Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai rencana pembentukan komponen cadangan belum diperlukan. Sebenarnya yang lebih mendesak saat ini adalah pembenahan dan penguatan komponen utama, yakni TNI.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai rencana pembentukan komponen cadangan belum diperlukan. Yang lebih mendesak saat ini adalah pembenahan dan penguatan komponen utama, yakni Tentara Nasional Indonesia.
Hal itu dinyatakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam jumpa pers, Rabu (11/3/2020), di Jakarta. Pernyataan dikeluarkan untuk menanggapi rencana Kementerian Pertahanan yang hendak membuka pendaftaran komponen cadangan dalam waktu dekat, yang dilanjutkan dengan pelatihan militer selama tiga bulan mulai Juli mendatang.
Pembentukan komponen cadangan tersebut diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan.
Pembentukan komponen cadangan bukan sesuatu yang urgen dan terburu-buru. Lebih penting bagi pemerintah untuk membentuk komponen utamanya, yakni TNI. Banyak masalah yang perlu dibenahi, seperti profesionalitas prajurit, kesejahteraan prajurit, dan modernisasi alutsista.
”Pembentukan komponen cadangan bukan sesuatu yang urgen dan terburu-buru. Lebih penting bagi pemerintah untuk membentuk komponen utamanya, yakni TNI. Banyak masalah yang perlu dibenahi, seperti profesionalitas prajurit, kesejahteraan prajurit, dan modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan),” kata Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri.
Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menambahkan, jika pemerintah serius memperkuat sektor pertahanan, komponen utamalah, yakni TNI, yang mestinya dibenahi. Jika memaksakan membentuk komponen cadangan, dikhawatirkan malah akan menimbulkan masalah baru.
Menurut Jesse A Halim dari Human Rights Working Group, ruang lingkup komponen cadangan yang dapat difungsikan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri justru berbahaya. Sebab, hal itu malah berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
Sementara konsep bela negara yang dianut dalam UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan tidak hanya sempit, tetapi juga militeristik. Mestinya konsep bela negara diartikan luas, yakni menciptakan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan.
Prinsip kesukarelaan
Menurut Darmawan Subakti dari LBH Jakarta, pembentukan komponen cadangan menerapkan prinsip kesukarelaan yang setengah-setengah. Itu dilihat dari adanya ancaman sanksi pidana terhadap komponen cadangan yang menolak panggilan mobilisasi, menunjukkan komponen cadangan bersifat wajib.
Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, sumber pembiayaan pertahanan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lainnya berpotensi menimbulkan masalah. Hal itu dinilai menyalahi prinsip sentralisme pembiayaan anggaran pertahanan negara yang merupakan kewenangan pemerintah pusat secara absolut.
”Ini akan memperumit proses pertanggungjawaban sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan,” kata Wana.
Dengan beberapa pertimbangan dan potensi masalah yang dapat timbul itu, Ikhsan Yosarie dari Setara Institute mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden agar menunda rencana Kementerian Pertahanan membentuk komponen cadangan.
Presiden diharapkan lebih memprioritaskan penguatan komponen utama, yakni TNI, dalam membangun pertahanan negara. Demikian pula DPR diharapkan melihat kembali UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan sebelum diterapkan.
Selain itu, Presiden diharapkan lebih memprioritaskan penguatan komponen utama, yakni TNI, dalam membangun pertahanan negara. Demikian pula DPR diharapkan melihat kembali UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan sebelum diterapkan.
Lebih jauh Ghufron menambahkan, untuk kondisi sekarang, hal yang mendesak dilakukan adalah mendorong profesionalisme prajurit TNI, bukan melatih masyarakat sipil keterampilan militer. ”Ketika kembali ke masyarakat malah akan memunculkan milisi-milisi baru. Sekarang saja sudah banyak organisasi di masyarakat yang mengedepankan kekerasan,” ujar Ghufron.