NU dan para santrinya senantiasa memelihara "ukhuwah basariyah" atau hubungan kemanusiaan yang melintasi sekat-sekat keagamaan maupun kebangsaan. NU pun terus berupaya untuk selalu relevan dengan perkembangan zaman
Oleh
Rini Kustiasih dan Prayogi Dwi Sulistiyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Nahdlatul Ulama lahir pada saat zaman dan peradaban yang tengah berubah. Robohnya Turki Usmani menandai peradaban baru Islam yang tidak terbayangkan sebelumnya. Para pendiri NU pun memiliki keyakinan organisasi yang mereka dirikan haruslah menjadi rintisan bagi lahirnya peradaban baru tersebut, termasuk keikutsertaan aktif NU mendirikan negara-bangsa Indonesia.
Pemaknaan mengenai sejarah kelahiran NU, dan relevansi organisasi kemasyarakatan Islam itu dituangkan dalam buku “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama,” yang ditulis oleh Khatib Aam Pengurus Besar NU KH Yahya Cholil Staquf. Buku yang merupakan salah satu sarana refleksi penulis melihat kiprah dan relevansi NU bagi peradaban Islam di Indonesia dan dunia itu, diluncurkan, Rabu (11/3/2020) di kantor PBNU, Jakarta.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menegaskan kembali khazanah Islam sangatlah luas, sehingga berbagai dimensi bisa terus ditulis dengan berbagai sudut pandang, termasuk dalam buku yang ditulis Yahya mengenai lahirnya NU. “Penulis, antara lain menekankan ukhuwah basariyah (hubungan kemanusiaan), yang merupakan dasar bagi ukhuwah lainnya, yakni ukhuwah Islamiyah (hubungan ke-islaman), ukhuwah wathoniyah (hubungan kebangsaan). Jika ukhuwah basariyah tercapai, maka ukhuwah ilsamiyah dan ukhuwah wathoniyah selesai tercapai sudah,” katanya.
Ukhuwah basariyah yang melintasi sekat-sekat keagamaan, maupun kebangsaan itu, menurut Miftachul, senantiasa dipelihara NU melalui para ulama dan santrinya. Gerakan ahlisunnah waljamaah (aswaja) yang diusung NU mengedepankan moderasi, dan tak “bersumbu pendek.” “Cinta dan kasih antara lain menjadi dasar dari iman. Belum sempurna imanmu, kalau tak menerapkan cinta kasih,” kata Miftachul.
Tantangan dalam Islam pun tak lebih mudah, karena adanya sejumlah gerakan radikalisme yang muncul. Pandangan yang kerap menuding orang lain tanpa klarifikasi terlebih dahulu menjadi keprihatinan ulama.
Organisasi "Jamiyah"
Yahya mengatakan, buku yang ditulisnya berupaya memaknai kelahiran dan keberadaan NU. Sejak didirikan 1926, atau tepatnya pada 11 Rajab 1441 hijriah, NU lahir di tengah kondisi peradaban yang berubah. Pada 1924, kekhalifahan Turki Ustmani runtuh, dan peradaban Islam yang berdiri selama 1.300 tahun roboh. Pada saat itu, tak ada yang tahu atau meramalkan bagaimana nasib peradaban Islam dan dunia.
“Saya terus berpikir kenapa dinamai Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Ketika dipahami bahwa ketika itu dunia berubah, dan peradaban yang berusia 1.300 tahun runtuh, orang bertanya bagaimana Islam menghadapi perubahan itu. Siapa yang bisa menjawab sikap Islam itu tak lain adalah ulama. Karena itu, para muassis (pendiri) organisasi menamainya dengan NU,” kata Yahya.
Dengan maksud dan tujuan menjawab tantangan peradaban baru, NU didirikan tak untuk jadi golongan atau kelompok tertentu yang eksklusif. NU juga bukan kelompok atau golongan baru Islam, melainkan suatu jamiyah atau organisasi yang punya hubungan kelembagaan dan fungsional dengan jamaah atau umatnya.
Oleh karena itu, berbasis pada tujuan pendiriannya, NU tak dalam posisi memusuhi organisasi lainnya, termasuk yang ada dalam Islam. Pasalnya, masing-masing organisasi itu sama-sama mencari jawaban atas peradaban baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Saat menyusun peradaban baru itu, dialog, dan pergulatan bersama menjadi penting. Begitu juga saat NU merasa perlu ikut menyokong negara-bangsa Indonesia, sebagai respons atas kesadaran perlunya bernegara untuk ikut bergulat membangun peradaban dunia baru yang harmonis, adil, dan bermartabat.
“Peradaban yang demikian itu tak hanya soal Islam, tetapi juga melibatkan peradaban lain, seperti peradaban barat, peradaban Kristen, dan peradaban Hindu, Yahudi, dan sebagainya. Dialog dan keterbukaan yang jujur jadi kunci menyelesaikan persoalan yang saat ini terjadi di dunia, termasuk munculnya terorisme,” kata Yahya.
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan, NU berupaya terus relevan dengan semangat dan perubahan zaman, serta aktif mewujudkan negara bangsa Indonesia. Sejumlah hal memang perlu diperbaiki dalam struktural PBNU, antara lain agar bisa tetap melayani fungsional umatnya di Tanah Air.
“Saat ini, PBNU berkonsentrasi pada pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Namun, kini muncul gagasan agar NU bisa menjadi seperti pemerintah yang bisa melayani jemaahnya dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya,” ujarnya.
Demokrasi Pancasila
Sementara itu, saat peluncuran buku "Sistem Demokrasi Pancasila", yang ditulis Ketua Program Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional TB Massa Djafar dan kawan-kawan, diungkapkan, Sistem Demokrasi Pancasila (SDP) yang dibangun oleh pendiri negara berbeda dengan sistem demokrasi Barat.
Sebagai negara yang majemuk dengan berbagai keanekaragaman seperti budaya, agama, dan bahasa, Indonesia dinilai punya sistem kehidupan sendiri yang tak dapat meniru sistem negara lain. Karena itu, Demokrasi Pancasila jadi sistem paling tepat menyatukan keanekaragaman tersebut.
Buku ini diulas beberapa pakar yakni Ketua Dewan Pengurus Habibie Center Sofian Effendi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Maria Farida Indrati, Staf Khusus Presiden bidang ekonomi tahun 2018-2019 Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Alfan Alfian, dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono.