Blokir Internet dan Ancaman Digital Otoritarianisme
Kebijakan menutup akses internet bagi warga negara seharusnya ada hukum yang menjadi dasarnya. Bukan hanya berdasarkan pada sebuah siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Mencegah penyebaran hoaks dan menjaga ketertiban umum selalu menjadi alasan yang disampaikan pemerintah ketika membatasi akses masyarakat terhadap internet. Kerusuhan pasca-pengumuman hasil Pemilu 2019 dan konflik Papua Agustus-September 2019 menjadi contoh di mana kebijakan tersebut diterapkan.
Pakar hak asasi manusia dari Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan, internet sudah merupakan bagian integral dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kebebasan berpendapat dan mengakses informasi adalah hak asasi manusia.
Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apa pun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau melalui media lain.
”Internet dan teknologi digital sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan kehidupan manusia. Pada titik itu, internet juga dipandang sebagai persoalan hak asasi manusia,” kata Herlambang, Rabu (11/3/2020) siang, di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta.
Herlambang saat itu hadir dalam persidangan untuk gugatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENet) terhadap Presiden Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika atas kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan
Herlambang mengungkapkan bahwa alasan-alasan seperti keamanan nasional dan ketertiban umum dapat digunakan untuk membatasi pemenuhan hak untuk berpendapat dan mengakses informasi tersebut.
Ayat 3 dalam pasal tersebut menentukan bahwa pembatasan pemenuhan hak tersebut diperlukan untuk: pertama, menghormati hak atau nama baik orang lain; kedua, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan ataupun moral umum.
Kalaupun menyangkut keamanan nasional, menurut Herlambang, pemerintah harus memberikan notifikasi kepada PBB bahwa negara tersebut sedang dalam kondisi darurat nasional.
”Pemerintah harus notifikasi ke PBB dan juga menetapkan emergency situation yang bersifat nasional—bukan lokal wilayah tertentu,” kata Herlambang.
Selain itu, apabila menurut doktrin penafsiran pembatasan hak yang disarankan PBB, salah satunya Siracusa Principles, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi sebelum sebuah pemerintah membatasi hak kemerdekaan berpendapat dan mengakses informasi tersebut.
Elemen prescribed by law atau diperintah hukum menjadi persyaratan yang harus ada sebelum sebuah negara membatasi hak warga negaranya.
Untuk itu, menurut Herlambang, untuk kebijakan menutup akses internet bagi warga negara, seharusnya ada hukum yang menjadi dasarnya. Bukan hanya berdasarkan pada sebuah siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Internet dan teknologi digital sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan kehidupan manusia. Pada titik itu, internet juga dipandang sebagai persoalan hak asasi manusia.
Bahkan, bentuk hukum yang dapat digunakan sebagai dasar sebuah pembatasan hak adalah undang-undang dan peraturan daerah.
Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
”Ini terkait dengan proses pembentukan hukumnya yang berasal dari dua institusi; eksekutif dan legislatif. Jadi saling mengawasi dan mengontrol. Itu harus undang-undang atau perda. Tidak bisa hanya siaran pers,” kata Herlambang.
Laporan Khusus Dewan HAM PBB pada 2011 juga telah ”memprediksi” tata cara yang pembatasan akses internet yang sering dilakukan berbagai negara akhir-akhir ini.
Dalam laporan yang disusun oleh utusan khusus Dewan HAM PBB, Frank La Rue, tersebut dinyatakan bahwa dasar-dasar penerapan internet shutdown tersebut tidak berdasarkan pada hukum yang jelas, tetapi melalui keterangan yang luas dan tidak jelas.
Berdasarkan siaran pers?
Saat itu, Kemenkominfo menyampaikan siaran pers sebelum melakukan perlambatan akses internet (throttling) dan pemblokiran layanan data internet di Papua dan Papua Barat pada 2019.
Siaran Pers nomor 154/HM/KOMINFO/08/2019 diterbitkan pada 19 Agustus 2019 untuk menyampaikan bahwa Kemenkominfo telah melakukan throttling atau perlambatan akses di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua di mana terjadi aksi massa, seperti di Manokwari, Jayapura, dan beberapa tempat lain.
Baca juga: Pemblokiran Internet Hambat Aktivitas Warga Papua
Dalam siaran pers tersebut, disebutkan bahwa tujuan penerapan throttling untuk mencegah luasnya penyebaran hoaks yang memicu aksi kerusuhan.
Kemenkominfo mengatakan ada dua hoaks yang tersebar melalui media sosial dan layanan pesan instan, yakni hoaks foto mahasiswa Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoaks yang menyebutkan bahwa Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa Papua.
Dua hari kemudian, siaran pers nomor 155/HM/KOMINFO/08/2019 diterbitkan. Dalam siaran pers tersebut, Kemenkominfo menyatakan memblokir layanan data di Papua dan Papua Barat.
Pemblokiran ini dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya. Pemblokiran dilakukan hingga waktu yang tidak ditentukan. Akhirnya setelah lebih dari dua pekan, blokir dibuka pada 5 September 2019.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, pertengahan September 2019, menyatakan bahwa dasar pembatasan yang dilakukan pihaknya adalah Pasal 40 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib mencegah penyebarluasan informasi yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Untuk itu, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses terhadap informasi dan dokumen elektronik yang melanggar hukum.
”Kemenkominfo tidak melakukan pembatasan internet secara semena-mena, tetapi ada dasar hukumnya,” kata Semuel.
Namun, menurut pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan, pemerintah tidak berwenang untuk memutus akses internet; hanya akses terhadap obyek informasi dan dokumen elektronik yang berkonten melanggar hukum.
”Kalau akses internetnya, akan dua implikasi, yaitu muatan yang bermuatan negatif itu terblok dan yang positif juga. Di situ pemerintah tidak punya wewenang,” kata Oce.
Baca juga: Pemblokiran Rugikan Kepentingan Lebih Luas
Oce pun mempersoalkan mengenai definisi konten yang melanggar hukum tersebut. Dalam UU ITE tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan informasi dan dokumen elektronik yang melanggar hukum tersebut.
”Apa prosedur untuk menilai sebuah informasi itu melanggar hukum atau tidak? Pemerintah bisa saja menilai sendiri mana konten yang melanggar hukum dan yang tidak? Dan itu sangat subyektif,” kata Oce.
Tren otoritarian
Kecenderungan ini sebetulnya juga tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah negara lain—seperti India, Myanmar, Iran, dan Venezuela—juga menerapkan cara yang serupa dan alasan yang mirip.
Di India, sepanjang 121 kali praktik pemblokiran internet terjadi sepanjang 2019. Pencegahan penyebaran hoaks juga disebut sebagai tujuan pemblokiran internet tersebut.
Salah satu daerah di India yang paling parah mengalami hal ini adalah wilayah Kashmir; yang menjadi sengketa dengan Pakistan.
New York Times melaporkan, pemblokiran internet terjadi hampir selama setengah tahun; sejak Agustus 2019 dan dipulihkan bertahap pada Januari tahun ini.
Praktik pemblokiran internet yang terjadi di Myanmar berkaitan erat dengan konflik di wilayah Rakhine; lokasi terjadinya dugaan genosida terhadap etnis Rohingya oleh tentara Myanmar.
Awal Februari ini, Myanmar kembali menerapkan pemblokiran internet yang direncanakan akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan, menurut Al Jazeera.
Penerapan ini disebut untuk menjaga keamanan dan kepentingan publik. Sebelumnya, pada Juni 2019, pemblokiran internet juga sudah dilakukan di Rakhine. Pada Oktober 2019, sejumlah kota sudah dipulihkan jaringan internetnya. Namun, hingga kini, masih ada empat kota di Rakhine yang masih dalam pemblokiran internet.
Baca juga: Pemblokiran Internet adalah Kemunduran
Herlambang mengatakan, pemblokiran ini mengganggu kerja jurnalistik pers. Padahal, dalam konflik, kerja jurnalistik pers menjadi penting untuk melawan hoaks yang menyebar. Bahkan, pemerintah juga akan terbantu dengan kerja jurnalistik pers untuk mengetahui kondisi masyarakat.
Model pemerintahan yang antidemokrasi tidak akan mau diawasi dan tidak menghendaki pengawasan publik; mereka tidak memberikan jalan untuk wartawan dalam memberikan pemberitaan dengan baik.
”Dalam situasi konflik di mana pun itu, peran pers menjadi vital untuk menyeimbangkan informasi. Tentu kita bisa saksikan, di negara otoritarian itu begitu mudahnya menghentikan kerja-kerja jurnalistik. Ini digital authoritarianism,” kata Herlambang.