Dalam menyusun RUU Pemilu, sejumlah opsi ambang batas parlemen disiapkan oleh Komisi II DPR. Kelak, Komisi II DPR dan pemerintah tinggal mendiskusikan opsi yang ada, dan memilih salah satunya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/RINI KUSTIASIH
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menyusul perdebatan terkait besaran ambang batas parlemen untuk pemilu selanjutnya, tenaga ahli Komisi II DPR bersama Badan Keahlian DPR bakal menyusun sejumlah opsi besaran ambang batas parlemen di dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Arwani Thomafi, di Jakarta, Jumat (13/3/2020), mengatakan, hingga kini draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masih disusun oleh tenaga ahli Komisi II DPR bersama dengan Badan Keahlian DPR (BKD).
RUU Pemilu merupakan RUU inisiatif DPR. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Oleh karena itu, RUU sudah bisa dibahas tahun ini.
Setelah besaran ambang batas disusun dalam sejumlah opsi, Arwani mengatakan, Komisi II DPR bersama pemerintah nantinya tinggal mendiskusikan opsi yang terbaik.
Yang berlaku saat ini, ambang batas parlemen sedikitnya 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Ini seperti tertera pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Adapun yang berlaku pada pemilu sebelumnya, ambang batas sebesar 3,5 persen.
Perdebatan terkait ambang batas ini kembali mencuat setelah pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Senin (9/3). Saat itu, keduanya mengungkapkan keinginan agar ambang batas naik menjadi 7 persen.
Resistensi
Keinginan itu kemudian menuai resistensi dari sejumlah partai politik (parpol). Yang terbaru, resistensi muncul dari parpol yang tidak lolos ambang batas di Pemilu 2019.
Dalam pertemuan enam dari tujuh sekretaris jenderal (sekjen) parpol tersebut, Kamis (12/3) malam, mereka menyatakan menolak kenaikan ambang batas menjadi 7 persen. Kenaikan dipandang sebagai upaya kembali ke Orde Baru ketika hanya ada sedikit parpol dan terjadi pemusatan kekuasaan. Selain itu, kenaikan ambang batas akan memberangus suara rakyat.
Menurut Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq, suara tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas di Pemilu 2019, termasuk Perindo, jika disatukan mencapai 13,6 juta. ”Bayangkan suara sebesar itu sia-sia. Bukankah demokrasi itu menghargai setiap keputusan rakyat,” ujarnya.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay pun menilai tidak tepat menaikkan ambang batas. ”Dengan ambang batas yang berlaku selama ini sudah terlalu banyak suara masyarakat yang terbuang dan artinya tak terwakili,” katanya.
Menurut dia, parpol lebih baik memikirkan pemberdayaan dan optimalisasi fungsi parpol. ”Selanjutnya, biar pemilih yang menentukan jumlah parpol yang pas mencerminkan keterwakilan politik kita,” ujarnya.