kepada rakyat,” kata Dasco.